Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Vox Populi Vox Dei dan Para Pencuri Suara Tuhan

22 November 2020   23:38 Diperbarui: 23 November 2020   00:28 1425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vox Populi Vox Dei dan Para Pencuri Suara Tuhan

Oleh: Andre Vincent Wenas

Pilkada Serentak sebentar lagi, dan Pemilu Serentak tinggal empat tahun lagi.

Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat Suara Tuhan) dianggap sebagai pendasaran dari sistem demokrasi. Demokrasi -- paling tidak sampai saat ini -- masih dianggap sebagai sistem politik terbaik yang bisa ditawarkan. Walau pelaksanaannya sering compang-camping disana-sini.

Kita pun menganut sistem demokrasi, seperti tercermin dalam sila keempat dari Pancasila, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."

Bukan kerakyatan yang dipimpin oleh teokrasi (sesuai aliran agama/kepercayaan tertentu), atau oleh Monarki (dinasti/keluarga tertentu). Walau sub-sistem demokrasi itu, misalnya parpol dan ormas, banyak yang de-facto menganut sistem dinasti (semacam monarki) maupun berlabel teokrasi.

Sistem demokrasi kita seyogianya dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan yang terjadi dalam suatu dialektika (diskusi/wacana publik yang sehat). Juga -- demi efisiensi -- dilakukan lewat perwakilan yang dipilih oleh rakyat melalui sistem yang luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil).

Ini prinsip penting. Luber adalah mekanismenya, dan jurdil adalah landasan moralnya.

Asumsinya, perwakilan yang dipilih lewat mekanisme luber dan di atas landasan moral yang jurdil adalah representasi dari kebenaran. Dan lewat adagium Vox Populi Vox Dei, suara rakyat adalah suara tuhan, segala kebijakan yang mengalir keluar dari trias politika (eksekutif, legislative, yudikatif) adalah yang terbaik bagi publik (bonum commune).

Itu sangat ideal memang, tapi kita pun sadar pula bahwa yang ideal itu tak pernah benar-benar terjadi dalam kenyataan politik praktisnya.

Apakah proses (mekanisme) luber yang seharusnya berjalan di atas landasan moral yang jurdil itu sungguh terjadi? Terus terang, sangatlah diragukan! Kita sama-sama tahu, banyak sekali pencurinya.

Kita mulai saja dari mekanismenya. Mungkin saja memang sudah langsung dan umum, coblos sendiri di bilik suara bagi seluruh rakyat yang punya hak suara. Tapi apakah kondisinya sungguh bebas dan rahasia?

Misalnya saja, apakah para ASN dan keluarganya betul-betul dalam kondisi yang bebas dalam menentukan pilihannya? Apakah betul -- apalagi di daerah -- bahwa ASN dan keluarganya tidak dipantau oleh tentakel penguasa daerah? Sehingga kebebasannya sesungguhnya sudah terpasung, dan kerahasiaannya pun pada esensinya sudah terbongkar.

Mengapa ini bisa terjadi? Yah lantaran dalam kenyataan politik praktis yang dipahami umum sebagai proses perebutan kekuasaan, politik uang dengan segala bentuk manipulasinya masih pekat melumuri dan menodai manajemen atau pengelolaan proses pemilu.

Inilah yang kita sebut sebagai para pencuri suara tuhan yang seyogianya direpresentasikan oleh suara rakyat yang keluar dari hati nurani lewat pertimbangan hikmat dan kebijaksanaan. 

Belum lagi kalau kita menilik aspek jurdilnya. Sikap jujur dan adil, terutama dari sisi para pemilihnya. Apakah para partisipan politik dalam setiap pemilu sudah dengan jujur dan adil dalam menimbang perkara untuk memilih pemimpin yang sungguh baik.

Pertimbangan-pertimbangan yang tidak dilaburi kepentingan egosentris dan kabut pengetahuan akibat apatisme dan sikap masa bodoh.

Apakah kondisi rakyat pemilih sungguh berdasarkan hikmat dan kebijaksanaan (sikap jujur dan adil) dalam menentukan pilihan?

Memang awalnya kekuasaan politik itu diberikan mandatnya oleh rakyat, namun rakyat hanya memiliki kekuasaan itu pada saat pemilu. Pasca pemilu kekuasaan itu telah berpindah ke tangan para  penguasa yang mereka pilih sendiri. Paling tidak untuk lima tahun kedepan.

Tentu kita sebagai rakyat menginginkan negara kita dipimpin oleh suatu administrasi pemerintahan yang penuh dengan hikmat serta kebijaksanaan. Sehingga segala keputusan politik (kebijakan publik)  adalah selalu berprinsip 'bonum publicum'. Semata-mata demi kemaslahatan rakyat banyak.

Keputusan (kebijakan) dalam proses demokrasi pertama-tama selalu difasilitasi melalui suatu musyawarah, diskusi, kondisi dialektis dalam suatu diskursus yang sehat dan cerdas. Artinya wacana bermutu yang terarah semata-mata demi pertimbangan 'bonum-commune' (demi kemaslahatan rakyat).

Demi efisiensi, bahwa pengelolaan urusan publik perlu diputuskan dalam kurun waktu tertentu (tidak bisa berlarut-larut), maka kita mempercayakan proses pengambilan keputusan itu lewat perwakilan kita di pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif).

Masalahnya, proses pemilihan perwakilan itu yang kerap terdistorsi. Terdistorsi dengan ketidakjujuran, pembohongan, pembodohan dan manipulasi. Politik uang dan politik identitas senantiasa dipakai untuk berselancar di atas kebodohan dan sikap pragmatis-apatis masyarakat pemilih. Semata-mata demi merebut kursi kekuasaan.

Sehingga pertanyaannya, jika proses pemilihan perwakilan kita itu pada esensinya sudah bengkok prosesnya maka apakah masih ada sisa legitimasi etis (moral) atas eksistensinya?

Di sini ada keterputusan antara yang legal-formal dengan yang etis-moral. Sehingga gugatan tentang suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi vox dei) menjadi sah.

Tuduhan adanya pencurian suara tuhan, atau paling tidak manipulasi suara rakyat telah terjadi, dan oleh karenanya suara itu terdegradasi tidak lagi menjadi suara tuhan (suara kebenaran).

Jadi bagaimana?

Yang jelas secara legal-formal kita sudah punya sistem demokrasi, walaupun pelaksanaannya memang masih compang-camping disana-sini.

Politik dalam sistem demokrasi senantiasa mengandalkan ruang publik sebagai wahana dialektika. Locus dimana pertukaran ide dan gagasan dibicarakan secara intens.

Tesis dan antitesis terus menerus bersahut-sahutan dengan harapan besar suatu sintesa yang bisa meleburkan segala argumentasi cerdas ke tingkat yang lebih tinggi, lebih bermutu dan lebih baik bagi publik bisa terjadi.

Vox populi vox dei sebagai slogan demokrasi (demos-kratos, pemerintahan rakyat) mesti terus menerus dirawat dan dijaga kemurniannya. Agar segala distorsi dan proses pembusukan (corruption) bisa dicegah dan dibasmi.

Lingkungan politik praktis memang kerap sangat korosif. Dan karat itu akan terus memakan tubuh demokrasi kalau terjadi pembiaran. Sekecil apa pun karat itu mestinya segera dibersihkan.

Ini suatu metafora yang gampang sekali untuk dicerna.

Masyarakat Indonesia pada galibnya sudah punya modal religiositas serta kadar toleransi yang tinggi. Sebelum itu semua terdistorsi oleh ulah para pencuri suara tuhan.

Sabagai penutup kita perjelas saja, apa atau siapa sih para pencuri suara tuhan itu?

Egoisme dan ambisi politik sempit, orang yang tidak bermoral, yang menghalalkan segala cara, tidak menghormati proses, gemar jalan pintas sambil menginjak-injak hak orang lain.

Mereka yang memainkan poilitik uang dan politik identitas. Ketidak jujuran para politisi dan sikap tidak adil sejak dari pikiran telah mendistorsi banyak kebijakan yang akhirnya malah mencelakakan rakyat. Kemunafikan yang dipertontonkan tanpa tedeng aling-aling.

Mimbar di gereja, masjid dan vihara hanya jadi panggung sandiwara untuk memanipulasi citra diri. Kemunafikan yang dipertontonkan tanpa tedeng aling-aling. Rasa malu sudah masuk keranjang sampah.

Sekali lagi, jadi bagaimana kita mesti bersikap?

Rebut kembali ruang publik (apa pun itu) agar bisa diisi dengan diskursus yang benar, baik, bermanfaat dan indah.

Wacana di ruang publik akan besar pengaruhnya pada pembentukan opini publik, yang pada akhirnya ikut mewarnai penentuan sikap publik.

Didik (kembali) generasi muda kita dengan budi pekerti. Belajar antri (artinya menghargai orang lain, menghormati proses, belajar jadi telaten), belajar kebersihan diri dan kesehatan lingkungan (artinya juga etika menggunakan fasilitas umum sebagai ukuran atau indikator tingkat peradaban suatu bangsa). Sederhana bukan?

Dengan begitu, harapannya demokrasi yang deliberatif (ala Habermas) serta politik yang otentik (ala Arendt) semakin dimungkinkan.

Vox populi vox dei, suara rakyat suara tuhan.

Bukankah -- katanya -- manusia itu diciptakan sesuai citra Allah? Seyogianya suaranya pun serupa (atau paling tidak mirip) dengan suara penciptanya.

22/11/2020

*Andre Vincent Wenas*, Direktur Kajian Ekonomi, Kebijakan Publik & SDA Lembaga Kajian Anak Bangsa (LKAB).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun