Apa kata dunia? Ya apa kata dunia soal tambang nikel Indonesia? Ini yang mesti kita pahami dulu. Ada udang di balik batu. Ada bisnis besar kelas dunia di balik tambang nikel.
Coba kita tilik ketiga kondisi berikut.
Kondisi pertama, stok nikel dunia sedang turun dramatis. Kenapa stok bisa turun? Ya lantaran permintaan lebih besar dari pasokan, dan akan demikian terus kecenderungannya. Hmm... ini khan peluang besar buat Indonesia sebagai produsen nikel, ya nggak?
Kondisi kedua, penggunaan nikel selama ini yang terbesar adalah untuk industri besi baja, khususnya pembuatan besi nir-karat (stainless steel). Hampir 70% penggunaan nikel di dunia adalah untuk itu. Dan selama ini Indonesia mengekspor 98% nikelnya ke salah satu produsen stainless steel terbesar dunia: Tiongkok.
Kondisi ketiga, semakin maraknya penggunaan baterai untuk mobil listrik. Pertumbuhan permintaan (demand) di sektor ini luar biasa cepat kenaikannya. Ini bisnis besar di masa depan yang tidak terlalu lama lagi (2035 -- 2050) begitu estimasinya.
Wow... benar-benar ada udang lobster di balik biji nikel. Dan Indonesia -- kalau cerdas -- tentu punya peluang (potensi) besar di tingkat dunia untuk berperan dan ambil posisi yang menguntungkan. Menguntungkan demi kemaslahatan rakyat banyak, bukan demi kemaksiatan mafia-ekonomi dong ya.
Bakal ada defisit pasokan (supply-gap) nikel di pasaran dunia. Artinya secara ekonomis harganya pun akan melambung. Dan kalau saja Indonesia dengan cadangan SDA nikel yang salah satu terbesar di dunia bisa membangun industri turunan (hilirisasi) dan derivatifnya, bukan main luar biasanya!
Ini bukan mimpi di siang bolong, tapi bakal jadi bolong kalau pemerintah (otoritas negara) tidak bertindak tegas terhadap setiap upaya pembocoran. Kita juga harus cekatan dan trengginas dalam merealisasikan industri smelter dan hilirisasi lainnya.
Jangan sampai kalah oleh konspirasi mafia-ekonomi yang dengan kepentingan sempit (egosentris)nya hanya memikirkan perutnya sendiri dengan menghalangi proyek besar hilirisasi, misalnya yang di Morowali dan atau di tempat lainnya.
Seperti sudah kita ketahui juga, para mafia-ekonomi ini akan terus berupaya dengan berbagai cara, mulai dari isu TKA Cina lah, isu Komunisme lah, Aseng lah, utang lah, dan berbagai isu norak lainnya. Semata demi menghalangi proyek hilirisasi yang bisa menciptakan nilai tambah buat bangsa. Berbagai instrumen ormas dan buruh bayaran pun akan dikerahkan untuk mendiskreditkan proyek strategis ini.
Tapi jangan takut. Maju terus, labrak segala premanisme yang selama ini jadi benalu penghisap rejeki rakyat banyak. Distribusi keadilan sosial memang akan senantiasa mendapat perlawanan dari ego murahan para penjahat ekonomi berbaju dinas maupun berjubah ormas. The show must go on, sikat saja!
Selama ini nikel dari Indonesia menjadi pemasok industri baja Tiongkok, untuk dijadikan NPI (nickel pig iron) yang nantinya akan diimpor balik oleh para pemain baja di Indonesia. Dulu di tahun 2014 (sesuai amanat UU Minerba No.4/2009) Indonesia -- dalam jangka 5 tahun setelah UU itu disahkan -- mestinya sudah melarang ekspor nikel mentah. Namun lantaran defisit anggaran dan tidak adanya serapan lokal, maka ekspor mentahan pun 'terpaksa' diijinkan.
Namun rupanya kali ini, administrasi Presiden Joko Widodo dipandang oleh dunia internasional lebih komit soal pelarangan ekspor nikel mentahan demi membangun smelter dan industri hilirnya. Inisiatif inilah yang akhirnya bisa 'memaksa' investasi miliaran dollar dari Tiongkok masuk ke industri baja di Indonesia. Mereka tak punya pilihan lain, change or die, invest in our country atau mati merana tak dapat nikel.
Eksekusi amanat UU Minerba 2009 baru bisa efektif di era pemerintahan Joko Widodo. Era sebelumnya hanya membiarkan amanat UU jadi seonggok regulasi tanpa makna.
Permintaan pasar dunia akan nikel bakal terus meroket. Awalnya (sampai saat ini) permintaan nikel dunia adalah sekitar 2,3 juta metrik ton. Driver (pemicu)-nya masih industri baja. Sekitar 70% digunakan untuk baja nir-karat (stainless steel).
Dan industri stainless-steel ini pun masih bertumbuh sekitar 4-5% pertahun, seiring dengan gerak urbanisasi masyarakat desa ke perkotaan yang membutuhkan stainless-steel dalam pembangunan perkotaan atau huniannya.
Namun perkembangan teknologi ramah lingkungan juga telah mendorong industri otomotif secara massif ke arah produksi mobil listrik. Ini sudah mulai pesat di kawasan Eropa dan AS. Bahkan diprediksi saat menjelang tahun 2050 sudah 80% mobil digerakkan oleh baterai, alias mobil listrik. Artinya 4 dari 5 kendaraan adalah mobil listrik.
Jadi dalam waktu yang tidak terlalu jauh ke depan (sekitar 10 -- 25 tahun) lagi, gerak industri otomotif maupun industri yang butuh baterai akan sangat tergantung pada nikel, artinya juga tergantung Indonesia sang pemilik sumber daya alamnya.
Itu kalau kita cerdas, tegas dan lugas memainkan kartu keunggulan komparatif untuk jadi keunggulan kompetitif. Tidak manja dan tidak terjebak dalam zona kenyamanan jangka pendek. Saat itu nanti diprediksi kebutuhan nikel dunia akan naik 3,5 kalinya dari sekarang (dari 2,3 juta metric ton jadi sekitar 9 -- 10 juta metric ton).
Demi menciptakan nilai tambah dari SDA nikel, Pemerintahan Joko Widodo ingin melakukan usaha hilirisasi dengan rencana besar membangun industri baterai. Penyimpan energi listrik yang bakal banyak kegunaannya. Ini proyek strategis bangsa Indonesia.
Bahkan lewat menteri Luhut Binsar Panjaitan dikatakan bahwa Indonesia menargetkan untuk jadi pengekspor baterai lithium terbesar kedua dunia.
Sekitar 98% hasil tambang biji nikel (nickle-ore) Indonesia selama ini diekspor ke Tiongkok. Maka demi merealisasikan rencana strategis tadi, ekspor biji mentah nikel ini disetop oleh administrasi Joko Widodo. Tapi anehnya mengapa yang protes adalah Eropa? Mereka kabarnya telah mengajukan gugatan ke WTO. Apakah ada semacam konspirasi global lagi?
Dari berbagai kajian, bisa disimpulkan bahwa bakal terjadi defisit pasokan (supply-gap) nikel di tahun 2035 sebesar lebih kurang 1,79 metric ton per tahun. Kondisi ini sangat dikhawatirkan terutama oleh Tesla (produsen mobil listrik) dan produsen lainnya yang terlibat dalam rantai nilai (value-chain) industri mobil listrik. Supply-chain ini ternyata rangkaian korporasi global di AS, Eropa sampai ke Tiongkok juga.
Inti soalnya, kondisi supply-gap ini bakal diperparah saat Indonesia melarang ekspor nikel mentahan di tahun 2022 nanti. Nah lho!
Ini bakal jadi problem buat mereka. Tapi sebaliknya, bakal jadi opportunity (kesempatan besar) buat Indonesia kalau bisa memainkan kartu trufnya. Kepentingan nasional Indonesia harus dikedepankan. Kalau mereka (AS, Eropa, Tiongkok, Jepang, Korea) mau, silahkan investasi di Indonesia. Begitu aja kok repot?
Yang jelas pemerintah Indonesia melaju terus dengan eksekusi rencana besarnya. Bergeming dengan segala ancam-mengancam, sehingga sampai akhirnya investor Tiongkok pun mengalah dan bersedia untuk menanamkan modalnya membangun smelter di Morowali. Bravo!
Kalau sampai Uni Eropa menggugat lewat WTO ya terserah, lawan saja! Kita juga bisa pakai pengacara kelas dunia juga kok. Apa sih masalahnya? Begitu pesan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Ini pesan yang keras dari Presiden Joko Widodo. Dan seperti biasa, mafia ekspor (mereka yang doyan ekspor mentahan) yang kemungkinan juga cuma kaki-tangan para pemain besar dunia, mulai coba-coba menghalangi. Menghalangi apa?
Menghalangi pembangunan smelter untuk nikel. Dan apalagi kalau sampai membangun industri hilir yang terintegrasi. Kalau sampai ini terjadi, mana bisa mengekspor bahan mentahan lagi? Arena main gila mereka pun dipangkas habis.
Dampak pelipatgandaan (multiplyer effects) dari program hilirisasi ini  banyak sekali. Mulai dari investasi sampai penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi satelit di daerah sekitar maupun di sekitaran derivatif industri berbasis nikel itu sendiri.
Maka oleh karena itulah pemerintah mendorong (memaksa) lewat regulasi agar ekspor mentahan biji nikel disetop dan smelter harus dibangun. Investor (smelter dan industri hilir) pun diundang supaya rencana ini bisa terealisasi.
Apakah eksekusi rencana itu berjalan mulus? Tidak. Serta merta negara pengimpor nikel dan kompradornya mencak-mencak. Mereka protes dan menggugatnya lewat WTO. Jurus ancam-mengancam pun dikerahkan.
Sampai-sampai CPO (crude palm oil) dari Indonesia pun mau dilarang, padahal CPO adalah salah satu komoditas andalan ekspor, penghasil devisa yang cukup besar buat Indonesia.
Ancaman yang -- kali ini -- salah alamat, lantaran Presiden Joko Widodo bukan orang yang gampang diancam dengan model seperti itu. Kalau tak mau lagi dengan CPO dari Indonesia, ya sudah kita pakai sendiri. Maka segera dikembangkan Bio-Fuel, dimana CPO diolah jadi bahan campuran bensin/solar. Para pengancam pun kecele lagi.
Akhirnya, mau tidak mau, kalau mereka masih mau eksis dalam bisnis, mereka harus ikut rule-of-the-game yang dicanangkan pemerintah Indonesia.
Dampak lainnya dengan terbangunnya industri hilir nikel tentu saja soal produktivitas nasional yang bernilai tambah tinggi (highly value added products). Juga penghematan cadangan devisa, dan malah menambah devisa lewat ekspor bernilai tinggi. Bahasa teknisnya, ini adalah upaya pemerintah untuk menekan defisit neraca transaksi berjalan (CAD/current account deficit).
Kata Pak Jokowi, "...kita mau tarung, apapun kita hadapi. Kita hentikan ekspor nikel ore keluar, ini sudah digugat sama Uni Eropa, digugat di WTO. Kalau defisit transaksi berjalan sudah beres siapapun yang gugat kita hadapi. Tapi ini juga kita hadapi, ngapain kita takut?"
Begitu tegas Presiden Joko Widodo saat membuka Musrenbangnas (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional) RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2020-2024 di Istana Negara, Jakarta, akhir tahun lalu.
"Barang barang kita, nikel nikel kita, mau ekspor mau enggak suka-suka kita. Ya, enggak?" pungkasnya. Siap Pak, lanjutkan!
Caveat dari Presiden Joko Widodo, "Tapi Bapak/Ibu harus tahu, industri luar Indonesia ada yang jadi mati karena kita stop itu. Ini satu-satu, nikel dulu, nanti bauksit kita stop kalau siap, enggak sekarang. Diatur ritmenya jangan sampai digugat nikel, bauksit, batu bara, semuanya. Satu-satu."
Proyek besar hilirisasi tidak cuma di nikel, dan migas. Tapi bakal ke banyak SDA lainnya. Bahkan produk agro industri macam CPO pun mestinya terus dihilirisasi dengan berbagai derivatif yang bernilai tambah tinggi.
Sudah disebutkan di atas bahwa rencana strategis ini penting sekali untuk mengamankan posisi defisit transaksi berjalan, yaitu segala transaksi yang berasal dari perdagangan barang dan jasa serta pendapatan yang berasal dari investasi asing.
Semua transaksi tadi akan tercatat dalam neraca transaksi berjalan. Dalam neraca transaksi berjalan kita mengenal istilah defisit transaksi berjalan atau CAD (current account deficit), yaitu kondisi keuangan negara dimana angka pertumbuhan impor lebih tinggi dibanding angka pertumbuhan ekspor.
Selain itu, CAD (defisit transaksi berjalan) juga terjadi saat tingkat tabungan nasional lebih rendah daripada tingkat investasi suatu negara. Defisit transaksi berjalan seperti ini umum terjadi di negara-negara berkembang.
Ini persoalan yang perlu segera diatasi, apalagi saat Indonesia sedang gencar-gencarnya membangun berbagai sarana dan prasarana (infrastruktur) penopang pemerataan pembangunan. Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
Sebagai negara berkembang yang faktanya bermodal minim, lantaran tingkat tabungan domestik masih rendah, ialah dengan mengundang investasi dari luar negeri sebanyak mungkin. Ini siasat yang perlu dikerjakan dengan bijaksana, tegas dan setia pada kepentingan nasional.
Karena itulah kebijakan menyetop ekspor biji nikel mentahan demi mendorong hilirisasi (lewat FDI/foreign direct investment) jadi imperatif. Kita bakal bisa jadi punya cukup 'amunisi' lagi untuk membangun infrastruktur fisik maupun non-fisik lainnya.
Jadi akhirnya kita hanya mau mengulangi kata-kata presiden, bahwa nikel itu punya kita, mau ekspor atau tidak ya suka-suka kita!
Selera kita saat ini adalah menciptakan nilai tambah keekonomian di dalam negeri. Supaya ekspornya bernilai tinggi dan neraca transaksi berjalan kita positif dan kuat.
Agar pembangunan yang merata demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa dilanjutkan. Itu saja.
06/06/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
Sumber:
https://www.wartaekonomi.co.id/read224019/apa-itu-defisit-transaksi-berjalan.html
https://www.nqminerals.com/wp-content/uploads/2019/09/Nickel-report-v02-19-08-19.pdf
https://horizonteminerals.com/uk/en/nickel/
https://ekonomi.bisnis.com/read/20200228/257/1207243/kemenperin-industri-nikel-perlu-pendalaman
https://katadata.co.id/berita/2020/01/09/bkpm-larangan-ekspor-bijih-nikel-sesuai-uu-minerba
https://www.infopresiden.com/2020/06/indonesia-target-menjadi-pengekspor.html?m=1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H