Mohon tunggu...
Andrio N Tambun
Andrio N Tambun Mohon Tunggu... Akuntan - Mahasiswa

Prof. Dr. Apollo. M.Si. Ak. 55520120034 Andrio N Tambun Universitas Mercubuana Jakarta Magister Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB2 Cara Memahami Peraturan Perpajakan Internasional dari Sudut Pandang Wilhelm Dilthey dan Immanuel Kant

25 Mei 2022   00:56 Diperbarui: 25 Mei 2022   01:02 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image made by Andrio N Tambun

Setelah melalui teori hermeneutika guna mengetahui mengapa peraturan itu penting terkhususnya peraturan perpajakan selanjutnya pertanyaan apakah setelah memahami suatu peraturan perpajakan masih di temukan penghindaran pajak? Dan bagaimana cara mengatasi adanya double taxing antar negara? Di dalam paragraf-paragraf awal diketahui adanya suatu masalah dalam perpajakan internasional yakni adanya double taxing. Selanjutnya pada umumnya terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah tersebut. 

Yang pertama Unilateral, dimana negara yang bersangkutan memasukkan dalam perundang-undangan pajaknya tentang ketentuan untuk menghindari pajak berganda, ada dua metode dalam penghindara pajak berganda secara unilateral seperti : Exemption method, metode ini pada dasarnya adalah membebaskan setiap pajak penghasilan yang diperoleh di luar negeri atau dengan kata lain bahwa setiap transaksi luar negeri tidak dikenakan pajak di negara domisili. Ada dua cara dalam metode ini pertama pembebasan penuh, berupa penghindaran pengenaan pajak berganda dengan cara mengabaikan penghasilan berasal dari duar negeri, kedua pembebasan dengan progresif, dimana berbeda dengan pembebasan penuh, dalam pembebasan progresif penghasilan dari luar negeri dipakai untuk kepentingan perhitungan progresif tarif. Dari dua cara tersebut pengaruhnya akan terasa terhadap berapa besar beban pajak yang menjadi kewajiban, karena dasar mengenaan pajak menjadi berbeda. Metode ini merupakan pengakuan atas pembayaran pajak terutang di luar negeri dengan pengecualian yang diberlakukan untuk melindungi kepentingan dalam negerinya, seperti dalam hal penerimaan pajak dan perlindungan produksi dalam negeri; Tax credit (kredit pajak), metode ini negara domisili memperkenankan pajak yang dibayar di negara sumber untuk dikreditkan, ada dua jenis perlakuan dalam metode ini, pertama, full credit, yaitu dari seluruh beban pajak yang dibayar di negara sumber dapat dikurangkan sebagai kredit pajak di negara domisili, kedua ordinary credit yaitu hampir sama dengan metode kredit pajak penuh namun pajak yang dibayar di negara sumber di batasi dalam mengkreditkannya di negara domisili. Metode penghindaran pajak berganda secara unilateral yang dipakai oleh Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia menggunakan metode pengkreditan secara terbatas atau ordinary credit. Artinya besarnya kredit pajak yang dibayar di luar negeri tidak boleh melebihi perhitungan pajak yang terutang di dalam negeri. Pasal 24 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 1983, sesuai dengan perubahan terakhir dengan Undang-undang Nomor17 tahun 2000, tentang Pajak penghasilan, menegaskan bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang dalam tahun pajak yang sama, namun besarnya kredit pajak tersebut tidak boleh melebihi perhitungan pajak yang terutang dalam negeri. 

Yang kedua adalah melalui Bilateral, dilakukan dengan melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal dengan istilah tax treaty atau Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau lengkapnya adalah "Agrement for avoidance of double taxation and prevention of tax evasion". Masalah pengenaan pajak berganda yang tidak dapat dipecahkan secara unilateral, maka diperlukan adanya upaya penghindaran pajak berganda dengan membuat perjanjian antara dua negara yang berkepentingan.Keuntungan penghindaran pajak berganda melalui mekanisme perjanjian perpajakan adalah dapatnya seluruh aspek subjek dan objek pajak dapat dijabarkan secara detail. Sementara kerugiannya adalah ketidakmudahnya untuk mencapai suatu mufakat dalam membuat perjanjian tersebut karena masing masing negara merasa ada yang diuntungkan dan dirugikan. Untuk memudahkan dalam menyelesaikan perjanjian perpajakan bilateral terdapat beberapa metode rancangan perjanjian penghindaran pajak berganda seperi OECD model yang biasa dipakai oleh negara-negara Eropa dan UN model yang biasa dipakai oleh negara berkembang. Hingga saat ini Indonesia telah memiliki perjanjian perpajakan (tax treaty) secara bilateral dengan 56 (lima puluh enam) negara.

Yang ketiga adalah melalui Perjanjian Multilateral, perjanjian yang disepakati oleh beberapa negara misalnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang mengatur tarif kepabeanan secara multilateral. Biasanya perjanjian perpajakan dengan multilateral tidak semata-mata untuk menghindarai terjadinya pajak berganda, akan tetapi mempunyai tujuan lain seperti mendorong perdagangan; mendorong investasi; dan mencegah penggelapan pajak. 

Image made by Andrio N Tambun
Image made by Andrio N Tambun

Tentu sekalipun terdapat tiga cara untuk mencegah adanya pengenaan pajak berganda berdasarkan penelitian yang dilakukan Ning Rahayu di tahun 2010, masih terdapat adanya tax evasion. Tax evasion sendiri merupakan suatu pelanggaran dalam perpajakan dalam melakukan skema penggelapan pajak yang dilakukan oleh wajib pajak untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan, bahkan beberapa wajib pajak sama sekali tidak membayar pajak terutang yang harus dibayarkan melalui cara-cara yang ilegal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi Kusuma Wardani (2017) terdapat 6 faktur mengapa terjadi pengelapan pajak. Faktor pertama adalah keadilan pajak. Pentingnya keadilan bagi wajib pajak dalam pengenaan dan pemungutan pajak dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak untuk membayar pajak terutangnya. Jika bagi mereka apa yang telah mereka bayarkan sesuai dengan apa yang mereka dapatkan maka wajib pajak akan patuh dalam membayar pajak terutangnya, dan jika bagi mereka merasa diperlakukan tidak adil seperti pajak yang dikenakan terhadap wajib pajak tidak sesuai dengan penghasilan yang mereka punya maka wajib pajak akan cenderung melakukan kecurangan seperti penggelapan pajak. Faktor kedua yang mempengaruhi yaitu sistem perpajakan. Apabila sistem yang ada dirasa sudah cukup baik dan sesuai dalam penerapannya, maka wajib pajak akan memberikan respon yang baik dan taat pada sistem yang ada dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan jika wajib pajak merasa bahwa sistem pajak yang ada belum cukup baik mengakomodir segala kepentingannya, maka wajib pajak akan menurunkan tingkat kepatuhan atau menghindar dari kewajiban perpajakannya. Faktor ketiga yang mempengaruhinya yaitu norma subjektif. Sifat manusia yang kadang mudah terpengaruhi oleh orang lain sehingga pendapat orang-orang disekitarnya akan sangat mempengaruhi niat seseorang untuk berperilaku, sehingga dalam perpajakan norma subjektif juga akan mempengaruhi niat individu untuk berperilaku tidak patuh dalam membayar pajak. Jika seseorang memiliki norma subjektif yang baik, maka kecenderungan untuk melakukan penggelapan pajak akan menurun. Faktor keempat yang mempengaruhinya adalah kepatuhan pajak. Kepatuhan wajib pajak yang baik akan dapat dilihat dari keteraturannya untuk menyetorkan pajak, dan jika perilaku seseorang ini tidak baik maka kecenderungan untuk melanggar peraturan pajak akan semakin besar. Faktor kelima yang mempengaruhinya adalah diskriminasi. Diskriminasi ini akan meningkatkan penggelapan pajak yang akan dilakukan oleh wajib pajak, dimana kondisi ini disebabkan oleh pihak DJP sendiri yang tidak mampu berlaku adil. Semakin banyak peraturan perpajakan yang dianggap sebagai bentuk diskriminasi yang merugikan, maka masyarakat akan cenderung untuk tidak patuh terhadap peraturan. Faktor keenam yang mempengaruhinya adalah kualitas pelayanan pajak. Dalam sektor perpajakan dapat diartikan sebagai pelayanan yang diberikan kepada wajib pajak oleh DJP untuk membantu wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga pelayanan yang baik dapat mengatasi tindak kecurangan-kecurangan dalam perpajakan. Semakin bagus kualitas pelayanan maka wajib pajak akan puas sehingga cenderung untuk tidak melakukan penggelapan pajak.

