Mohon tunggu...
Andri Sipil
Andri Sipil Mohon Tunggu... Insinyur - Power Plant Engineer

a Civil Engineer

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Impianku, Menerangi Indonesia

27 Oktober 2015   06:04 Diperbarui: 29 Oktober 2015   16:25 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinus berlari kencang menuju rumahnya diujung padang. Semangatnya menerabas, melibas pagar rumput ilalang yang menjulang, sepinggang. Memotong jarak, mencari jalan pintas, bergegas. Langkah cepatnya lincah seperti pemain bola menghindari hadangan lawan. Kekiri-kekanan mencari celah yang bisa dengan mudah dilewatinya. Tangan kanannya menggantung, memegangi tas kain selempangnya yang ikut terbang, pontang-panting.

“Mamakkk...Mamakkk....!!” teriaknya antusias

“Martinusss...!, Mamakmu dibelakang..!!” Mamak balas berteriak.

“Mamak, Tinus berhasil Mamak”

“Juara berapa kau Nak?!” Tanya Mamak penasaran.

“Belum Mamak, Tinus baru lolos ke babak final besok.”

“Ohh, Mamak kira kau sudah juara Nak”

“Belum Mamak…belum..!!” intonasi suaranya menurun. 

Mamak kemudian memegang kedua sisi kepala Tinus, sedikit membungkuk, ia dekatkan mukanya dan berkata:

“Nak, Mamak doakan besok kau juara!”

“Terimakasih Mamak..!” Tinus kembali tersenyum, sebuah pelukan hangat diberikannya pada Mamak. 

Esok, final perlombaan adu tangkas tingkat SMP sekabupaten Alor akan digelar. Semangat belajar Tinus sedang tinggi-tingginya. Ia yakin akan menjadi juara. Bersama dua temannya,  grup adu tangkasnya yang bernama Bintang Laut itu berhasil lolos kebabak final mewakili sekolahnya tersebut. 

Perlombaan ini diadakan dalam rangka memperingati HUT Kabupaten Alor yang ke 50. Kebetulan bertepatan dengan berakhirnya masa tahun ajaran. Materi yang dilombakan adalah mata pelajaran tingkat SMP. Mulai dari kelas 1 sampai kelas 3. Tinus merupakan salah satu siswa berprestasi. Sehinga ia didapuk untuk menjadi salah satu siswa yang bertanding mewakili sekolahnya. 

Bermacam nasehat, petuah, wejangan, kata-kata penyamangat telah ditelannya. Para guru membisikan tentang materi-materi apa saja yang harus ia pelajari kembali. Terutama materi-materi pelajaran dikelas 1 dan 2. 

*** 

Hari menjelang sore. Mamak sibuk mengangkat sagu-sagu yang telah seharian dijemur. Sagu –sagu itu telah siap ditumbuk halus, diolah menjadi papeda. Orang-orang timur paling senang memakannya dengan kuah kuning dan ikan tude bakar. Rasanya gurih dan segar.

Sehabis mandi dan makan, Tinus sudah bersiap duduk didepan meja belajarnya. Sebuah meja kayu berukuran sedang, yang kadang berfungsi juga sebagai tempat keluarganya makan. Bapak Tinus masih berlayar mencari ikan, biasanya tiga hari baru pulang. 

“Mamak....!!” Tinus tiba-tiba saja panik.

“Kenapa lampu tidak menyala Mamak?!”

“Sudah kau tekan tombol listriknya Tinus?! Mamak menyahut dari dapur.

Mamak berjalan mendekati Tinus. Matanya jeli mengamati tombol sakelar, memastikan posisinya sudah benar. Mamak menarik-menghempaskan nafas dengan berat. Ia bertolak pinggang. Mendongak ke arah bola lampu yang masih saja tertidur. 

Mamak tiba-tiba mengomel. Ia marah-marah, memaki bola lampu yang diam menggelantung. Mamak kesal karena lagi-lagi tak ada listrik malam ini. Apalagi besok anaknya akan bertanding habis-habisan di final adu tangkas. Kondisi rumah tanpa cukup penerangan membuat Tinus tak bisa belajar dengan maksimal. 

Tinus meletakan dagunya diatas meja, jemarinya lemah memutar-mutar memainkan pensil. Semangatnya tiba-tiba menguap. Mamak segera menyiapkan lampu minyak. Diletakannya lampu kaleng-sumbu tersebut diatas meja tempat Tinus belajar. Tinus berusaha fokus memperhatikan lembaran demi lembaran buku soal-soal yang dipinjamnya dari sekolah. Sesekali ia mengucek matanya. Sebelah kanan-kiri bergantian. Temaram cahaya lampu minyak membuat mata Tinus bekerja lebih berat dari biasanya. Membuat lelah lebih cepat datang. Mengundang rasa kantuk. 

Tinus tetap belajar. Meski matanya terasa berat. Merah-berair karena dipaksakan. Ia tetap bertahan. Sekuat tenaga ia berusaha melawan rasa kantuknya, yang sudah mencapai tingkat keparat. Sesekali kepalanya jatuh kedepan, seperti orang mengangguk. Namun lekas tegak kembali. Sebelum akhirnya ia terkulai tak berdaya diatas meja. Tertidur. 

***

Perlombaan adu tangkas sepuluh menit lagi akan dimulai. Tinus bersama dua rekan grupnya sudah siap duduk ditempat yang disediakan. Didepan meja yang tertutup kain bermotif khas daerah itu tertempel kertas bertuliskan “Bintang Laut”. Meja dewan juri berada dihadapan ketiga grup yang siap bertanding. 

Perlombaan berjalan ketat. Susul meyusul nilai antar grup tak bisa dihindari. Peta kekuatan ketiga grup nampak seimbang. Jelas mereka memang murid-murid pilihan. Tinus dengan sigapnya mengangkat tangan, melahap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pemandu acara. Khusus mata pelajaran fisika dan matematika. Ia memang jagonya. 

Grup lawan giliran gantian merebut beberapa point. Terutama saat pertanyaan-pertanyaan bidang ilmu sosial dan sejarah mulai memberedel para peserta. Diikuti dengan bidang ilmu biologi dan pendidikan moral. Perlombaan begitu meriah. Yel-yel dukungan dari sekolah masing-masing bergantian menggaung. Sorak sorai terdengar bagai genderang yang ditabuh dimedan perang. 

Tiba pada pertanyaan terakhir. Sebuah pertanyaan penentuan. Papan nilai disamping tenda memperlihatkan telah terjadi perolehan skor seimbang pada dua grup. Yaitu grup Kutikula dan Bintang laut. Sehingga dewan juri memutuskan untuk memberikan satu pertanyaan rebutan. 

“ini pertanyaan fisika” pemandu acara memberitahu peserta. Suaranya memecah kesunyi-tegangan yang merasuk diantara para peserta dan penonton. Tinus menegakan sikap duduknya. Ia memiringkan sedikit kepalanya. Mengarahkan salah satu lubang telinganya kesumber pengeras suara. Ia bersorak kegirangan dalam hati. Bidang pertanyaan yang tepat untuknya. Kepercayaan diri Tinus kian besar. 

“Pertanyaannya adalah.., anak-anak tolong disimak baik-baik!” pemandu acara menghimbau peserta. Sebuah himbauan yang membuat para peserta dan penonton terlihat makin tegang. Sesekali ia memukul-mukul kepala mikrofon. Memastikan pengeras suaranya dalam keadaan baik. Tinus berkonsentrasi, telinganya sigap siap menangkap segala pertanyaan yang akan keluar dari arah pengeras suara tersebut. 

“Hukum Coulomb dalam ilmu fisika menjelaskan tentang: besarnya gaya yang dapat ditimbulkan antara dua benda bermuatan sebanding dengan kedua muatan dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak kedua muatan tersebut.” 

“gaya apakah yang dimaksud?!!” 

