Arya menggenggam tangan Ing. "Aku percaya kita bisa mengatasinya, asal saling mendukung."
Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Setelah tamu tamu itu pulang, ayah Ing memanggil mereka.
"Ing, Ayah mendengar pembicaraan kalian tadi di taman. Hubungan ini tidak bisa berlanjut," katanya tegas.
"Tapi tapi bukankah leluhur kita ada yang menikah juga dengan orang Jawa ? Ing tahu itu !" bantah Ing.
"Pokoknya tidak tidak dan tidak !" bentak ayah Ing.
"Sudahlah toh mereka masih juga remaja belum teruji oleh waktu ," ibunya Ing ikut menengahi.
"Ini tak bisa dibiarkan berlarut larut, ingat bangkrutnya beberapa toko keluarga besar kita ? Itu karena menantu mereka tak ada darah Tionghoa, darah bisnis yang sejak kecil sudah ditanamkan!" katanya tambah marah.
Bagaikan suara petir menyambar di telinga Arya, ia tertunduk. Ing menangis. Sejak itu, Arya tak berani lagi ke rumah Ing. Mereka tetap menumbuhkan benih cinta itu secara sembunyi sembunyi.Dan berharap suatu ketika ayah Ing berubah pikiran untuk merestui hubungan mereka.
Beberapa hari Arya dan Ing tak bertegur sapa di kelas, tak lagi pulang bersama. Masih larut dalam kesedihan masing masing. Lukisan mereka menjadi bernuansa muram semua, seperti suasana hati mereka.
"Arya sebetulnya ibu juga tak setuju kamu dekat dengan Ing, " kata ibunya saat Arya termenung di teras.
"Kamu tahu bagaimana keluarga mereka dan bagaimanan keluarga kita."