Bakteri Vibrio Cholerae masuk ke dalam tubuh seseorang melalui makanan dan minuman yang telah terkontaminasi oleh Bakteri akan mengeluarkan Enterotoksin di dalam tubuh seseorang pada bagian saluran usus, sehingga menimbulkan diare disertai muntah yang akut dan sangat hebat, dan berakibat seseorang dalam waktu hanya beberapa hari akan kehilangan banyak cairan dalam tubuhnya sehingga mengalami dehidrasi.[2]
 Di Surabaya sendiri pada saat itu kolera menyebar melalui air sanitasi yang buruk, karena tidak adanya fasilitas yang memadai terhadap MCK (Mandi Cuci Kakus) sehingga air tersebut terpapar bakteri Vibrio Cholorae.
 Kota Surabaya Awal Abad 20  Â
 Awal abad XX kota-kota besar di Jawa sebagian besar menjalankan fungsinya sebagai pusat-pusat administratif dan komersial[3] salah satunya yaitu kota Surabaya. Undang-undang Desentralisasi tahun 1903 menjadi latarbelakang perkembangan kota Surabaya, dimana Surabaya kala itu menjadi suatu wilayah Kotamadya otonom atau yang dikenal dengan sebutan Gemeente.Â
 Implikasi atas pembentukan pemerintahan yang otonom, maka beberapa kewajiban yang sebelumnya dijalankan oleh pemerintah pusat dalam rangka mengelola Kota Surabaya, selanjutnya akan diserahkan kepada Gemeente Surabaya.Â
Beberapa kewajiban tersebut antara lain: 1. Perawatan, pembetulan, pembaharuan, dan pembuatan jalan umum, jalan raya, lapangan, pekarangan, taman dan tanaman-tanaman, parit, sumur, rambu-rambu jalan umum, papan nama, jembatan, dinding dam, penguatan dinding selokan dan got, pembandian umum, cuci dan kakus, pemotongan hewan, dan pasar., 2. Penyiraman jalan raya, pengambilan sampah di sepanjang jalan, pengambilan sampah di jalan-jalan kecil dan di lapangan., 3. Pemadam kebakaran., 4. Pembuatan makam.
 Secara geografis, wilayah distrik kota Surabaya dapat dibagi menjadi dua, yaitu kawasan pedesaan yang berbasis pertanian, dan kawasan perkotaan yang berbasis pada industri, perdagangan dan jasa.[4]Â
 Namun pada masa itu perkembangan secara progesif kota Surabaya dari wilayah pedasaan yang berbasis pertanian ke corak kota industrial menjadi proses perubahan sosial kultural masyarakat secara radikal.Â
Bagi yang tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan radikal tersebut, maka mereka harus pasrah menjadi orang-orang yang mau bekerja apa saja, yang sebenarnya tidak cocok dengan latar belakang sosial-kultural mereka. Salah satu contohnya adalah sebagai pembantu rumah tangga dan pekerjaan lain yang masih dalam lingkup sektor jasa.[5]
 Dinamika perekonomian kota Surabaya yang meliputi industri dan perdagangan serta pembangunan infrastruktur yang meliputi jalan, transportasi, dan permukiman berpengaruh terhadap komposisi penduduk dan masyarakat kota. Ini disebabkan oleh peluang kerja yang besar sehingga menarik minat orang bermigrasi ke Surabaya.
 Kelompok etnis yang tinggal di Kota Surabaya dapat dilihat pada Kota Surabaya sebagai pusat pemerintahan dan pusat aktivitas ekonomi telah menarik minat-minat orang Eropa untuk tinggal di kota ini. Keberadaan mereka turut mempengaruhi kemajuan Surabaya.[6] Penduduk Surabaya merupakan masyarakat yang heterogen, Surabaya sendiri terdiri dari campuran etnis bumiputra dan beberapa etnis pendatang seperti Eropa, Arab, Cina, dan Timur Asing seperti India.Â