Tinus merasa tidak asing dengan pertanyaan tersebut. Ya tentu saja. Ini materi fisika kelas tiga. Belum lama ia mempelajari materi ini. Ada sedikit keraguan. Namun ia tetap saja melaju. Ia tak mau peluang kemenangannya didahului oleh grup lawan. Dengan cepat Tinus mengangkat tangan. 

“ya, grup Bintang Laut!” pemandu acara menunjuk ke arah meja Tinus.

Kemudian dengan tegas ia menjawab. “Gaya Magnet pak!” 

Terjadi keheningan sesaat. Sebelum akhirnya pemandu acara mengatakan “salahh!!” 

“ya, grup Kutikula!”

“Gaya Listrik pak!”

“Benarrrrr.....!!!” dengan demikian grup Kutikula memenangi perlombaan dan meraih juara pertama. 

Tinus tertunduk. Ia tak menyangka jawabannya akan salah. Ia lunglai, lemas. Mukanya diletakan diatas meja, diatas dua tangan. Ia telah membuat sekolahnya kalah. Tepukan demi tepukan mendarat di bahunya. Ucapan selamat atas raihan juara keduapun mulai berdatangan dari teman-teman dan gurunya. Meski kemudian ia harus bisa menerima. Ia merasa ada penyesalan terhadap sebuah keraguannya. 

Ya, sebuah keraguan yang sempat mampir disaat-saat ia akan menjawab pertanyaan terakhir tadi. Keraguan yang tidak sempat ia pastikan dalam belajarnya tadi malam. Tidak sempat membuka buku-buku pelajaran kelas tiga. Karena ia terlanjur tertidur kelelahan. Ini karena semalam tak ada listrik. ya listrik. Karena “gaya listrik” pula ia kalah. Tinus mulai menyalahkan keadaan. dan tiba-tiba saja saat itu ia sangat membenci mendengar kata listrik. 

***

Tinus menyusuri jalan pulang menuju rumah. Ia menolak ikut rombongan sekolah. Ia masih kesal pada dirinya karena tak mendapat juara pertama. Ia ingin marah kepada tiang listrik. Melampiaskan kekesalannya itu pada batang-batang besi hitam yang berjajar congkak dipinggir jalan, seolah tak punya salah. Setiap tiang yang ia temui dihadiahkannya makian-makian Mamak. Sesekali ia menendang keras seolah-olah tiang itu bisa merasakan sakit.

Satu tiang, dua tiang, sepuluh tiang, lima puluh, tujuh puluh, seratus dua belas tiang ia lewati. Kelelahan akhirnya menghentikan langkahnya. Ia kewalahan menahan sesak nafas yang tiba-tiba menekan dadanya. Energinya habis tercurah pada tiang listrik. Ia membungkuk. Kedua tangannya menopang didengkul. Tatapan matanya panjang menyisir jajaran tiang sampai keujung batas pandangannya. Tiang – tiang itu seperti tak berhenti. Terus berjalan jauh meninggalkannya. 

Ia terduduk bersandar dibawah tiang ke seratus tiga belas. Jarak rumahnya masih sekitar 15 km. Terik matahari baru saja menyadarkan betapa jauhnya perjalanan yang harus ia tempuh. ia telah buta oleh rasa kesal. 

Setelah mengumpulkan sedikit tenaga. Ia melanjutkan menyusuri jalan. Tiba-tiba saja terdengar suara klakson mobil dari arah belakang. Mobil Petugas Listrik.Tinus ikut menumpang. Ia duduk didepan disamping bapak sopir yang belakangan ia ketahui ternyata seorang Manajer Ranting Perusahaan Listrik Negara didesanya. 

Setelah perkenalan singkat. Tinus tiba-tiba saja ingin protes. Ini kesempatan, kata hatinya. Sepertinya ia ingin menghabisi kekesalannya yang masih mengganjal itu kepada pak manajer. 

“Bapak, kenapa semalam tak ada listrik dirumah Mamak?! Aku tak cukup belajar!” Tanya Tinus dengan sedikit kesal.

