Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kembang Sereh

31 Desember 2015   14:34 Diperbarui: 5 Januari 2016   13:17 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang menjelang sore. Sekumpulan bocah sedang asik berkumpul di bawah pohon jambu. Daunnya yang rindang menepis panas matahari yang masih saja menyengat. Keteduhan yang dihadirkan terasa begitu memanjakan canda tawa mereka. Bedul, Amir, Muji dan Iwan, mereka sedang asik bercerita tentang jurus – jurus yang baru semalam mereka kuasai. Mereka telah menyempurnakannya lewat sajian layar tancep hiburan pernikahan anak pak Lurah. 

“Kau lihat saat Jakabaruna tak mempan ditebas oleh golok Reksadipa?! Lukanya langsung tertutup kembali. Darahnya lantas mengering” Amir begitu antusias.

“Itukan karena ajian rawe rontek yang dimilikinya, Mir” sahut Bedul

“kau salah Dul” sambar Muji

“Jakabaruna itu menguasai ajian pancasona, bukan rawa rontek!”

“iya betul! rawe rontek itu ajiannya Reksadipa Dul” timpal Iwan

“ahh yang benar?! setahuku mereka sama-sama tak bisa dibunuh karena memiliki ilmu yang sama”

“memang ilmunya mirip tapi namanya beda” lanjut Iwan

“ko bisa begitu?”

“Kau tak ingat Dul yang dibilang bang Sanusi tempo hari?!”

“iya Dul, kata bang Sanusi pancasona itu ilmu kebaikan sumbernya dari Gusti Alloh. Sedangkan rawe rontek ilmu untuk kebathilan sumbernya Setan Dul!!”

“ohh, jadi maksudnya kalau jagoan pembela kebenaran seperti Jakabaruna ilmunya pancasona, sedangkan kalau penjahat seperti Reksadipa ilmunya rawe rontek, begitu?!”

“Tepatt!!” Amir dan Iwan kompak menjawab. 

Amir tiba-tiba memperagakan salah satu jurus silat. Tatapannya tajam, menancap bergantian pada mata teman-temannya. Mukanya gahar. Badannya mengeras dan gemetar. Bedul nampak serius. Muji dan Iwan sedikit ketakutan. Amir kemudian mematung dengan posisi tangan siap mencakar. Sedangkan wajahnya telah menunduk dengan mata terpejam. 

Amir cukup lama tak bergerak. Teman-temannya saling pandang. Tiba-tiba saja suasana begitu hening. Lamat-lamat terdengar suara harimau meraung dari mulut Amir. Sontak membuat Bedul dan yang lainnya bangkit memegangi tubuh temannya itu. 

“Mir! Amirrr...sadarrr!!” Bedul menepuk-nepuk punggung Amir. Sementara Muji dan Iwan sigap memegangi kedua tangan Amir. Amir tetap meraung. Badannya makin kaku dan gemetar. Urat-uratnya menyembul seiring tarikan nafasnya yang begitu dalam. Muji dan Iwan memandang Bedul dengan muka ngeri. Memintanya untuk segera menyadarkan Amir dengan cara apapun. 

“Plakkk...!!” Bedul mengelepak kepala Amir dengan sangat keras. Namun Amir tetap bergeming. Bahkan raungannya semakin keras. Bedul kembali mengelepak kepalanya, bahkan lebih keras. Ia mengelapak hingga tiga kali. Setelah itu Amir baru tersadar. Tubuhnya kembali lemas. Harimau telah pergi dari tubuhnya. Muji dan Iwan menghela nafas lega. 

“belajar dari mana sih ilmu begituan?!” tanya Bedul kesal. Amir tak menanggapi pertanyaan Bedul. Ia terlihat bingung dan masih belum sadar betul dari kerasukannya. Namun meski begitu nampaknya ia menyadari apa yang baru saja terjadi pada dirinya. Amir sudah sering mengalami kerasukan jurus harimaunya sendiri. Bedul kembali mengulang pertanyaannya. 

“Memang kalian tak diajarkan sama bang Sanusi?!” Amir balik bertanya pada teman-temannya

“ilmu harimau?!” Sahut Iwan

“iya, Maung panjalu!” tegas Amir

“tidak! Kami baru belajar kuda-kuda saja” jawab Muji dengan nada heran

“Bang Sanusikan baru mengajarkan ilmu lain selain kuda-kuda hanya pada kamu dan Bedul saja Mir!” Lanjut Iwan, kali ini suaranya dipenuhi dengan kecemburuan

“tapi aku belum dapat ilmu harimau seperti Amir” bantah Bedul

“wah, kau memang murid kesayangan bang Sanusi, Mir!” sambung Iwan. 

“sudah-sudah! Mungkin bang Sanusi hanya lupa mengajarkannya pada kalian” amir mencoba meredam pembicaraan. Namun kekecewaan makin terlihat jelas di muka para temannya itu. Ia tahu bahwa diantara teman-temannya, memang hanya dirinya yang baru diajarkan ilmu maung panjalu oleh bang Sanusi. 

Merasa tidak enak Amir lalu berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. “Iwan, Muji! bagaimana kalau aku ceritakan rahasia kesaktian ilmu bang Sanusi” bujuk Amir.

“ah aku sih maunya rahasia pancasona!” Muji tampak masih kesal.

“wah kalau ilmu yang satu itu sih jangankan aku, bang Sanusi saja aku yakin belum tentu tahu”

“iya Ji, itukan ilmu tingkat dewa” bela Iwan. 

Bedul hanya mendengarkan negosiasi diantara temannya itu. Ia berusaha tak terlalu ikut campur dan membuat suasana semakin panas. Meskipun jauh di lubuk hatinya kalau ia juga sedang merasa kecewa telah dianak tirikan oleh bang Sanusi. 

“ya sudah kau mau cerita rahasia apa tentang bang sanusi?!” Muji melunak. Amir tak menyia-nyiakan kesempatan untuk segera menebus rasa bersalah pada teman-temannya itu. 

“Begini, bang Sanusi pernah bercerita bahwa selain ilmu silat, ada hal-hal atau benda lain yang bisa membuat orang-orang menjadi sakti”

“wah beneran, Mir?! Apa ituh?!

“ssssssstttttt....diam dulu dong Ji!!” potong Iwan kesal. Muji kemudian diam dengan wajah dilipat

“kalian pernah dengar tali pocong perawan? Ari-ari kucing? Atau yang paling sakti lagi kembang sereh?!” 

“Ahhh... jangan kau jejali mereka dengan tahayul Mir, kau sendiri apa percaya dengan semua itu?!” sambar Bedul dari posisi duduknya yang menyender pada pohon jambu.

“aku percaya Dul!, hanya saja aku belum pernah mencoba untuk mencarinya”

“tapikan kau dengar sendiri malam itu bang Sanusi bilang bahwa semua benda-benda itu belum terbukti benar kesaktiannya. Orang-orang hanya berusaha mengkultuskan benda atau barang yang memang sulit ditemukan atau mustahil untuk didapat” 

“biarkan Amir cerita dulu dul! kaliankan sudah dengar, aku dan Muji sedikit saja belum” Iwan protes. Ia makin kesal setelah menyadari statusnya bersama Muji benar-benar sebagai “anak tiri” di mata bang sanusi. Bedul terdiam, ia menangkap kekesalan temannya itu. Amir menarik kembali tatapannya pada Bedul. Melanjutkan ceritanya pada Muji dan Iwan. 

Amir mulai bercerita. Ia mengatakan bahwa tali pocong perawan yang diambil dari makamnya bisa membuat orang yang memakainya menjadi tidak terlihat oleh orang lain. Amir juga menjelaskan bahwa tali pocong itu harus diambil tepat dimalam pertama sang perawan dimakamkan. Jika lewat, maka kesaktiannya akan hilang. 

Muji dan Irwan terlihat terkesima mendengar kesaktian tali pocong tersebut. Merekapun saling pandang. Namun tak berapa lama antusias di wajah mereka menurun. Betapa sulitnya mendapatkan benda tersebut. Terlebih bagi Muji, bagaimana mau membongkar sebuah makam. Lewat makam disiang bolong saja ketakutannya setengah mati. 

“lalu bagaimana dengan ari-ari kucing, Mir?" lanjut Muji penasaran. Amir berkata bahwa ari-ari kucing yang dibungkus dengan kain putih lalu di ikatkan di pinggang akan membuat si pemilik menguasai ilmu ringan tubuh dan dapat memanjat-meloncat lincah di atap-atap rumah penduduk seperti kucing. Tentu saja orang tersebut juga akan memiliki pandangan tajam menembus gelap malam, serta mampu mendengar suara bisikan jangkrik sekalipun.

Caranya saat kucing akan beranak, sebaiknya ditunggui. Sebelum mereka memakan ari-ari anaknya sendiri, kita harus cepat-cepat mengambilnya. Syaratnya jangan sampai si induk melihat saat kita mengambil benda tersebut darinya. Jika tidak maka kesaktian ari-ari tersebut akan luntur saat itu juga. 

“eh Muji! bukannya kau punya kucing di rumah?!

“iya, tapikan jantan Wan. Mana bisa beranak! Lagian emang kamu pernah memergoki kucing mau beranak?! Iwan menggeleng. Muji melihat ke arah Bedul. Ia pun menggeleng. Mereka kemudian saling pandang kembali. 

“Baiklah, bagaimana dengan yang terakhir Mir?! Apa tadi?!”

“kembang Serehh...!” sambar Bedul.

“ohh iyaa..!!” namun sebelum Amir lanjut bercerita. Bedul sudah lebih dulu melemparkan sebuah pertanyaan. 

“sudah ada yang pernah melihat pohon sereh berkembang?!” tatapan Bedul menghampiri satu-satu mata kawannya itu. Pertama Iwan menggeleng, lalu Muji dan terakhir Amir sendiri.

“Nahhh! sebagaimana tali pocong dan ari-ari kucing, kembang sereh juga mustahil untuk didapatkan!” lanjut Bedul puas. Ia mengulum suara tawanya sendiri. Ia merasa baru saja berhasil mematahkan rasa antusias dan penasaran teman-temannya itu. Bedul kemudian berdiri. Namun iwan lanjut bertanya padanya. 

“Memang apa kesaktian dari kembang sereh, Dull?!” 

“Sesakti ajian pancasona!” jawab Bedul sambi lalu. Ia melangkah meninggalkan Iwan dan Muji yang masih saling pandang dengan mulut menganga. Mereka begitu terkesima dengan kesaktian kembang sereh yang baru saja dilontarkan oleh Bedul. 

Langit mulai gelap. matahari sebentar lagi tenggelam. Sayup – sayup terdengar suara katak dari ujung petak sawah yang berada di sebelah barat kumpulan pohon jambu tempat mereka berteduh. Iwan, Muji dan Amir bergegas menyusul langkah Bedul. Mereka segera kembali ke rumah.   

***

“Pranggg..!!” terdengar suara piring kaleng terjatuh. Asalnya dari arah dapur. Seorang wanita paruh baya bergegas melihat kegaduhan tersebut. 

“Astagfirullohhhh...Bedullll!! kenapa banyak darah Berceceran?! Tanganmu kenapa Dulll?!! Perempuan itu mendekati anaknya. Mendekap luka sayatan pisau ditangan kirinya yang masih mengeluarkan darah segar itu dengan kain lap dapur. 

“Makk...!!itu kembang apa yang ada di penyaringan Emak?!” Bedul bertanya sambil meringis menahan sakit di tangannya. Namun emak tidak lantas menjawab. Ia menarik lintingan kain putih yang terikat lemah di pinggang anaknya itu. 

“Apa ini Dul?!” emak tiba-tiba melotot pada Dul. Ia paham betul dengan obsesi anaknya itu. Terlebih setelah setahun bergabung dengan perguruan silat “Harimau Putih” pimpinan Sanusi Azhar yang tersohor seantero kampung. Anaknya jadi begitu berambisi dengan yang namanya kesaktian. 

“astagfirullohalazimm....!!”emak kembali menyebut. Kali ini ia benar-benar marah pada anaknya itu.

“Musyrikkkk..Dulll!!...Musyrikkk...!!” emak menempeleng kepala Dul. 

“Musyrikk bagaimana Mak?! Ini cuma kembang serehh..!!” Dul berkelit. Emak terlihat makin gemas dengan anak lelakinya itu. Namun emak mengerem kemarahannya. Emak memilih menasehati Dul dengan cara pelan.

“Le..!!..percaya sama kekuatan selain Gusti Alloh itu Musyrikk! Dosa besar, Le..!! Mau itu kembang sereh, keris, batu cincin, apalagi kepada setan dan Jin! Amit-amit Le..!! istigfar!! istigfar!! Lagipula ini bukan kembang sereh tolee..!! ini kembang kunyit!! barusan emak petik minta di kebun belakang rumah mbah Sumi buat pepes ikan kesukaan bapakmu”. 

Bedul diam menunduk. Ia tak berani menatap wajah emaknya. Entah karena malu telah salah mengenali kembang atau memang karena ia tahu kalau emaknya sedang sangat marah padanya. 

-----o0o----- 

Depok, 31 Desember 2015 

Tole, panggilan anak lelaki jawa 

----

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun