“ohh, jadi maksudnya kalau jagoan pembela kebenaran seperti Jakabaruna ilmunya pancasona, sedangkan kalau penjahat seperti Reksadipa ilmunya rawe rontek, begitu?!”
“Tepatt!!” Amir dan Iwan kompak menjawab.
Amir tiba-tiba memperagakan salah satu jurus silat. Tatapannya tajam, menancap bergantian pada mata teman-temannya. Mukanya gahar. Badannya mengeras dan gemetar. Bedul nampak serius. Muji dan Iwan sedikit ketakutan. Amir kemudian mematung dengan posisi tangan siap mencakar. Sedangkan wajahnya telah menunduk dengan mata terpejam.
Amir cukup lama tak bergerak. Teman-temannya saling pandang. Tiba-tiba saja suasana begitu hening. Lamat-lamat terdengar suara harimau meraung dari mulut Amir. Sontak membuat Bedul dan yang lainnya bangkit memegangi tubuh temannya itu.
“Mir! Amirrr...sadarrr!!” Bedul menepuk-nepuk punggung Amir. Sementara Muji dan Iwan sigap memegangi kedua tangan Amir. Amir tetap meraung. Badannya makin kaku dan gemetar. Urat-uratnya menyembul seiring tarikan nafasnya yang begitu dalam. Muji dan Iwan memandang Bedul dengan muka ngeri. Memintanya untuk segera menyadarkan Amir dengan cara apapun.
“Plakkk...!!” Bedul mengelepak kepala Amir dengan sangat keras. Namun Amir tetap bergeming. Bahkan raungannya semakin keras. Bedul kembali mengelepak kepalanya, bahkan lebih keras. Ia mengelapak hingga tiga kali. Setelah itu Amir baru tersadar. Tubuhnya kembali lemas. Harimau telah pergi dari tubuhnya. Muji dan Iwan menghela nafas lega.
“belajar dari mana sih ilmu begituan?!” tanya Bedul kesal. Amir tak menanggapi pertanyaan Bedul. Ia terlihat bingung dan masih belum sadar betul dari kerasukannya. Namun meski begitu nampaknya ia menyadari apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Amir sudah sering mengalami kerasukan jurus harimaunya sendiri. Bedul kembali mengulang pertanyaannya.
“Memang kalian tak diajarkan sama bang Sanusi?!” Amir balik bertanya pada teman-temannya
“ilmu harimau?!” Sahut Iwan
“iya, Maung panjalu!” tegas Amir
“tidak! Kami baru belajar kuda-kuda saja” jawab Muji dengan nada heran