Menjelang Imlek, kampung Pecinan di Solo, yang terletak di belakang kawasan Pasar Gede, semarak dengan berbagai hiasan khas. Jalan-jalan dipenuhi lampion merah, dan aroma masakan khas keluar dari rumah-rumah warga keturunan Tionghoa. Di tengah keramaian itu, Arya, seorang siswa SMA kelas 11, berjalan menuju toko milik keluarga Ing, teman sekelasnya yang cantik dan cerdas.
Arya telah lama menyimpan perasaan pada Ing, tetapi ia selalu ragu untuk mengungkapkannya. Ing adalah ketua kelas yang dikenal tegas, sementara Arya hanya siswa biasa dengan bakat teater karena ayahnya seorang pemain wayang orang di Gedung Sriwedari. Namun, keduanya memiliki satu kesamaan: mereka sama-sama menyukai melukis.
Suatu hari, saat jam pelajaran seni, Arya memberanikan diri mendekati Ing.
"Gambar yang indah," katanya canggung.
Ing tersenyum tipis. "Terima kasih, Arya. Kamu juga suka melukis, kan?"
Percakapan itu menjadi awal dari persahabatan mereka. Arya sering membantu Ing menyiapkan dekorasi Imlek di toko keluarganya, menggantung lampion dan mengecat poster ucapan selamat Imlek.
Namun, di balik semua itu, Arya menyimpan rasa khawatir.
"Tak mungkin aku punya hubungan khusus dengan Ing. Kami beda budaya dan status ekonomi," batinnya.
Malam Imlek tiba, kampung pecinan itu dipenuhi warna merah dan emas, dengan suara petasan menggema. Arya diundang ke rumah Ing dan membawa lukisan lampion merah yang ia buat sendiri.
Di taman kecil di belakang rumah, mereka duduk di bawah cahaya lampion. Arya akhirnya mengungkapkan perasaannya.
Ing terdiam sejenak, lalu berkata, "Arya, aku juga suka kamu. Tapi aku takut perbedaan budaya jadi masalah."
Arya menggenggam tangan Ing. "Aku percaya kita bisa mengatasinya, asal saling mendukung."
Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Setelah tamu tamu itu pulang, ayah Ing memanggil mereka.
"Ing, Ayah mendengar pembicaraan kalian tadi di taman. Hubungan ini tidak bisa berlanjut," katanya tegas.
"Tapi tapi bukankah leluhur kita ada yang menikah juga dengan orang Jawa ? Ing tahu itu !" bantah Ing.
"Pokoknya tidak tidak dan tidak !" bentak ayah Ing.
"Sudahlah toh mereka masih juga remaja belum teruji oleh waktu ," ibunya Ing ikut menengahi.
"Ini tak bisa dibiarkan berlarut larut, ingat bangkrutnya beberapa toko keluarga besar kita ? Itu karena menantu mereka tak ada darah Tionghoa, darah bisnis yang sejak kecil sudah ditanamkan!" katanya tambah marah.
Bagaikan suara petir menyambar di telinga Arya, ia tertunduk. Ing menangis. Sejak itu, Arya tak berani lagi ke rumah Ing. Mereka tetap menumbuhkan benih cinta itu secara sembunyi sembunyi.Dan berharap suatu ketika ayah Ing berubah pikiran untuk merestui hubungan mereka.
Beberapa hari Arya dan Ing tak bertegur sapa di kelas, tak lagi pulang bersama. Masih larut dalam kesedihan masing masing. Lukisan mereka menjadi bernuansa muram semua, seperti suasana hati mereka.
"Arya sebetulnya ibu juga tak setuju kamu dekat dengan Ing, " kata ibunya saat Arya termenung di teras.
"Kamu tahu bagaimana keluarga mereka dan bagaimanan keluarga kita."
"Jika kakekmu masih ada pasti beliau juga tak setuju!"
"Kenapa semua tak setuju bu? Perbedaaan budaya dan suku hanya toh bisa dipersatukan?"
"Apakah Arya salah bu mencintai gadis Tionghoa ?" lanjut Arya
Ibunya tak menjawab dan hanya meneteskan air mata, seakan ada rahasia besar yang tak bisa dikatakan.
Suatu hari, Arya menemukan surat tua di antara buku-buku di rumah kakeknya. Surat itu mengungkap bahwa kakeknya pernah memiliki hubungan rahasia dengan seorang wanita Tionghoa, dan dari hubungan itu lahir seorang anak yang ternyata adalah ibunya Ing.
Dengan gemetar, Arya menunjukkan surat itu kepada Ing.
Mata Ing membelalak. "Arya, jika ini benar, berarti kita..."
"Kita masih memiliki hubungan darah," potong Arya dengan suara parau.
Mereka terdiam. Hubungan yang baru saja dimulai hancur seketika. Di bawah sinar lampion yang kini terasa redup, mereka menyadari cinta itu tak mungkin diteruskan.
Beberapa tahun berlalu. Arya menjadi seniman terkenal, selalu menyertakan lukisan lampion merah dalam setiap pamerannya sebagai simbol kenangan indah bersama Ing. Sementara itu, Ing melanjutkan hidupnya dengan bekerja di toko keluarga. Meski menjalani jalan hidup berbeda, cinta pertama mereka tetap menjadi inspirasi.
Pada suatu pameran di Solo, Arya dan Ing bertemu kembali. Pandangan mereka bertemu di antara keramaian. Tak ada kata-kata, hanya senyum yang mengungkapkan segalanya. Mereka berdua hanyut dalam pikiran masing masing mengingat hubungan selama ini.
Tiba-tiba, seorang wanita tua mendekati Arya, memperkenalkan diri sebagai nenek Ing.
"Arya, surat itu tidak sepenuhnya benar. Anak dari hubungan rahasia itu bukan ibunya Ing."
Arya merasa beban besar terangkat. Ia segera mencari Ing dan tak menemukannya. Namun, beberapa hari kemudian, kabar buruk datang. Dalam perjalanan pulang dari galeri, mobil yang ditumpangi Ing tergelincir akibat hujan deras dan menabrak pohon. Ing tak selamat.
Berita itu menghancurkan Arya. Segala kebahagiaan yang baru saja diraih hancur dalam sekejap. Namun, Arya bertekad melanjutkan hidup dengan mengenang Ing. Ia mendirikan galeri seni bertema cinta lintas budaya sebagai penghormatan kepada cinta yang tak terlupakan itu.
Kini, di bawah sinar lampion merah, karya-karya Arya menjadi simbol abadi cinta mereka yang meski tak sempurna, tetap hidup dalam kenangan.
Beberapa tahun berlalu, galeri itu menjadi tempat yang dikenal luas. Setiap kali Arya mengadakan pameran, ia selalu memajang lukisan lampion merah, simbol cinta yang tak pernah padam. Para pengunjung sering terinspirasi oleh cerita di balik karya tersebut, meski hanya Arya yang tahu betapa dalamnya makna di balik lukisan itu.
Pada suatu pameran besar di Surabaya, Arya bertemu seorang wanita paruh baya yang memperhatikan lukisan lampion merahnya dengan penuh emosi. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai sepupu Ing, dan ia membawa pesan terakhir dari Ing yang disimpan di dalam buku harian.
Buku itu berisi catatan Ing tentang cinta mereka, lengkap dengan sketsa-sketsa lampion dan taman kecil tempat mereka biasa bertemu.
Dalam salah satu halaman, Ing menulis, "Cinta kita akan selalu menjadi cahaya dalam kegelapan, seperti lampion merah di malam Imlek."
Arya terharu membaca pesan itu. Ia memutuskan untuk menerbitkan buku harian Ing sebagai bagian dari pameran seni yang ia adakan. Buku itu menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang, mengajarkan tentang cinta yang tak lekang oleh waktu dan perbedaan budaya.
Pada malam penutupan pameran, Arya berdiri di depan lukisan lampion merah yang pertama ia buat untuk Ing.
Kembali dalam ingatannya saat berjalan sepulang sekolah, berdiskusi masalah lukisan, merayakan Imlek bersama, dan juga kemarahan ayah Ing.
"Ing, meski kita terpisah oleh takdir, cinta kita akan terus bersinar." Sahut Arya dalam hati.
Lampion merah di galeri itu terus bergoyang lembut, seolah mengamini kata-kata Arya.
Merbabu, 14 Jan 2025
Andrieska Hanantapradja
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI