Etnis bumiputra juga terdiri dari beberapa etnis lain di Nusantara, tetapi etnis yang mendominiasi tinggal di Surabaya adalah etnis Jawa dan Madura, masyarakat bumiputra tersebar di hampir seluruh wilayah di Surabaya yang notabennya berada di wilayah-wilayah yang padat dan terkesan kumuh, prinsip enisitas menjadi patokan perebutan ruang-ruang di kota Surabaya, jika dibandingkan dengan pemukiman orang-orang bumiputra dan Arab, pemukiman orang-orang pendatang lainya jauh lebih teratur.
 Wilayah permukiman yang awalnya memiliki fungsi sebagai lahan persawahan atas intervensi pemerintah kota diubah hingga menjadi permukiman elite. Perkembangan perumahan dilengkapi dengan fasilitas penting menyesuaikan standar hidup modern. Perumahan yang dibangun lebih mengakomodasi tempat tinggal golongan Eropa daripada bumiputra, sehingga hanya golongan Eropa yang mampu membeli rumah itu.Â
Wilayah yang padat dan kumuh menjadi faktor yang terlihat mencolok akibat dari kesenjangan sosial pada masa itu dalam penyebaran suatu wabah penyakit di suatu wilayah termasuk di Surabaya pada tahun 1901-1927 yang menjangkit seluruh masyarkaat di Surabaya termasuk masyarak pendatang
 Wabah Kolera dan Dampaknya
 Kota Surabaya menjadi salah satu contoh kota-kota di Asia yang tidak sehat, yang disebabkan oleh faktor sosial dan geografis. Faktor sosial misalnya perilaku sehari-hari masyarakat kota Surabaya yang belum memahami cara-cara menjaga kebersihan diri serta kebersihan lingkungan pemukiman dengan baik[7]
 Perlu diketahui juga masyarakat Surabaya pada masa kolonial Belanda secara garis besar memiliki latar belakang pendidikan yang rendah akibat dari kolonialisme Belanda, hal ini memiliki implikasi pada maslah kesehatan masyarakat di Surabaya, bebagai macam aktifitas kesehariannya yang dirasa kurang memperhatikan kesehatan menjadi suatu hal umum di Surabaya pada masa itu sehingga masalah-masalah baru muncul salah satunya yaitu penyakit yang menjangkiti masyarakat.
 Seperti munculnya pandemi bernama wabah kolera, wabah ini juga menjangkit hampir di seluruh masyarakat di Hindia Belanda termasuk Batavia (Jakarta) dan di daerah lain. Wabah kolera ini dapat menyebar dikarenakan lingkungan penduduk yang terkesan kumuh pada saat itu, serta tidak memiliki sanitasi yang kurang baik, seperti banyaknya rumah penduduk yang masih terbuat dari bambu bahkan air yang digunakan untuk minum yang berasal dari sungai yang kotor.
 Timbulnya wabah dapat memberikan salah satu gambaran buruknya kondisi kesehatan penduduk. Berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi masyarakat meliputi gizi atau nutrisi yang tidak baik, kurang dalam hal menjaga kebersihan lingkungan dan penyediaan air bersih maupun pelayanan kesehatan. Gambaran semacam ini umum terjadi di negara-negara miskin atau sedang berkembang dengan pertumbuhan penduduk besar, hal ini juga menimpa penduduk di pulau Jawa pada masa kolonial.[8]Â
 Wabah kolera di Surabaya terjadi pada 1901, menurut Andi Achdian dalam Tirto.id melalui laporan de locomotief bahwa beberapa kuli kontrak di beberapa daerah Surabaya mengalami sakit perut kemudian meninggal dunia, kemudian hal ini menjadi awal kecurigaan terhadap datangnya wabah kolera di Surabaya, tetapi pemerintah kolonial pada saat itu mereduksi informasi tersebut agar tidak terjadi kepanikan berlebih dan muncul kritik pada masyarkat, hal ini berimplikasi pada penyebaran bakteri kolera secara massif.
 Pada mulanya wabah kolera banyak ditemukan di rumah sakit yang kemudian tersebar di seluruh kota Surabaya, yakni mengikuti jalur tepi sungai yakni sekitaran rumah yang terletak di Sungai Krambangan, Bubutan, tikungan Kali Mas di Genteng, Kayoon dan rumah-rumah di sekitar kuburan.[9]
Melalui Rumah Sakit Militer yang kemudian menyebar ini penyebabnya dapat dikaitkan dengan bagaimana lingkungan di Surabaya pada saat itu yang tidak memiliki fasilitas sanitasi yang memadai untuk MCK(Mandi Cuci Kakus) dan makanan yang terkesan tidak menjaga kebersihan.