Dalam rangka penghindaran pajak dalam hal aktivitas ilegal lain yang dilakukan sehubungan dengan perpajakan internasional adalah seperti skema transfer pricing, thin capitalization dan juga treaty shopping. Kemudian praktik penghindaran pajak tersebut dilakukan dengan memanfaatkan peluang yang terdapat dalam ketentuan perpajakan yang berlaku atau melakukan pengelakan pembayaran atas kewajiban pajak yang berasal dari negara sumber penghasilan atau lebih dikenal negara domisili. Berdasarkan kasus transfer pricing terdapat beberapa kasus transfer pricing yang terkenal yakni kasus yang menimpa Google di Inggris, Starbucks Inggris, Amazon Inggris, dan lain-lain.2 Starbucks Inggris misalnya, pada tahun 2011 sama sekali tidak membayar pajak korporasi padahal berhasil mencetak penjualan sebesar 398 juta.3 Selain itu mereka juga mengaku rugi sejak tahun 2008, dengan jumlah kerugiannya mencapai 112 juta atau sekitar Rp1,7 triliun. Padahal dalam laporan kepada investornya di Amerika Serikat, Starbucks mengatakan bahwa mereka memperoleh keuntungan yang besar di Inggris, bahkan penjualannya selama 3 tahun (2008-2010) mencapai 1,2 miliar atau sekitar Rp18 triliun. Dengan kerugian ini, Starbucks Inggris tidak pernah membayar pajak korporasi. Bahkan selama 14 tahun beroperasi di Inggris, Starbucks hanya membayar pajak sebesar 8,6 juta. Kemudian Google Inggris pada tahun 2011 juga berhasil mencatat pendapatan sebesar 398 juta tetapi hanya membayar pajak sebesar 6 juta. Hal yang sama terjadi di Amazon Inggris, di mana mereka berhasil melakukan penjualan di Inggris sebesar 3,35 miliar selama tahun 2011 tetapi hanya membayar pajak sebesar 1,5 juta. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Perusahaan-perusahan multinasional tersebut menggunakan praktik transfer pricing untuk meminimalkan pembayaran pajak mereka. Caranya tidak gampang. Akan tetapi, dengan memanfaatkan celah-celah peraturan yang ada, mereka dapat memindahkan keuntungan di Inggris ke luar negeri dengan tarif pajak yang jauh lebih rendah. Walaupun terlihat legal tetapi cara-cara seperti ini dianggap sebagai cara yang amoral. Sebagaimana dikatakan oleh Margaret Hodge (anggota parlemen Inggris) ketika memanggil ketiga petinggi perusahaan tersebut, "Kami tidak menuduh Anda melanggar hukum, tapi kami menuduh Anda telah berbuat amoral,".4 Hal yang sama juga terjadi di negara-negara lain termasuk di Amerika Serikat. Saat ini Amazon sedang berhadapan dengan pihak otoritas pajak Amerika Serikat (IRS) juga untuk kasus transfer pricing dengan nilai $234 juta. Berdasarkan berita dari ekonomi.bisnis.com pada tanggal 18 September 2019. Kasus transfer pricing atau harga transfer pada tahun 2018 meningkat cukup signifikan dibanding tahun 2017. Dalam laporan yang mencakup 89 yuridiksi, 2018 mutual Agreement Procedure (MAP) Statistics, OECD mencatat jumlah sengketa transfer pricing baru naik 20%. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sengketa lainnya yang hanya kisaran sebesar 10%. OECD juga menjelaskan mayoritas otoritas pajak menutup lebih banyak kasus dibandingkan dengan sebelumnya. Di satu sisi data-data negara dari negara menunjukkan penurunan investaris di sekitar setengah dari yuridiksi pelaporan dan peningkatan di setengah lainnya.

            Selanjutnya atas banyak kasus diatas menjadi berkembanglah pertanyaan apakah langkah-langkah untuk penghindaran pajak berganda benar-benar efektif dalam rangka peningkatan pendapatan negara? Yang mana berdasarkan nasional.kontan.co.id Pengamat Pajak Danny Darusalam Tax Center (DDTC) menyebutkan P3B atau tax treaty dapat meningkatkan aktivitas ekonomi Indonesia dengan negara terkait kerja sama perpajakan Internasional. Menurut darusallam manfaat utama dari P3B ialah memberikan sinyal kepada investor dari negara mitra maupun dalam negeri bahwa segala aktivitas ekonomi lintas yuridiksi yang dilakukan dengan negara mitra akan tunduk terhadap suatu kesepakatan untuk mencegah pajak berganda. Di dalam dunia investasi dikenal dengan istilah FDI (Foregin Direct Invesment). FDI Menurut Ambarsari dan Purnomo (2005), merupakan penanaman modal asing di Indonesia dibagi menjadi tiga macam, yaitu portofolio, penanaman modal asing langsung (FDI) dan kredit ekspor. FDI melibatkan investor untuk menjalankan operasional bisnis secara langsung sehingga dinamika bisnis yang menyangkut tujuan perusahaan tidak lepas dari pihak yang berkepentingan atau investor asing. FDI dapat diartikan sebagai sejumlah investasi yang ditempatkan dalam jangka panjang kepada suatu perusahaan di negara lain. FDI merupakan salah satu ciri dari sistem ekonomi global. FDI dianggap lebih bermanfaat bagi negara daripada investasi portofolio pada ekuitas perusahaan karena investasi portofolio bersifat jangka pendek dan dapat ditarik kapan saja secara tiba-tiba yang menyebabkan kerentanan ekonomi. Di dalam hubungan Antara  Tax Treaty  dengan Foreign Direct Investment (FDI). Tujuan utama dari perjanjian pajak adalah untuk menghilangkan hambatan yang muncul dari pajak berganda (OECD, 1997). tax treaty bertujuan untuk mengurangi transfer pricing dan berbagai bentuk penghindaran pajak. Perjanjian pajak juga mempromosikan pertukaran informasi pajak  antara mitra perjanjian. Konsep dasar keberadaan tax treaty dalam konteks FDI adalah untuk menciptakan kepastian dan komitmen mengenai perlakuan pajak kepada investor. Berkaitan dengan pengesahan perjanjian tersebut, diharapkan dapat menjamin investor untuk memperoleh perlakuan penyelesaian yang standar ketika terjadi dinamika terkait masalah perpajakan di suatu negara. Selain itu, kesepakatan juga merupakan sarana untuk memastikan bahwa perlakuan yang diberikan kepada investor akan adil dan cenderung lebih mudah atau menguntungkan mereka (Braun & Zagler, 2014). OECD (2008) menyebutkan bahwa prosedur kesepakatan bersama diidentifikasi sebagai kunci kepastian dan stabilitas dalam perlakuan investasi lintas batas. Menurut Tambunan (2016), perjanjian pajak dipandang menguntungkan investor karena adanya ketentuan seperti: non-diskriminasi, prosedur kesepakatan bersama untuk meminimalkan sengketa pajak. Selain itu, menurut Barthel et Al. (2010), prosedur kesepakatan bersama adalah salah satu ukuran dalam perjanjian pajak yang menarik bagi banyak investor asing langsung, yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk mencapai "perjanjian penetapan harga di muka" di mana otoritas pendapatan di negara tempat tinggal dan negara sumber menyetujui harga transfer umum untuk transaksi antara bagian-bagian dari perusahaan di tempat tinggal dan yurisdiksi sumber. Selain itu, perjanjian pajak biasanya mengurangi pemotongan pajak maksimum yang diperbolehkan atas tiga jenis pendapatan yang disetorkan: pembayaran dividen, pembayaran bunga, dan pembayaran royalti. Beberapa perjanjian menurunkan tingkat pemotongan ini hingga serendah nol (Blonigen & Davies, 2000). Blonigen & Davies (2004) juga menyebutkan bahwa lebih banyak pendapatan luar negeri yang dipulangkan ke negara asal, karena perjanjian pajak dapat mengurangi pajak luar negeri. Pajak luar negeri yang lebih rendah kemudian dapat mendorong alokasi investasi global yang lebih efisien. Menggabungkan argumen tersebut, mudah untuk memahami harapan umum bahwa perjanjian pajak berfungsi untuk meningkatkan jumlah aktivitas FDI antara mitra perjanjian.

