Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Nikel Punya Kita, Mau Ekspor atau Tidak Ya Suka-suka Kita!

6 Juni 2020   22:56 Diperbarui: 7 Juni 2020   10:36 2986
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Oleh: Andre Vincent Wenas

Dari berbagai kajian, bisa disimpulkan bahwa bakal terjadi defisit pasokan (supply-gap) nikel di tahun 2035 sebesar lebih kurang 1,79 metric ton per tahun. Kondisi ini sangat dikhawatirkan terutama oleh Tesla (produsen mobil listrik) dan produsen lainnya yang terlibat dalam rantai nilai (value-chain) industri mobil listrik. Supply-chain ini ternyata rangkaian korporasi global di AS, Eropa sampai ke Tiongkok juga.

Inti soalnya, kondisi supply-gap ini bakal diperparah saat Indonesia melarang ekspor nikel mentahan di tahun 2022 nanti. Nah lho!

Ini bakal jadi problem buat mereka. Tapi sebaliknya, bakal jadi opportunity (kesempatan besar) buat Indonesia kalau bisa memainkan kartu trufnya. Kepentingan nasional Indonesia harus dikedepankan. Kalau mereka (AS, Eropa, Tiongkok, Jepang, Korea) mau, silahkan investasi di Indonesia. Begitu aja kok repot?

Yang jelas pemerintah Indonesia melaju terus dengan eksekusi rencana besarnya. Bergeming dengan segala ancam-mengancam, sehingga sampai akhirnya investor Tiongkok pun mengalah dan bersedia untuk menanamkan modalnya membangun smelter di Morowali. Bravo!

Kalau sampai Uni Eropa menggugat lewat WTO ya terserah, lawan saja! Kita juga bisa pakai pengacara kelas dunia juga kok. Apa sih masalahnya? Begitu pesan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.

Ini pesan yang keras dari Presiden Joko Widodo. Dan seperti biasa, mafia ekspor (mereka yang doyan ekspor mentahan) yang kemungkinan juga cuma kaki-tangan para pemain besar dunia, mulai coba-coba menghalangi. Menghalangi apa?

Menghalangi pembangunan smelter untuk nikel. Dan apalagi kalau sampai membangun industri hilir yang terintegrasi. Kalau sampai ini terjadi, mana bisa mengekspor bahan mentahan lagi? Arena main gila mereka pun dipangkas habis.

Dampak pelipatgandaan (multiplyer effects) dari program hilirisasi ini  banyak sekali. Mulai dari investasi sampai penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi satelit di daerah sekitar maupun di sekitaran derivatif industri berbasis nikel itu sendiri.

Maka oleh karena itulah pemerintah mendorong (memaksa) lewat regulasi agar ekspor mentahan biji nikel disetop dan smelter harus dibangun. Investor (smelter dan industri hilir) pun diundang supaya rencana ini bisa terealisasi.

Apakah eksekusi rencana itu berjalan mulus? Tidak. Serta merta negara pengimpor nikel dan kompradornya mencak-mencak. Mereka protes dan menggugatnya lewat WTO. Jurus ancam-mengancam pun dikerahkan.

Sampai-sampai CPO (crude palm oil) dari Indonesia pun mau dilarang, padahal CPO adalah salah satu komoditas andalan ekspor, penghasil devisa yang cukup besar buat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun