Hari ini Pandemi Covid-19 makin hari makin menunjukkan keganasannya melahap setiap insan manusia yang dijangkitnya. Di Jawa Timur sendiri khususnya Kota Surabaya, angka positif Covid-19 tidak kunjung dekaden.Â
Hal ini menunjukkan bahwasannya kita tidak pernah belajar dari sejarah penanganan menghadapi wabah khususnya di Indonesia sendiri pada masalalu seperti wabah Flu Spanyol, Pes, hingga kolera yang terjadi di Indonesia khususnya di Kota Surabaya pada periode 1901-1927.Â
Dalam adaptasi kondisi ekonomi, langkah preventif kebijakan New Normal yang diambil Pemerintah sekarang malah seakan berbenturan dengan keinginan menyudahi wabah ini. Sejak awal Pandemi ini masuk, tidak ada sikap antisipatif dari pemerintah sendiri, justru sebaliknya, mereka malah bersikap anti-sains dengan guyonan seperti orang kita kuat karena makan nasi kucing dll.
Hal ini memiliki implikasi yang serius bagaimana ketika wabah ini benar-benar menyebar ke seluruh negri, Pemerintah kita tergagap-gagap dalam menanganinya. Karantina lokasi yang terlambat membuat wabah ini menyebar dengan masif dengan angka kematian yang lumayan tinggi dibanding negara-negara lain.Â
Sialnya, yang seharusnya Pemerintah harus berfikir keras untuk menangani kasus ini mereka malah sibuk dengan perumusan Rancangan Undang-Undang pesanan segelintir orang yang kontroversial di masyarakat karena dianggap merugikan hak-hak masyarakat, belum lagi pada saat itu juga keluar kebijakan keadaaan genting Darurat Sipil yang seharusnya digunakan ketika adanya suatu kontak senjata dengan negara lain.Â
Belum lagi di masa New Normal sekarang dan masih tingginya angka positif Covid-19 Pemerintah tetap bersiteguh dengan keinginannya melanjutkan Pilkada di daerah-daerah di Indonesia.
Pada masa kolonial Belanda, pernah terjadi terjangkitnya berbagai wabah penyakit yang melanda seluruh dunia atau yang kita kenal sebagai pandemi, salah satu wabah penyakit tersebut bernama kolera khususnya di Surabaya dengan berbagai dampaknya. Pada tulisan ini akan membahas dampak dan kondisi kota pada saat wabah penyakit kolera di Surabaya pada tahun 1901-1927.Â
Problematika kesehatan menjadi sesuatu hal yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebagai faktor pendukung menjalankan aktifitas sosial dan budaya. Tentunya interaksi manusia dengan alam menjadi salah satu latarbelakang munculnya masalah kesehatan atau suatu penyakit, salah satu penyakit yang muncul akibat dari interaksi alam dan manusia yaitu penyakit kolera.Â
Seperti halnya SARS-Cov-2 atau Covid 19 wabah kolera juga tidak luput berbicara mengenai interaksi manusia dengan alam seperti  apa yang dikatakan E.G Smith yaitu Wabah seringkali muncul akibat dari persimpangan komunitas manusia dengan satwa liar, dimana kita berspekulasi datangnya wabah ini berasal dari satwa liar, tetapi kita mengaburkan salah satu akar dari pandemi ini ialah hilangnya habitat.Â
Perluasan kota, penebangan pohon, kawasan industri hingga mereduksi habitat-habitat satwa liar ini menyebabkan munculnya celah bagi mikroba hewan untuk masuk dan beradaptasi ke tubuh manusia dan mikroba ini akan berubah menjadi patogen atau parasit pada manusia atau inangnya yang mematikan.
 Kolera adalah penyakit diare yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan di seluruh dunia. Penyakit tersebut merupakan  penyakit infeksi usus yang disebabkan oleh bakteri Vibrio cholerae. Penularan kolera melalui makanan, minuman yang terkontaminasi oleh bakteri Vibrio cholerae.[1]Â
Bakteri Vibrio Cholerae masuk ke dalam tubuh seseorang melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi oleh Bakteri akan mengeluarkan Enterotoksin di dalam tubuh seseorang pada bagian saluran usus, sehingga menimbulkan diare disertai muntah yang akut dan sangat hebat, dan berakibat seseorang dalam waktu hanya beberapa hari akan kehilangan banyak cairan dalam tubuhnya sehingga mengalami dehidrasi.[2]
 Di Surabaya sendiri pada saat itu kolera menyebar melalui air sanitasi yang buruk, karena tidak adanya fasilitas yang memadai terhadap MCK (Mandi Cuci Kakus) sehingga air tersebut terpapar bakteri Vibrio Cholorae.