 

Berdasarkan jurnal yang dikeluarkan oleh The Journal From The Impact Of  Tax Treaties On Foreign Direct Investment: The  Evidence Reconsidered By Siwook Lee & Daeyong Kim menghasilkan kesimpulan bahwa tax treaty tidak menunjukan dampak positif dari perjanjian pajak diantara negara-negara maju tetapi tidak juga terdapat dampak yang singnifikan dari perjanjian pajak di negara berkembang. Kesimpulan yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan di Indonesia yakni Hutauruk, Rufinus Hotmaulana (2017), R. Nurhidayat (2012), dan Chandrasari, Pungky Yunita (2021). 

Selanjutnya kita akan melihat pandangan yang di kemukakan oleh Immanuel Kant. Immanuel Kant lahir pada 22 April 1724 di Knigsberg, Prusia (sekarang Kaliningrad, Rusia) . Dia wafat pada 12 Februari 1804 di Knigsberg (Kaliningrad). Dia merupakan filsuf Jerman yang bekerja secara komprehensif dan sistematis dalam epistemologi (teori pengetahuan), etika, dan estetika. Immanuel Kant menganggap bahwa "kesalahan terbesar dari filsafat empirisme dan rasionalisme adalah tidak menyelidiki terlebih dahulu sejauh mana kekuatan sekaligus batasan kemampuan akal manusia dalam memperoleh pengetahuan, yang selanjutnya begitu saja dijadikan sebagai konsep ilmu yang diyakini kebenarannya". Dimana awal lahirnya P3B bermula sebelum terjadinya perang dunia I. Pada saat itu, Jerman merupakan negara pertama yang mengadakan P3B, yaitu dengan dihasilkannya P3B Saxony dan Prusia di tahun 1869/1870 yang merupakan P3B (domestik) pertama antara negara-negara bagian di Jerman. P3B tersebut kemudian disusul dengan munculnya P3B dalam konteks internasional dipertengahan abad ke-19, yaitu P3B Austria/Hungaria dan Prussia pada tahun 1899. P3B ini dikenal sebagai P3B internasional pertama. Perkembangan P3B terus berlanjut. Pada bulan Oktober 1928, League of Nation atau Liga Bangsa-Bangsa (LBB), yang saat ini dikenal dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United of Nation (UN), menciptakan 1928 Model Conventions (model P3B 1928) yang dianggap sebagai model P3B pertama di dunia. Hingga pada tahun 1992, dengan memperhatikan berbagai usulan, dipublikasikan dengan judul OECD Model Tax Convention on Income and an Capital. OECD Model 1992 ini telah dilakukan pembaruan sebanyak tiga kali, yaitu 1994, 1995, dan 1997 hingga sampai model yang terahkir OECD Model 2010. Selain OECD, UN juga ikut mengembangkan suatu model P3B pada tahun 1980 yang dikenal dengan nama United National Model Double Taxation Convention between Developed and Developing Countries (UN Model). Isi dari UN Model ini banyak mengadopsi ketentuan dalam OECD Model. Bedanya, model P3B yang dirancang oleh UN lebih banyak memberikan hak pemajakan kepada negara berkembang. Sampai saat ini, UN Model baru dua kali melakukan perubahan, yaitu pada tahun 2001 dan 2011.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun