Masyarakat Indonesia pada galibnya sudah punya modal religiositas serta kadar toleransi yang tinggi. Sebelum itu semua terdistorsi oleh ulah para pencuri suara tuhan.
Sabagai penutup kita perjelas saja, apa atau siapa sih para pencuri suara tuhan itu?
Egoisme dan ambisi politik sempit, orang yang tidak bermoral, yang menghalalkan segala cara, tidak menghormati proses, gemar jalan pintas sambil menginjak-injak hak orang lain.
Mereka yang memainkan poilitik uang dan politik identitas. Ketidak jujuran para politisi dan sikap tidak adil sejak dari pikiran telah mendistorsi banyak kebijakan yang akhirnya malah mencelakakan rakyat. Kemunafikan yang dipertontonkan tanpa tedeng aling-aling.
Mimbar di gereja, masjid dan vihara hanya jadi panggung sandiwara untuk memanipulasi citra diri. Kemunafikan yang dipertontonkan tanpa tedeng aling-aling. Rasa malu sudah masuk keranjang sampah.
Sekali lagi, jadi bagaimana kita mesti bersikap?
Rebut kembali ruang publik (apa pun itu) agar bisa diisi dengan diskursus yang benar, baik, bermanfaat dan indah.
Wacana di ruang publik akan besar pengaruhnya pada pembentukan opini publik, yang pada akhirnya ikut mewarnai penentuan sikap publik.
Didik (kembali) generasi muda kita dengan budi pekerti. Belajar antri (artinya menghargai orang lain, menghormati proses, belajar jadi telaten), belajar kebersihan diri dan kesehatan lingkungan (artinya juga etika menggunakan fasilitas umum sebagai ukuran atau indikator tingkat peradaban suatu bangsa). Sederhana bukan?
Dengan begitu, harapannya demokrasi yang deliberatif (ala Habermas) serta politik yang otentik (ala Arendt) semakin dimungkinkan.
Vox populi vox dei, suara rakyat suara tuhan.