 Kota Surabaya Awal Abad 20  Â
 Awal abad XX kota-kota besar di Jawa sebagian besar menjalankan fungsinya sebagai pusat-pusat administratif dan komersial[3] salah satunya yaitu kota Surabaya. Undang-undang Desentralisasi tahun 1903 menjadi latarbelakang perkembangan kota Surabaya, dimana Surabaya kala itu menjadi suatu wilayah Kotamadya otonom atau yang dikenal dengan sebutan Gemeente.Â
 Implikasi atas pembentukan pemerintahan yang otonom, maka beberapa kewajiban yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah pusat dalam rangka mengelola Kota Surabaya, selanjutnya akan diserahkan kepada Gemeente Surabaya.Â
Beberapa kewajiban tersebut antara lain: 1. Perawatan, pembetulan, pembaharuan, dan pembuatan jalan umum, jalan raya, lapangan, pekarangan, taman dan tanaman-tanaman, parit, sumur, rambu-rambu jalan umum, papan nama, jembatan, dinding dam, penguatan dinding selokan dan got, pembandian umum, cuci dan kakus, pemotongan hewan, dan pasar., 2. Penyiraman jalan raya, pengambilan sampah di sepanjang jalan, pengambilan sampah di jalan-jalan kecil dan di lapangan., 3. Pemadam kebakaran., 4. Pembuatan makam.
 Secara geografis, wilayah distrik kota Surabaya dapat dibagi menjadi dua, yaitu kawasan pedesaan yang berbasis pertanian, dan kawasan perkotaan yang berbasis pada industri, perdagangan dan jasa.[4]Â
 Namun pada masa itu perkembangan secara progesif kota Surabaya dari wilayah pedasaan yang berbasis pertanian ke corak kota industrial menjadi proses perubahan sosial kultural masyarakat secara radikal.Â
Bagi yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan radikal tersebut, maka mereka harus pasrah menjadi orang-orang yang mau bekerja apa saja, yang sebenarnya tidak cocok dengan latar belakang sosial-kultural mereka. Salah satu contohnya adalah sebagai pembantu rumah tangga dan pekerjaan lain yang masih dalam lingkup sektor jasa.[5]
 Dinamika perekonomian kota Surabaya yang meliputi industri dan perdagangan serta pembangunan infrastruktur yang meliputi jalan, transportasi, dan permukiman berpengaruh terhadap komposisi penduduk dan masyarakat kota. Ini disebabkan oleh peluang kerja yang besar sehingga menarik minat orang bermigrasi ke Surabaya.
 Kelompok etnis yang tinggal di Kota Surabaya dapat dilihat pada Kota Surabaya sebagai pusat pemerintahan dan pusat aktivitas ekonomi telah menarik minat-minat orang Eropa untuk tinggal di kota ini. Keberadaan mereka turut mempengaruhi kemajuan Surabaya.[6] Penduduk Surabaya merupakan masyarakat yang heterogen, Surabaya sendiri terdiri dari campuran etnis bumiputra dan beberapa etnis pendatang seperti Eropa, Arab, Cina, dan Timur Asing seperti India.Â
 Etnis bumiputra juga terdiri dari beberapa etnis lain di Nusantara, tetapi etnis yang mendominiasi tinggal di Surabaya adalah etnis Jawa dan Madura, masyarakat bumiputra tersebar di hampir seluruh wilayah di Surabaya yang notabennya berada di wilayah-wilayah yang padat dan terkesan kumuh, prinsip enisitas menjadi patokan perebutan ruang-ruang di kota Surabaya, jika dibandingkan dengan pemukiman orang-orang bumiputra dan Arab, pemukiman orang-orang pendatang lainya jauh lebih teratur.
 Wilayah permukiman yang awalnya memiliki fungsi sebagai lahan persawahan atas intervensi pemerintah kota diubah hingga menjadi permukiman elite. Perkembangan perumahan dilengkapi dengan fasilitas penting menyesuaikan standar hidup modern. Perumahan yang dibangun lebih mengakomodasi tempat tinggal golongan Eropa daripada bumiputra, sehingga hanya golongan Eropa yang mampu membeli rumah itu.Â
Wilayah yang padat dan kumuh menjadi faktor yang terlihat mencolok akibat dari kesenjangan sosial pada masa itu dalam penyebaran suatu wabah penyakit di suatu wilayah termasuk di Surabaya pada tahun 1901-1927 yang menjangkit seluruh masyarkaat di Surabaya termasuk masyarak pendatang
 Wabah Kolera dan Dampaknya
 Kota Surabaya menjadi salah satu contoh kota-kota di Asia yang tidak sehat, yang disebabkan oleh faktor sosial dan geografis. Faktor sosial misalnya perilaku sehari-hari masyarakat kota Surabaya yang belum memahami cara-cara menjaga kebersihan diri serta kebersihan lingkungan pemukiman dengan baik[7]
 Perlu diketahui juga masyarakat Surabaya pada masa kolonial Belanda secara garis besar memiliki latar belakang pendidikan yang rendah akibat dari kolonialisme Belanda, hal ini memiliki implikasi pada maslah kesehatan masyarakat di Surabaya, bebagai macam aktifitas kesehariannya yang dirasa kurang memperhatikan kesehatan menjadi suatu hal umum di Surabaya pada masa itu sehingga masalah-masalah baru muncul salah satunya yaitu penyakit yang menjangkiti masyarakat.
