Mohon tunggu...
Andri Faisal
Andri Faisal Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Seorang dosen manajemen keuangan dan Statistik. Peminat Sastra dan suka menulis fiksi. Suka Menulis tentang keuangan dan unggas (ayam dan burung) http://uangdoku.blogspot.com http://backyardpen.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] Ismail , "The Forgotten Arab" Bagian Dua

15 April 2017   17:40 Diperbarui: 24 April 2017   15:00 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sampai di Syeikh Ridwan

Hidangan dari Syeikh Ridwan ini lezat sekali karena terbuat dari daging kambing. Hidangannya adalah kari kambing. Rasanya lezat sekali karena kami sudah beberapa hari makan seadanya saja. Aku merasa seperti di rumah sendiri makan di tempat yang luas tersebut. Tuan rumah beserta para pegawainya juga makan di ruangan yang luas.

Syeikh Ridwan adalah langganan kami dan ia selalu membayar kami dengan tepat tanpa ada pengurangan. Ia juga adalah pedagang yang kaya sekali dan  mempunyai tanah yang luas sekali.

Mahmud menyendok nasi kembali.  Ia memang makannya banyak tapi ia sangat rajin berolahraga dan selalu melatih keterampilan bela dirinya. Aku selalu mencoba mengikuti ajarannya untuk bermain silat. Sayang saja aku selalu tidak kuat karena fisikku cepat cape. Mungkin aku kurang berkemauan kerasa sama halnya dengan Mahmud.

Tubuhnya tampak lebih sehat dari kami dengan stamina yang kuat. Aku pernah mendapatkan pelatihan seperti mengangkat air dari mata air sampai tempat berteduh ternak.  Ia menyuruh setidaknya untuk berlatih tujuh kali untuk mengangkat air aku mencoba baru tiga kali saja sudah capek dan aku memakai bantuan kuda untuk meneruskan pekerjaan.

Kuda pilihan 12 Jumadil Tsani

“Tidak Ada Pasukan Berkuda”

Aku sudah tahu bahwa kuda adalah mahluk yang paling bersahabat. Sayang sekali aku jarang menemuinya di Galipoli. Mayoritas pasukan Turki yang terjun adalah pasukan Infantri hanya perwira saja yang menggunakan kuda untuk inspeksi atau pemeriksaan. Padahal saya pernah mengajukan diri sebulan yang lalu sebagai sukarelawan berkuda seperti orang-orang pasukan kavaleri namun setelah medan yang akan ditempati adalah mendatar dan dengan parit tidak memungkinkan pasukan kavaleri di tempat ini. Pasukan kavaleri tidak bisa beroperasi cepat karena banyaknya lubang  serta halangan berupa parit musuh.

Seandainya kudaku yang bernama Ahmar pasti ia bisa kupakai dalam berperang tetapi siapa yang membawa Ahmar ke Galipoli. Pasti ongkosnya mahal. Pemerintah Kolonial Belanda pasti akan melarangnya untuk apa kuda biasa dikirim ke Arabia padahal Arabia memiliki kuda-kuda yang jauh lebih baik dari kuda Inonesia. Terlebih kuda tersebut akan  dijadikan untuk berjihad melawan Inggirs. Mereka atau Belanda takut dengan kebangkitan jihad di negeri Hindia Belanda. Mereka memantau para jemaah haji yang pergi ke Makkah dan mereka akan menjaga agar tidak membawa bibit perlawanan. Sebab ketika sudah berhaji, para pejuang membangkitkan perlawanan untk membebaskan diri dari imprealisme.

Balik lagi ke kuda. Aku memandangi kuda Jenderal Otto Liman von Sanders atau Sanders Pasha. Ia seorang Jenderal Jerman yang diberi tugas sebagai panglima pasukan Turki di Galipolli.  Masya Allah, kudanya yang bongsor sekali berwarna coklat dan dengan surai hitam. Ia gagah dan mengawasi seluruh Angkatan perang Turki yang sedang berjaga dan menghadap ke depan. Beberapa perwira Turki berada di sampingnya untuk menerima arahan dari orang tersebut. Melihat kuda tersebut membuatku  teringat dengan kudaku. Aku selalu merindukannya dan kapan lagi aku akan kembali untuk menunggangi tunggangan yang gagah tersebut.

Ia selalu menemaniku dalam perjalanan menuju tempat saya untuk mengantarkan hewan ternak seperti Kambing, domba, sapi dan kerbau ke Minangkabau, Mandailing hingga Medan. Ia bisa berlari cepat. Aku selalu menang mengalahkan kuda saudaraku sendiri Ibrahim karena kudanya lebih lambat meski dari turunan yang sama. Bapak dan ibunya sama hanya saja kudaku lebih muda daripada Kuda Ibrahim. Kudaku  berwarna putih dengan campuran warna coklat merah yang berasal dari ibunya.

Aku sempat berdebat dengan orang pendaftaran yang tetap ngotot untuk memasukkanku ke dalam pasukan infantri padahal aku ingin pasukan berkuda untung saja temanku yang bernama Ali menengahiku dan ia bilang kita akan mendapatkan kuda tersebut jika perang di sini cepat selesai.

Si petugas tampak marah. Ia kurang memahami bahasa Arab meski  bahasa Arab dan Turki tidak jauh berbeda hampir sama. Pada waktu itu 80% kosakata Arab hampir sama dengan bahasa Turki. Aku tahu tidak perlu memaksakan diri pada orang lain. Ia marah dalam bahasa yang aku kurang mengerti mungkin itu bukan bahasa Turki. Ia mungkin orang Circassia atau suku sejenisnya di dekat Laut Hitam. Mereka membantu Utsmaniyyah dalam perang ini. 

Kini aku duduk menghadap serangan musuh yang juga tidak bisa menggunakan kuda mereka. Mereka juga berada di depan dengan senapan .

Pelabuhan Jeddah14 Jumadil Tsani

Kapal besar tersebut berbunyi untuk menandakan kapal tersebut telah merapat. Aku dan Ibrahim melihat pemandangan pelabuhan yang luas tersebut dengan kapal-kapal yang merapat serta kapal yang hendak bertolak dari tempat tersebut.

Ibrahim menyuruhku untuk segera mengumpulkan barang-barang. Aku langsung bersyukur sudah sampai ke tanah suci. Ini suatu cita-cita saya untuk ke sini melaksanakan rukun Islam sudah terbayar sudah meski masih mengadakan perjalanan ke Mekkah Al Mukaromah namun tanah Arab yang gersang sudah serasa terbawa ke Mekkah. Ka’bah seolah sudah di depan mata.

Kami berkumpul dengan jama’ah haji dari wilayah Hindia Belanda lainnya. Aku mengenal dari beberapa suku Jawa, Batak, Bugis, Minangkabau, Ambon,  dan Aceh. Kami sempat berbicara di kapal yang membawa kami selama sebulan tersebut.  

Di saat ini aku memenuhi janjiku pada diriku. Masih terngiang bahwa aku juga janji pada ayahku untuk menikah. Ibrahim akan mencoba untuk melamar anaknya Paman Luthfi yang ada di Jeddah. Ia nantinya akan menikahinya setelah si gadis dan orang tuanya menyetujui.

Kami hari itu juga ke Paman Luthfi. Ia mempunyai kemiripan sedikit dengan Ibu kami karena ia masih sepupu ibu kami. Kemudian Paman menunjukkan anaknya yang masih muda dan berhijab dan kami bicara sebentar saja. Rupanya Ibrahim tertarik dengan anaknya paman Luthfi yang bernawa Zawiyyah tersebut.

Ibrahim berbicara dengan Paman Luthfi mengenai lamaran tersebut. Paman Luthfi sempat kaget juga dengan keberanian dari keponakannya tersebut meski ia senang. Ia akan memberikan jawabannya dalam waktu seminggu. Ibrahim juga meyakinkan untuk tidak terlalu terburu-buru sebab ia juga harus melaksanakan ibadah haji terlebih dahulu.

 

Banyak Etnis15 Jumadil Tsani

Kami mengira bahwa kami hanya akan bertemu dengan orang Arab dan orang Turki. Sebagai kontingen dari Hijaz kami dikumpulkan dalam satu kompi yang terdiri dari orang Hijaz. Mau orang itu asli Arab, separuh Arab, atau bukan Arab kalau mereka mendaftar dari Hijaz maka digolongkan dalam Hijaz.

Kali itu lah aku melihat postur orang Turki yang badannya lebih besar dari orang Arab, Ternyata mereka Orang Circassia yang mendiami Laut Hitam atau di sekitar wilayah Rusia. Mereka berkulit putih. Ada orang Bosnia yang mempunyai mata biru dan serumpun dengan Orang Makedonia.

Ternyata di kontingenku juga tidak hanya  orang Arab. Ada juga orang India yang turut dalam perang ini. Mereka setelah pulang haji menetapkan hati untuk berjihad dengan saudara mereka di Turki untuk mencegah invasi pasukan asing ke wilayahnya.

Aku berkenalan dengannya. Ia adalah sosok yang ceria. Ia selalu berguyon dalam bahasa Arab. Jangan kau kira ia cuma bisa berbahasa India saja  buktinya percakapan kami dalam  bahasa arab lancar walau masih menggunakan logat Asia Selatan. Aku membagi cerita dengannya terutama mengenai lembu. Tentu saja lembu di Inda lebih baik daripada yang ada di desaku atau kampungku. Lembu-lembu kami cenderung dari satu turunan yang ukurannya lebih kecil dari Lembu di Yaman maupun lembu yang ada di India.

Ia menceritakan mempunyai lembu jantan yang nakal sekali yang berwarna putih dengan semburat corak coklat di pungungnya. Seringkali lembu ini tidak mau dipanggil sehingga terkadang ia memberikan hukuman untuk lembu tersebut. Setelah memukulnya tentu saja ia merasa menyesal karena telah menyakiti lembu tersebut namun setelah beberapa hari ia kemudian menjadi jengkel dengan kelakuan lembu tersebut yang sering mangkir.

Kandang lembu tersebut merepotkan dirinya karena hampir saja merusak tanaman tetangga. Tetangga yang tidak mempunyai lembu merasa keberatan dengan hal itu kadang mereka juga marah. Lembu tersebut merusak tanaman yang ada. Kalau sudah merusak maka  mereka harus mengganti harga tanaman tersebut dan akhirnya mereka harus membayar kerusakan tersebut

Aku menanyakan mengapa mereka hendak ikut dalam perang ini. Mereka menjawab bahwa mereka ingin menjadi perjuangan melawan pasukan musuh. Ia sudah lama mengalami penindasan Inggris yang menjajah daerah kelahirannya. Mereka tidak boleh sekolah dan mereka juga harus  memenuhi keinginan prajurit Inggris. Mereka hidup sejahtera kecukupan sementara penduduk India bejuang mati-matian untuk memenuhi sekedar kebutuhan hidup saja.

Pernikahan Ibrahim-Zawiyah 10 Syawal 1332 H

Hari itu adalah hari kebahagiaan bagi saudara saya Ibrahim yang melaksanan pernikahan dengan anaknya paman Luthfi yang bernama Zawiyyah.

Paman Luthfi nampaknya senang dengan ini. Ada suara dari rebana menyanyikan nasyid yang menunjukkan kesukacitaan mereka. Kami masih bersaudara semua dan tinggal di Jeddah. Bahkan saudara dari Damaskus hadir dalam walimah tersebut.

Saya patut acungi jempol mereka yang ikut juga ke Jeddah mengingat jalur kereta sangat rawan dan pemberontakan terhadap Turki. Banyak Bangsawan Arab yang sudah dipanas-panasi oleh agen-agen Perancis dan Inggris.

Aku mendengar dari Paman Hakija. Ia duduk di sebuah tenda dan menanyakan kabar ayahku Abdurrahman. Aku menjawabnya bahwa mereka baik-baik saja.

"Bagaimana dengan kabar ayahmu?"

"Alhamdulillah, ayah dan ibu saya dalam keadaan baik-baik. Bagaimana kabar di Syria?"

"Kabar di Syria tidak baik karena sudah terjadi pemberontakan yang diusung oleh Pemberontak Arab. Aku kira kekuasaan Utsmaniyah akan berakhir tidak lama lagi setelah lebih dari tiga abad mereka ada di sana"

"Paman berfihak pada siapa?"

Paman mendelik tanda mempertanyakan kesetiaaannya pada khalifah.

"Aku tidak akan berubah demi recehan yang sedikit bahkan aku turut mendaftar sebagai sukarela"

"Apakah Utsmaniyyah sudah mengumpulkan banyak tentara?"

"Mereka sudah mulai mengkonsentrasikan pasukan di  Istanbul  untuk menghadapi invasi pasukan Inggris dan Perancis. Paman akan memperkuat Istanbul jika mereka mengizinkan. "

"Bukankah mereka menyukai orang Arab karena mereka senang mendapatkan penjagaan dari orang Arab "

"Sejak adanya sentimen anti Arab mereka menjadi membenci orang macam kita. "

"Aku tidak melihat itu sebagai kebencian kolektif karena mereka juga membutuhkan kita. Aku malah lebih yakin mereka akan memerlukan pasukan Arab di Galipoli"

Paman menjadi mengangguk-anguk mendengarkan hal itu. Ia mengalihkan dan menunjukan saudara saya Ibrahim yang duduk di pelaminan seorang diri .

"Apakah kau tidak menyusul abangmu?"

Aku malu mendengar hal itu tetapi memang sudah menjadi kuat kaki kalau kami sudah selesai berhaji maka kami akan menikah. Hanya saja saya sedang galau.

"Aku sudah memikirkan untuk bertemu dengan Paman Mukhtar. Kata Paman Luthfi wajahnya memang mirip ibuku. Tetapi Paman Mukhtar ada di Istanbul. Aku harus ke Istanbul terlebih dahulu untuk menemui Paman Mukhtar"

"Kau ini. Tidak mungkin Mukhtar akan menikahkan putrinya selagi perang. Ia seorang sersan pelatih yang perlu untuk berada di sana "

"Aku kira persoalan pernikahan tidak sulit. Kalau mau, pastilah Paman Mukhtar menikahkan kami."

"Aku tahu. Kalau aku adalah orang tuanya pasti aku akan menikahkan kalian. Hanya saja aku tidak mempunyai anak perempuan. Tetapi aku janji akan menyatakannya pada Paman Mukhtar mengenai hal itu"

Tentu saja aku sangat berterima kasih atas kesediaannya membantuku.

Aku berfikir kenapa aku juga tidak ke Istanbul

 Sementara paman Hakija, melihat pertunjukan nyanyian nasyid yang menggambarkan kebahagiaan antara penduduk.

Senjata Pertama

Sebagai seorang pengembala sapi ini saya belum pernah memegang senapan. Pelatihan singkat ini pasti akan membantu. Aku duduk di kelas di depan ada sebuah benda yang menyerupai bedil dan  ada kotak yang aku kira tempat untuk mengisi peluru.

Si pelatih seorang warga Jerman mempunyai postur tinggi yang bernama  Frederick von Schenderling berpangkat Sersan pelatih. Usianya sudah kepala lima namun ia tampak masih sehat di sampingnya ada Sersan Koprulu Demitras yang menerjemahkan perkataan dari Orang Jerman tersebut ke dalam bahasa Arab.

Ia menunjukkan sebutir peluru yang besarnya seperti kelingking orang dewasa. Ia memasukkan peluru ke dalam magasin satu dari atasan magasin perlahan. Ia mencabut kembali peluru dan dengan gerakan pelan ia memasukkan lagi kemudian ia memasukkan enam peluru dalam magazine tersebut. Kini aku jadi hafal memasukkan peluru ke dalam magazine. Sersan juga mempraktekkan cara mengokang senapan. Caranya tidak sulit. Si Jerman tersebut memperhatikan untuk membidik tempat yang kosong setelah itu mereka semua keluar.

Mereka langsung ke lapangan dan ada bedil yang tergeletak di lapangan. Kami mengambil posisi masing-masing satu senapan ada dua puluh orang yang sudah memegang senapan. Di meja ada enam peluru dan satu magasin. Si Sersan Jerman tersebut kini berteriak memerintahkan memasukkan peluru ke dalam magazin

Secepatnya aku masukkin peluru ke dalam senapan.  Aku memastikan peluru yang aku masukin tepat dan tidak terbalik kalau terbalik maka peluru tidak akan dapat menyalak dan senapan dapat rusak. Ada enam orang yang tidak dapat mengisi peluru ke dalam magasin. Kami yang sudah selesai harus berhenti terlebih dahulu. Sersan von Schinderling  menyuruh kami untuk membantu teman yang tidak bisa mengisi magasin. Aku membantu sebelahku. Ia seorang Arab Syria yang bernama Khalid. Aku pikir tadinya ia adalah seorang Turki karena wajahnya yang putih dengan mata biru. Aku baru sadar bahwa semua orang di sini adalah orang-orang Arab. Dengan tekun aku mengajarkannya hingga ia bisa mengikuti ku dalam mengisi magasin.

 Sersan Otto menyuruh kami untuk cepat-cepat membantu teman kami. Kami berhasil semuanya memasukkan peluru.

 Ia memperingatkan agar memperhatikan jari mereka karena sering sekali jari orang yang terjepit akibat menggunakan senapan ini.

 Para kadet segera memasukkan misagasin dalam senapan dan kemudian mengokangnya. Alhamdulillah, tidak ada yang celaka seluruh pasukan langsung membidik sasaran yang ada di depan sejauh 100 meter. Semuanya diperingati untuk tidak boleh untuk menembak sebelum ia memerintahkan.

 Semuanya menembak dan mereka melihat sasaran. Aku adalah yang paling tepat diantara teman-temanku. Alhamdulillah, aku bisa menembak dalam hatiku. Sersan Otto  tidak membiarkan kami merayakan kemenangan kami dan ia memerintahkan tembakan kedua. Bunyi senjata terkokang terdengar serempak. Aku berhasil menembak hingga tembakan yang keenam.

 Sersan tersebut puas dan ia bilang kami adalah kelompok yang paling kompak karena bisa menyelesaikan sesi latihan ini dengan cepat. Apakah perang ini hanya dilatih dengan enam kali tembakan? Sedangkan berlatih berkuda perlu beberapa kali latihan dan belum tentu berhasil. Ah, aku pikir untuk apa memikirkan lebih baik aku fokus juga dengan perjuangan ini .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun