Bang Je menggelitik hatiku lagi.
Entah keberapa kali omonganNya menohok sanubari terdalam. Aku menatapNya lekat-lekat. Kayaknya memang nggak ada satupun dariku yang bisa tersembunyi dariNya.
Mendadak telingaku awas mendengarkan sebentuk bait yang syairnya akhir-akhir ini begitu mengena di kalbu. “Tuhan bila masih ku diberi kesempatan, izinkan aku untuk mencintanya. Namun, bila waktuku telah habis dengannya, biarkan cinta hidup sekali ini saja.”
Entah kenapa, tiap kali dengar lagu itu, kok aku mendadak cengeng ya?
Hiks…
Kurasakan tangan kekar Bang Je menepuk bahuku pelan. Ia menghapus sebulir air mata yang jatuh pelan di pipiku. “Nggak usah meminta anakKu, Aku selalu memberimu kesempatan. Pada apapun dalam kehidupanmu. Tidak harus masalah cinta. Maka, beranilah untuk putuskan masa lalumu yang tak menyenangkan. Buatlah itu bekal untuk masa depanmu yang lebih menyenangkan.”
Aku menutup sebentar kelopak mataku sejenak.
“Tapi, aku takut, Tuhan.”
“Takut apa?”
“Takut keputusanku bisa membuatku kembali menyesal seperti masa lalu.”
Bang Je lebih merapatkan dudukNya. Dia mengambil sebatang ranting, dimain-mainkanNya ranting itu sebentar, lalu ditunjukkanNya kepadaku.