 Seperti munculnya pandemi bernama wabah kolera, wabah ini juga menjangkit hampir di seluruh masyarakat di Hindia Belanda termasuk Batavia (Jakarta) dan di daerah lain. Wabah kolera ini dapat menyebar dikarenakan lingkungan penduduk yang terkesan kumuh pada saat itu, serta tidak memiliki sanitasi yang kurang baik, seperti banyaknya rumah penduduk yang masih terbuat dari bambu bahkan air yang digunakan untuk minum yang berasal dari sungai yang kotor.
 Timbulnya wabah dapat memberikan salah satu gambaran buruknya kondisi kesehatan penduduk. Berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi masyarakat meliputi gizi atau nutrisi yang tidak baik, kurang dalam hal menjaga kebersihan lingkungan dan penyediaan air bersih maupun pelayanan kesehatan. Gambaran semacam ini umum terjadi di negara-negara miskin atau sedang berkembang dengan pertumbuhan penduduk besar, hal ini juga menimpa penduduk di pulau Jawa pada masa kolonial.[8]Â
 Wabah kolera di Surabaya terjadi pada 1901, menurut Andi Achdian dalam Tirto.id melalui laporan de locomotief bahwa beberapa kuli kontrak di beberapa daerah Surabaya mengalami sakit perut kemudian meninggal dunia, kemudian hal ini menjadi awal kecurigaan terhadap datangnya wabah kolera di Surabaya, tetapi pemerintah kolonial pada saat itu mereduksi informasi tersebut agar tidak terjadi kepanikan berlebih dan muncul kritik pada masyarkat, hal ini berimplikasi pada penyebaran bakteri kolera secara massif.
 Pada mulanya wabah kolera banyak ditemukan di rumah sakit yang kemudian tersebar di seluruh kota Surabaya, yakni mengikuti jalur tepi sungai yakni sekitaran rumah yang terletak di Sungai Krambangan, Bubutan, tikungan Kali Mas di Genteng, Kayoon dan rumah-rumah di sekitar kuburan.[9]
Melalui Rumah Sakit Militer yang kemudian menyebar ini penyebabnya dapat dikaitkan dengan bagaimana lingkungan di Surabaya pada saat itu yang tidak memiliki fasilitas sanitasi yang memadai untuk MCK(Mandi Cuci Kakus) dan makanan yang terkesan tidak menjaga kebersihan.
 Kontras dengan adanya mewabahnya penyakit kolera, salah satu penyebab utama adanya penyakit adalah pemukiman yang kumuh, Di balik pemukiman orangorang Eropa pemukiman-pemukiman elit muncul perkampungan-perkampungan pribumi dengan kondisi yang amat mengenaskan. Rumah-rumah dibangun dengan seadanya, seperti tiang dari kayu atau  bambu, pagar dibuat dari bambu yang dianyam (gedhek), atap biasanya dari genteng kretek (genteng tipis yang berharga murah), lantai-lantainya masih berwujud tanah tanpa pelapis.[10]
 Beberapa bulan kemudian baru pemerintah menginformasikan pembatasan sosial bagi pendatang yang memasuki kota Surabaya, pemerintah juga melakukan pemerikasaan kesehatan di pelabuhan, pemerintah juga mengkampanyekan praktik hidup sehat sebagai langkah preventif penyebaran wabah kolera, hal ini juga memiliki dampak ekonomi, dimana perdagangan sedikit terhambat akibat pembatasan di daerah pelabuhan.
 Perasaan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahpun muncul, dimana psikologi massa yang mengarah kecemasan semu muncul akibat dari munculnya desas-desus atau berita yang disinformasi, desas-desus ini muncul dari beberapa latarbelakang, karena pada saat itu fasilitas kesehatan kurang memadai dan terdapat diskriminasi terhadap warga bumiputra.Â
Masyarkat memilih cara dengan menimbun beberapa kebutuhan pangan, serta melakukan migrasi ke daerah pinggiran kota, hal ini malah menjadi sulitnya penanganan terhadap wabah ini.
 Pada tahun-tahun berikutnya wabah ini sempat mereda, tetapi di tahun 1918 gelombang selanjutnya wabah kolera mulai muncul, dimana tingginya penderita kolera semakin meningkat, akibat dari lingkungan perkampungan biasanya terkesan sebagai pemukiman yang kumuh dan tidak tertata. Lingkungan seperti ini sampai 1920-an masih banyak ditemukan di Surabaya.[11]
 Pada tahun-tahun ini mereka memang tidak bisa menggunakan cara lama seperti migrasi kedaerah pinggiran, karena penggunan ruang kota semakin masif yang menyebabkan semakin berkungnya lahan kosong, karena penerapan Agrarische Wet 1870 (Undang-undang Agraria) yang semakin kentara. Penumpukan masyarakat di perkotaan yang kumuh semakin tidak terkendali, pemerintah pada saat itu justru lebih mementingkan beberapa kelompok elite yang terpapar kolera untuk berobat dirumah sakit sehingga kesenjangan ini menimbulkan berbagai macam masalah.
 Akibat dari penumpukan masyarakat di lingkungan kumuh tersebut wabah ini menjadi tidak terkendali, sanitasi yang harusnya diwadahi pemerintah juga tidak segera diatasi sebagai langkah preventif penyebaran wabah kolera, kesenjangan terhadap faslitias publik kesehatan dan tata ruang kota yang buruk menjadi masalah yang memiliki masalah turunan seperti wabah penyakit. Hingga tahun 1918-1927 merupakan tahun dimana wabah ini banyak menelan korban jiwa (merujuk tabel penelitian: Aynul Muslimah)
 Namun menjelang tahun 1927-an pemerintah mulai menangani wabah dengan cara memberikan cairan vaksin dan elektrolit, serta usaha lain yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan dibentuknya sustu lembaga yakni lembaga perbaikan rumah penduduk yang waktu itu disebut dengan program kampongsverbeteering, dimana program ini diusulkan oleh Thomas Karsten, dengan adanya usulan ini maka gemeente Surabaya menanggapinya dengan membentuk NV.[12] Sehingga pada tahun tersebut mulai berkurangnya wabah kolera di Surabaya
 Wabah merupakan buah dari peradaban yang seharusnya dapat dijadikan suatu bahan refleksi, dimana korelasi antara pemerintah dan masyarakat yang saling bahu-membahu dapat menanggulangi masalah tersebut, Surabaya sendiri yang pada saat itu merupakan kota komersial yang maju di Indonesia ternyata tetap rentan terhadap wabah berkelanjutan, semodern apapun peradaban tersebut tetap rentan jika dihadapkan pada kondisi wabah, maka dari itu fasilitas publik suprastruktur termasuk kesehatan harus ditempatkan kepada basis masyarkaat ditengah melejitnya dan masifnya pembangunan insfrastruktur dan teknologi terhadap kebutuhan pokok ekonomi harus saling memiliki keterkaitan.
 Catatan KakiÂ
[1] Musjaya M Guli, Patogenesis Penakit Kolera Pada Manusia (Universitas Tadulako: Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2, 2016), hlm. 17
[2] Ibid
[3] John Ingleson, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial (Jakarta:Komunitas Bambu, 2004), hlm. 118
[4] Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya (Tangerang: Marjin Kiri, 2013) hlm. 82
[5] Ibid, hlm. 89
[6] Aizza Fijriyani dan Eni Sugiarti, Penyakit Kolera di Surabaya 1962-1974 (Surabaya: Jurnal Verleden Vol 3 No 1, 2014) hlm. 27
[7] Purnawan Basundoro, Op.Cit, hlm. 39
[8] Aynul Muslimah, Wabah Kolera di Jawa Timur 1918-1927 (Universitas Negri Surabaya: Avatara Jurnal Vol 4 No 3, 2016) hlm. 893
[9] Ibid, hlm. 896
[10] Loc.cit
[11] Loc.cit
[12] Loc.cit
Sumber
 Achdian Andi, 2020. Wabah-Wabah di Hindia Belanda: Kolera Menyerang Surabaya, Pemerintah Kolonial Tak Bisa Dipercaya. Tirto.id. Diakses pada:  17-09-2020
Basundoro Purnawan, 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya, Tangerang: Marjin Kiri
Basundoro Purnawan, 2013. Pemerintah Surabaya Masa Kolonial Belanda Sampai Masa Penjajahan Jepang. Urbana Historia. Diakses pada: 17-09-2020
Fijriyani Aizha dan Sugiarti Eni, 2014. Penyakit Kolera di Surabaya 1962-1974 (Surabaya: Jurnal Verleden Vol 3 No 1)
Guli M Musjaya, 2016. Patogenesis Penyakit Kolera Pada Manusia (Universitas Tadulako: Jurnal Biocelebes, Vol. 10 No.2)
Ingleson John, 2004. Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial Jakarta:Komunitas Bambu
Muslimah Aynul, 2016. Wabah Kolera di Jawa Timur 1918-1927 (Universitas Negri Surabaya: Avatara Jurnal Vol 4 No 3)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H