Masalahnya, proses pemilihan perwakilan itu yang kerap terdistorsi. Terdistorsi dengan ketidakjujuran, pembohongan, pembodohan dan manipulasi. Politik uang dan politik identitas senantiasa dipakai untuk berselancar di atas kebodohan dan sikap pragmatis-apatis masyarakat pemilih. Semata-mata demi merebut kursi kekuasaan.
Sehingga pertanyaannya, jika proses pemilihan perwakilan kita itu pada esensinya sudah bengkok prosesnya maka apakah masih ada sisa legitimasi etis (moral) atas eksistensinya?
Di sini ada keterputusan antara yang legal-formal dengan yang etis-moral. Sehingga gugatan tentang suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei) menjadi sah.
Tuduhan adanya pencurian suara tuhan, atau paling tidak manipulasi suara rakyat telah terjadi, dan oleh karenanya suara itu terdegradasi tidak lagi menjadi suara tuhan (suara kebenaran).
Jadi bagaimana?
Yang jelas secara legal-formal kita sudah punya sistem demokrasi, walaupun pelaksanaannya memang masih compang-camping disana-sini.
Politik dalam sistem demokrasi senantiasa mengandalkan ruang publik sebagai wahana dialektika. Locus dimana pertukaran ide dan gagasan dibicarakan secara intens.
Tesis dan antitesis terus menerus bersahut-sahutan dengan harapan besar suatu sintesa yang bisa meleburkan segala argumentasi cerdas ke tingkat yang lebih tinggi, lebih bermutu dan lebih baik bagi publik bisa terjadi.
Vox populi vox dei sebagai slogan demokrasi (demos-kratos, pemerintahan rakyat) mesti terus menerus dirawat dan dijaga kemurniannya. Agar segala distorsi dan proses pembusukan (corruption) bisa dicegah dan dibasmi.
Lingkungan politik praktis memang kerap sangat korosif. Dan karat itu akan terus memakan tubuh demokrasi kalau terjadi pembiaran. Sekecil apa pun karat itu mestinya segera dibersihkan.
Ini suatu metafora yang gampang sekali untuk dicerna.