Jujur, saya bukan pengguna layanan perbankan syariah yang loyal, meski
tiga tahun sebelumnya saya pemegang buku tabungan dan kartu ATM Bank
Syariah Mandiri (BSM). Alasan saya berhenti menggunakan layanan
perbankan syariah semata-mata persoalan teknis. Pertama, kartu
tabungan saya waktu itu hilang sehingga tak bisa lagi menabung.
Otomatis, kartu ATM pun tak bisa digunakan karena tabungan tak diisi
lagi.
Alasan kedua saya tidak memperbaharui buku tabungan, mengingat waktu
itu, kantor tempat saya bekerja tidak menggunakan BSM. Saya pun
mengikuti rekomendasi perusahaan, sebuah bank swasta konvensional. Dan
di bank itu juga, saya hanya ambil gaji uang setiap bulan tidak lebih.
Alasan tidak menggunakan layanan perbankan syariah seperti saya
semata-mata alasan teknis bukan alasan idiologis. Bukan saya benci
bank syariah atau karena beranggapan perbankan syariah tidak
marketibel. Toh di dunia perbankan seperti sekarang ini, dari sisi
teknologi dan fasilitas nampaknya tidak terlalu beda antara perbankan
syariah dengan perbankan konvensional.
Menyebut salah satu contoh, bila di bank konvensional ada layanan
SMS-banking yang bisa digunakan hampir untuk semua transaksi, begitu
pula di perbankan syariah, terdapat layanan yang sama.
Lebih jauh dari sisi luasnya jaringan. Menyebut salah satu contoh,
Bank Muamalat Indonesia (BMI), ada layanan syariah di seluruh kantor
pos di seluruh tanah air termasuk daerah pelosok di kecamatan Papua
sana (seperti diiklankan). Layanan itu bagi pemegang kartu Syar-e.
Saya mengetahui, karena isteri sudah hampir dua tahun menggunakan
kartu Shar-e untuk simpan atau ambil uangnya. Sesekali saya juga
membantu mengambilkan atau menyimpan uang ke BMI terdekat.
Bagi saya sendiri, perbankan syariah tidak asing-asing amat, termasuk
dalam produk dan istilah-istilah yang digunakan. Ini dimungkinkan
beberapa hal. Pertama, saya alumni jurusan ekonomi syariah (muamalat)
Perguruan Tinggi Agama Islam ternama di tanah air. Bahkan sewaktu
kuliah, saya bercita-cita ingin menjadi pegawai bank syariah setelah
lulus nanti. Dan kebetulan, saat pulang kampung di kota saya cabang
BMI baru akan dibuka. Ada pengumuman lowongan kerja sayapun mendaftar.
Namun sayang, seleksi saya gagal di tahap ke tiga, pada psikotes.
Akibatnya dapat ditebak, saya gagal sebagai karyawan perbankan syariah
(BMI) dan mendapat pekerjaan lain.
Kedua, relatif akrab dengan perbankan syariah, karena teman-teman
banyak praktisi perbankan syariah juga dosen serta pengajar mata
pelajaran mutan lokal (mulok) ekonomi syariah di sekolah-sekolah.
Secara tidak langsung dari pergaulan itu telinga diakrabkan dengan
istilah-istilah perbankan syariah. Misalnya, dalam menghimpun dana
dari masyarakat, bank syariah menerapkan prinsip giro berdsarakan
syariah, tabungan berdasarkan prinsip mudhorobah. Sedangkan dalam
penyaluran dana melalui transaksi jual beli, bank syariah menerapkan
prinsip murobahah, istisna, ijarah dan salam. Untuk penyaluran
pembiayaan bagi hasil, perbankan syariah menerapkan prinsip mudhorobah
dan musyarokah. Ada juga prinsip pembiayaan lainnya dengan menerapkan
hiwalah, rohn dan qord.
Interaksi ketiga dengan perbankan syariah, saya beberapa kali
mengikuti pelatihan atau seminar tentang perbankan syariah. Salah
satunya, pernah mengikuti ceramah Direktur BMI A. Riawan Amin di
Bandung akhir tahun 2008. Yang saya ingat waktu itu, Pak Riawan
menyebutkan, praktik perbankan syariah baru pada tahap perang terhadap
interest atau bunga dari salah satu dari tiga pilar ekonomi global,
yakni fiat money (penggandaan uang) juga fractional reserve requiremet
(FFR) atau cadangan sebagian uang deposan di bank-bank sentral.
Terhadap tiga pilar ekonomi itu, Pak Riawan menyebutnya satanic
finanace.
Sebab menurutnya, ketiga pilar di atas sangat terkait satu sama lain
yang memberi peluang besar terhadap krisis ekonomi yang berekses pula
pada gejolak sosial bahkan politik. Ia mencontohkan, gejolak ekonomi
dunia tahun 2008. Di Indonesia mengakibatkan jatuhnya presiden
Soeharto dan rejimnya. Itu semua akibat bunga yang berbunga
(interset), uang beredar lebih banyak dari pada sektor riil serta
praktik FFR menyumbang terlalu banyaknya penciptaan uang baru yang
tidak dibackup dengan logam mulia (emas). Tak terelakan, inflasi
sedemikian besar kemudian meladak dan meruntuhkan send-sendi
perekonomian negara-negara berkembang khsusnya di Asia.
Nah dari faktor ini (bank syariah baru memerangi bunga) pula Pak
Riawan berargumen, pantas bila dari sisi asset perbankan syariah di
Indonesia masih jauh ketimbang perbankan konvensional.
Berbekal pengetahuan itu, ditambah terdorong mencari informasi untuk
lomba blogger iB di kompasiana, hati saya tergerak untuk kembali
membuka rekening di bank syariah. Bank yang saya pilih kali ini adalah
BMI. Alasannya, selain lebih dekat kantornya dengan rumah saya, juga
mengikuti isteri yang sudah lama menggunakan Shar-e.
Ternyata, kemudahan layanannya sama dengan layanan bank konvensional
yang selama ini saya pergunakan. Saya bisa SMS banking, trasfer
melalui ATM bahkan bisa ngambil dan nyimpan uang di kantor pos. Soal
urusan bagi hasil dari tabungan (itupun kalau ada uang tersimpan)
semunya terserah bank. Saya percaya sepenuhnya. Toh selama ini juga,
bank bagi saya hanya untuk lalu lintas uang yang memang pas-pasan
bukan untuk menyimpan uang dalam jangka waktu lama. (anep paoji)
Tulisan ini untuk diikutsertakan dalam iB Blooger Competition
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H