Pak Manajer sempat sedikit terkejut mendengar pertanyaannya. Ia menoleh kearah Tinus sebentar, kemudian tersenyum. 

“Martinus, listrik didesa kita masih sangat kurang Nak. Pasokannya pun hanya mengandalkan beberapa buah mesin diesel tua saja. Rumah-rumah yang harus dilistriki jauh lebih banyak dari listrik yang dihasilkan. Jadi bapak harus mengatur, membaginya biar semua bisa menikmati listrik. Namun jangan khawatir, pemerintah terus berusaha untuk memenuhinya. Pembangkit-pembangkit listrik baru sedang gencar dibangun. Kita doakan semoga berjalan baik dan cepat selesai. Sehingga desa kita tidak kekurangan listrik lagi.” Tinus serius mendengarkan. 

“Kalau pemadaman semalam itu karena gangguan jaringan. Kamu lihat kabel-kabel listrik yang sedang kita lewati dipinggir jalan. Banyak hal yang bisa merusaknya. Menyebabkan gangguan jaringan. Sehingga listrik padam. Salah satunya ranting-ranting pohon yang tumbang. Bahkan benang layang-layang pun dapat dengan mudah menggangunya.”    

“Sulitkah memperbaikinya Bapak?” Tanya Tinus penasaran. Pak Manajer kembali tersenyum.

“Tinus, kalau kamu mengerti, semua hal sebenarnya tidak sulit. Hanya saja memiliki resiko. Coba kamu bayangkan berapa panjang bentangan kabel-kabel listrik tersebut. Ia seperti tak memiliki pangkal dan ujung. Membelah sawah-perbukitan.” 

 “Petugas-petugas listrik harus rutin memeriksa kabel-kabel tersebut. Memastikan tidak ada gangguan yang bisa menyebabkan kekecewaan masyarakat, seperti kamu dan Mamakmu semalam Tinus” pak Manajer kembali menoleh dengan senyumnya. 

“kau tau bagaimana petugas-petugas listrik memeriksa kabel-kabel itu Tinus?!

Tinus menjawab dengan gelengan kepala.

“mereka akan menyusurinya dari pangkal hingga ujung. Dari sawah hingga gunung. Dari pagi hingga malam. Kadang mereka harus menerima resiko tersengat listrik. Belum lama pegawai Bapak meninggal tersengat listrik ketika sedang memperbaiki jaringan. Bapak selalu mengingatkan akan pentingnya keselamatan bekerja.” 

Tinus terdiam. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia baru mengerti setelah Bapak Manajer menjelaskan semuanya. 

“Belajarlah yang rajin Tinus!, agar kau menjadi orang pandai” pak Manajer menasehati Tinus, sebelum akhirnya menurunkannya dipinggir jalan. 

***

Mamak sudah menunggu didepan rumah. Kecemasan begitu kental terlihat diwajahnya. Tinus terlihat diujung padang. Langkahnya gontai. Mamak kemudian menjemputnya. Ia melihat sebuah raut diwajah anaknya tersebut. Antara kalah dan lelah. Ia seperti habis mengembara melewati perjalanan jauh. Segera Mamak memeluknya erat. 

“Tinus, kau tetap juara buat Mamak Nak!” Mamak berusaha menguatkan Tinus.

Tak berapa lama Tinus melepaskan pelukan Mamaknya, kemudian menatapnya. 

“Mamak, Martinus ingin jadi Pegawai Listrik..!”

“Tinus ingin menerangi rumah, desa dan seluruh Indonesia” 

Mereka masih berpandangan. Mamak terlihat bingung. Ia tak mengerti kenapa anaknya berkata seperti itu. Namun ia menangkap ada sebuah ketulusan dari sorot mata Martinus. Mamak tak bisa berkata-kata. Ia hanya kembali memeluk anak kesayangannya itu. Lebih erat dari sebelumnya.

 

Selamat Hari Listrik Nasional

Depok, 27 Oktober 2015.

Ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun