Konsep nilai tambah klasik (biaya produksi plus margin keuntungan yang layak) dibongkar habis oleh pemasar-pemasar milenium ketiga. Karena yang dikonsumsi bukan lagi hakekat produknya, tapi simbolisasi dari produk inti, makan kulitnya, atau bungkus abstraknya. Beli gengsinya, bukan fungsinya.
Konsumen telah disihir sedemikian rupa untuk mau mengonsumsi simbol (brand). Hasrat libidinal, egosentrisme dan gengsi yang sejatinya merupakan libido kekuasaan, ingin menguasai persepsi publik tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang hebat dan kuat versus mana yang lemah dan payah. Itu semua sesuai keinginan atau kepentingannya para pemasar saja.
Bahkan bukan hanya mengonsumsi dengan membeli, tapi bahkan juga memujanya, jadi penanda status diri. Konsep harga bukan lagi biaya plus marjin yang pantas, tapi bilangan harga setinggi-tingginya seirama dengan tingginya menara gengsi, ego pamer diri.
Berapa pun itu tak jadi soal, ini perang persepsi kok, yang penting adalah orang tahu bahwa ini barang dengan merek mahal (dan memang harus mahal, atau relatif mahal). Dan yang lebih penting lagi bahwa orang harus tahu bahwa pemakainya adalah otomatis jadi jemaat merekiah atau brandiah kelas brahmana, kasta tertinggi. Abstrak memang, tapi ya namanya juga sudah dihipnotis oleh kemilau konsumerisme, mau apa lagi. Tinggal membebek saja.
Kalau dulu Rene Descartes bilang 'cogito ergo sum' (saya berpikir maka saya ada) maka para jemaat merekiah, simboliah atau brandiah ini punya semacam kredo (pernyataan iman) 'saya pakai merek ini maka saya ada'.
Lalu karenanya ia kemudian jadi rasul dari merek tertentu itu. Kemana pun ia pergi, ia seperti utusan merek atau brand-ambassador, untuk mewartakan betapa bergengsinya dirinya berkat merek yang ia pakai. Absurd memang, tapi begitulah praktek sosialnya.
Kalau cuma pakai yang tak bermerek maka kamu tiada, kasta sudra. Tak punya hak voting. Pendapatnya tak perlu didengar, karena dalam lingkungan simulacra pemuja merek, hanya pemakai brand tertentulah yang punya hak suara. Ini sejatinya adalah penyakit (patologi) sosial juga.
Realitas eksistensi kemanusiaan telah tertutup (terselubung) oleh simbol abstrak hasil konstruksi sosial para pemasar korporasi global. Bahkan dalam proses membeli barang bermerek pun direkayasa sedemikian rupa. Cara membeli (membayar dan mengambil)nya pun sudah diskenariokan di toko serba kaca supaya dimana sang pembeli itu bisa dilihat dari berbagi sudut, seperti teater.
Karena memang mal atau pusat perbelanjaan jaman sekarang didesain juga sebagai 'a place to see and to be seen' (tempat untuk melihat dan dilihat orang). Jalur koridor mal dirancang juga sebagai run-away dimana para model amatiran bisa berjalan ala kucing (cat-walk). Berlenggak lenggok melihat-lihat etalase sambil (berharap) dilihat pula oleh banyak mata yang sedang nongkrong di cafe sepanjang koridor.
Tapi...
Tapi sekarang ada pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, sudah sejak semester kedua tahun lalu (2019) sampai sekarang belum kelar juga. Vaksin yang bisa diperoleh secara OTC maupun sebagai obat generik belum bisa didapatkan oleh publik umum. Kalau pun ada masih sekelebatan berita dari laboratorium ini atau itu.