Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Simulacra di Milenium Ketiga, Mengalami Dekonstruksi Tahap Awal?

24 Mei 2020   19:26 Diperbarui: 25 Mei 2020   23:13 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin yang perlu kita cermati bersama adalah konteks kehidupan sosial yang jadi lingkungan hidup kebersamaan  antara generasi-lama dan (bukan versus) generasi-depan.

Meminjam analisis dari trilogi Alvin Toffler (Future Shock, Third Wave, Power Shift) bahwa dalam setiap pergantian era, ia membagi -- kira-kira dari era/jaman batu (perburuan/ hunters, sampai teknologi roda), ke era pertanian (kultur, budidaya/ budaya tani/ ladang/ ternak), ke era industri yang dipicu revolusi industri (produksi, buruh, kapiltalisme, kolonialisme, sosialisme, komunisme, dst), sampai ke jaman sekarang yang disebutnya era informasi.

Semua gerak besar pergantian jaman itu senantiasa dipicu dan dipacu oleh invensi atau inovasi di bidang teknologi. Teknologi sebagai 'change-driver' penting. Teknologi sebagai cara (teknik) manusia menjalani dan menyiasati hidupnya.

Dalam era informasi yang semakin canggih (paling tidak untuk ukuran jaman sekarang di tahun 2000an) sektor produksi barang maupun produksi jasa yang berujung pada penawaran (supply) ke pasar konsumen (demand) menjadi melimpah, dalam jumlah maupun varian.

Singkat cerita, supply (penawaran) tidak lagi tergantung (menunggu) adanya permintaan (demand). Tapi permintaan (demand) itu diciptakan supaya ada.

Itu semua dimungkinkan berkat adanya teknologi pemasaran (termasuk teknologi periklanan dan public-relations) yang mampu mengonstruksi realitas-sosial baru yang diciptakan lewat banyak simulasi (model-model yang jadi acuan berpikir maupun bersikap bagi setiap segmen pasar). Difasilitasi pula oleh platform teknologi informasi dan komunkasi, seperti internet misalnya.

Referensi berpikir pun dibingkai sedemikian rupa supaya mengikuti dan selaras dengan rancang bangun konstruksi pikiran sesuai dengan strategi pemasaran korporasi-korporasi global.

'Frame of reference' dari 'target-market' sebetulnya sudah di-setting sebelumnya diruang-ruang rapat divisi pemasaran. Dan 'field-of-experience' pun terjadi lantaran diberi kesempatan untuk sejenak menikmati sample atau rumah contohnya. Tentu saja yang namanya rumah contoh atau sampling itu terkadang (atau selalu?) lebih indah dari warna aslinya.

Dan saking banyaknya simulasi-simulasi yang ditawarkan ke publik, kita sekarang ini laksana hidup dalam lingkungan yang disebut simulacra, lingkungan simulasi-simulasi belaka. Semua hanya proyek percontohan, permukaan tanpa kedalaman. Dicicipi sebentar untuk kemudian lekas-lekas pindah ke proyek simulasi lainnya lagi, toh penawaran diasumsikan bakal datang terus menerus tanpa henti.

Spiritualitas dalam hidup simulacra seperti ini pun sudah disiapkan kuil-kuil atau tempat pemujaannya oleh korporasi global pemegang hak paten merek, simbol (brand). Supaya loyalitas pelanggan bisa tetap terjaga imannya.

Di setiap mal, pusat perbelanjaan, kita senantiasa (hampir rutin setiap minggu) menjadi jemaat merekiah, simboliah, atau brandiah, yang melakukan semacam 'pemujaan' dari stasi merek yang satu ke stasi brand yang lain. Lorong-lorong mal atau pusat perbelanjaan itu jadi seperti arena perayaan sakramen konsumtivistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun