Oleh: *Andre Vincent Wenas*
Dua staf-khusus milenial telah mengundurkan diri. Apakah ini merupakan sample dari 'perang' (perbedaan paradigma) antar generasi yang beda milenium? Pucuk gunung es dari banyak konflik cara pandang, cara bersikap dari 'generasi-lama' versus 'generasi-depan'? Bisa saja, sekaligus juga belum tentu. Tergantung bagaimana kita melihat dan menyikapinya.
Karena pertanyaanya lalu dimana 'generasi-sekarang'? Bukankah yang disebut 'generasi sekarang' adalah percampuran (kombinasi) dari kedua generasi itu? Bagaimana sebaiknya 'generasi-sekarang' menyikapi perbedaan cara pandang itu? Kalau memang perbedaan itu ada dan memang substantif berasal dari masing-masing generasi itu?
Jangan-jangan perbedaan itu hanya sekedar labelisasi (semacam stigmatisasi) saja? Label yang ditempelkan (dianggap) sebagai ciri atau 'traits' dari masing-masing generasi. Bahwa ada semacam label yang ditempelkan bahwa generasi-milenial itu kreatif, inovatif, tidak suka formalitas, lebih egaliter, dsb. Dan kemudian oleh karenanya ciri oposisinya ditempelkan sebagai stigma dari generasi-lama.
Melabelisasi generasi dengan ciri semacam itu pun rasanya terlalu menyederhanakan persoalan. Suatu generalisasi yang terburu-buru dan rasanya kok agak serampangan. Segmentasi demografis plus psikografis senantiasa harus dibaca dengan penuh reserve.
Kalau Max Weber tidak percaya adanya yang sosial, lantaran faktanya yang ada itu hanya individu. Realitas yang ada itu hanya individu plus individu plus individu dan plus individu lainnya, dan seterusnya. Abstraksi dari sekelompok orang/ individu itulah yang mungkin dicoba dicari ciri-cirinya sebagai suatu kesatuan kelompok sosial, sehingga kemudian dinamakan (dilabel) dengan segala ciri sosialnya (ciri kelompok orang tertentu). Tapi pada hakekatnya yang ada cuma individu. Yang namanya sosial (kelompok orang) itu terlalu abstrak, tidak riil.
Tapi tentu saja cara pandang Max Weber ini mendapat reaksi juga dari kolega sosiolog/filsuf lainnya yang punya titik pandang berbeda. Untuk sementara ini kita tidak mempersoalkan itu. Kita hanya mau meminjam sejenak cara pandang bahwa individu itu adalah seseorang yang unik, yang punya dunia mikro (jagad cilik)nya sendiri dalam berinteraksi dengan dunia makro (jagad gede)nya masing-masing. Ada otentisitas dalam gradasinya masing-masing.
Poin yang ingin kita sampaikan adalah, bahwa di antara cara memandang yang disebut 'generasi-lama' versus 'generasi-depan' ada yang disebut dengan nama 'generasi-sekarang'. Generasi-sekarang ini adalah realitas campuran (kombinasi) dari generasi tua, muda dan milenial. Generasi kita yang hidup dalam transisi kedua milenia. Yang di tengah, kalau mengikuti alur pikir aristotelian.
Harap jangan dilupakan bahwa apa yang disebut milinea kedua (tahun 1001 s/d 2000) dan milenia ketiga (tahun 2001 s/d 3000) itu semua hanyalah hitungan kronos (waktu) dengan kategori seribuan tahun. Dan kebetulan kita semua (tua maupun muda) semua yang masih hidup hari ini ada dalam periode pergantian milenium.
Dalam era pergantian milenium ini ada yang menyebutnya sebagai suatu transisi, walau apanya yang disebut transisi itu pun masih spekulatif saja. Ada pula yang memperlawankan (versus) antar generasi (utamanya cara pandangnya atau paradigmanya), dan itu pun masih spekulatif juga. Kenapa mesti diperlawankan? Bukankah hidup itu sendiri suatu continuum, suatu keberlanjutan?
Yang tua dan yang muda hidup dalam jaman yang sama, berinteraksi bersama, mengalami konteks kehidupan yang relatif sama. Sehingga persoalannya kembali ke pernyataan di atas, bahwa individu itu adalah seseorang yang unik, yang punya dunia mikro (jagad cilik)nya sendiri dalam berinteraksi dengan dunia makro (jagad gede)nya masing-masing. Ada otentisitas dalam gradasinya masing-masing.
Mungkin yang perlu kita cermati bersama adalah konteks kehidupan sosial yang jadi lingkungan hidup kebersamaan  antara generasi-lama dan (bukan versus) generasi-depan.
Meminjam analisis dari trilogi Alvin Toffler (Future Shock, Third Wave, Power Shift) bahwa dalam setiap pergantian era, ia membagi -- kira-kira dari era/jaman batu (perburuan/ hunters, sampai teknologi roda), ke era pertanian (kultur, budidaya/ budaya tani/ ladang/ ternak), ke era industri yang dipicu revolusi industri (produksi, buruh, kapiltalisme, kolonialisme, sosialisme, komunisme, dst), sampai ke jaman sekarang yang disebutnya era informasi.
Semua gerak besar pergantian jaman itu senantiasa dipicu dan dipacu oleh invensi atau inovasi di bidang teknologi. Teknologi sebagai 'change-driver' penting. Teknologi sebagai cara (teknik) manusia menjalani dan menyiasati hidupnya.
Dalam era informasi yang semakin canggih (paling tidak untuk ukuran jaman sekarang di tahun 2000an) sektor produksi barang maupun produksi jasa yang berujung pada penawaran (supply) ke pasar konsumen (demand) menjadi melimpah, dalam jumlah maupun varian.
Singkat cerita, supply (penawaran) tidak lagi tergantung (menunggu) adanya permintaan (demand). Tapi permintaan (demand) itu diciptakan supaya ada.
Itu semua dimungkinkan berkat adanya teknologi pemasaran (termasuk teknologi periklanan dan public-relations) yang mampu mengonstruksi realitas-sosial baru yang diciptakan lewat banyak simulasi (model-model yang jadi acuan berpikir maupun bersikap bagi setiap segmen pasar). Difasilitasi pula oleh platform teknologi informasi dan komunkasi, seperti internet misalnya.
Referensi berpikir pun dibingkai sedemikian rupa supaya mengikuti dan selaras dengan rancang bangun konstruksi pikiran sesuai dengan strategi pemasaran korporasi-korporasi global.
'Frame of reference' dari 'target-market' sebetulnya sudah di-setting sebelumnya diruang-ruang rapat divisi pemasaran. Dan 'field-of-experience' pun terjadi lantaran diberi kesempatan untuk sejenak menikmati sample atau rumah contohnya. Tentu saja yang namanya rumah contoh atau sampling itu terkadang (atau selalu?) lebih indah dari warna aslinya.
Dan saking banyaknya simulasi-simulasi yang ditawarkan ke publik, kita sekarang ini laksana hidup dalam lingkungan yang disebut simulacra, lingkungan simulasi-simulasi belaka. Semua hanya proyek percontohan, permukaan tanpa kedalaman. Dicicipi sebentar untuk kemudian lekas-lekas pindah ke proyek simulasi lainnya lagi, toh penawaran diasumsikan bakal datang terus menerus tanpa henti.
Spiritualitas dalam hidup simulacra seperti ini pun sudah disiapkan kuil-kuil atau tempat pemujaannya oleh korporasi global pemegang hak paten merek, simbol (brand). Supaya loyalitas pelanggan bisa tetap terjaga imannya.
Di setiap mal, pusat perbelanjaan, kita senantiasa (hampir rutin setiap minggu) menjadi jemaat merekiah, simboliah, atau brandiah, yang melakukan semacam 'pemujaan' dari stasi merek yang satu ke stasi brand yang lain. Lorong-lorong mal atau pusat perbelanjaan itu jadi seperti arena perayaan sakramen konsumtivistik.
Konsep nilai tambah klasik (biaya produksi plus margin keuntungan yang layak) dibongkar habis oleh pemasar-pemasar milenium ketiga. Karena yang dikonsumsi bukan lagi hakekat produknya, tapi simbolisasi dari produk inti, makan kulitnya, atau bungkus abstraknya. Beli gengsinya, bukan fungsinya.
Konsumen telah disihir sedemikian rupa untuk mau mengonsumsi simbol (brand). Hasrat libidinal, egosentrisme dan gengsi yang sejatinya merupakan libido kekuasaan, ingin menguasai persepsi publik tentang mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang hebat dan kuat versus mana yang lemah dan payah. Itu semua sesuai keinginan atau kepentingannya para pemasar saja.
Bahkan bukan hanya mengonsumsi dengan membeli, tapi bahkan juga memujanya, jadi penanda status diri. Konsep harga bukan lagi biaya plus marjin yang pantas, tapi bilangan harga setinggi-tingginya seirama dengan tingginya menara gengsi, ego pamer diri.
Berapa pun itu tak jadi soal, ini perang persepsi kok, yang penting adalah orang tahu bahwa ini barang dengan merek mahal (dan memang harus mahal, atau relatif mahal). Dan yang lebih penting lagi bahwa orang harus tahu bahwa pemakainya adalah otomatis jadi jemaat merekiah atau brandiah kelas brahmana, kasta tertinggi. Abstrak memang, tapi ya namanya juga sudah dihipnotis oleh kemilau konsumerisme, mau apa lagi. Tinggal membebek saja.
Kalau dulu Rene Descartes bilang 'cogito ergo sum' (saya berpikir maka saya ada) maka para jemaat merekiah, simboliah atau brandiah ini punya semacam kredo (pernyataan iman) 'saya pakai merek ini maka saya ada'.
Lalu karenanya ia kemudian jadi rasul dari merek tertentu itu. Kemana pun ia pergi, ia seperti utusan merek atau brand-ambassador, untuk mewartakan betapa bergengsinya dirinya berkat merek yang ia pakai. Absurd memang, tapi begitulah praktek sosialnya.
Kalau cuma pakai yang tak bermerek maka kamu tiada, kasta sudra. Tak punya hak voting. Pendapatnya tak perlu didengar, karena dalam lingkungan simulacra pemuja merek, hanya pemakai brand tertentulah yang punya hak suara. Ini sejatinya adalah penyakit (patologi) sosial juga.
Realitas eksistensi kemanusiaan telah tertutup (terselubung) oleh simbol abstrak hasil konstruksi sosial para pemasar korporasi global. Bahkan dalam proses membeli barang bermerek pun direkayasa sedemikian rupa. Cara membeli (membayar dan mengambil)nya pun sudah diskenariokan di toko serba kaca supaya dimana sang pembeli itu bisa dilihat dari berbagi sudut, seperti teater.
Karena memang mal atau pusat perbelanjaan jaman sekarang didesain juga sebagai 'a place to see and to be seen' (tempat untuk melihat dan dilihat orang). Jalur koridor mal dirancang juga sebagai run-away dimana para model amatiran bisa berjalan ala kucing (cat-walk). Berlenggak lenggok melihat-lihat etalase sambil (berharap) dilihat pula oleh banyak mata yang sedang nongkrong di cafe sepanjang koridor.
Tapi...
Tapi sekarang ada pandemi Covid-19 yang berkepanjangan, sudah sejak semester kedua tahun lalu (2019) sampai sekarang belum kelar juga. Vaksin yang bisa diperoleh secara OTC maupun sebagai obat generik belum bisa didapatkan oleh publik umum. Kalau pun ada masih sekelebatan berita dari laboratorium ini atau itu.
Dalam masa isolasi diri (PSBB atau lockdown terbatas) pola konsumsi dengan sendirinya terkondisikan oleh situasi untuk kembali pada hakekat awal dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi yang hanya untuk mempertahankan kehidupan, yang secukupnya. Hanya yang esensial demi survival.
Roda kehidupan yang selama ini berlari di jalur cepat seperti direm mendadak. Berhenti yang tiba-tiba seperti ini bikin banyak orang kaget, pusing dan mual.
Inilah efek-kejut yang luar biasa. Kita terkaget-kaget bahwa tas dan sepatu bermerek yang ada di rak lemari tak bisa kita konsumsi untuk survival.
Bagusnya kekagetan sejenak itu membawa kita kembali ke kesadaran terhadap hal yang hakiki. Efek kejut yang menyadarkan kita dari hipnotisme massal terhadap pola konsumerisme semu. Simulacra pun mulai terbongkar kepalsuannya. Topeng-topeng rontok dan wajah aslinya mulai tampak.
Konsumerisme memang menawarkan banyak hal, tapi sesungguhnya ia juga telah mengambil banyak hal yang hakiki dari kesadaran konsumennya. Dan pandemi ini bukan hanya menggetarkan, tapi menggoncangkan kita untuk bangun dari tidur ideologis. Hipnotisme massal seperti diguyur air es. Bunyi alarm yang membangunkan, menyadarkan kembali untuk kembali ke hakekat.
Boleh dibilang bahwa simulacra di milenium ketiga sedang mengalami dekonstruksi tahap awal. Destruksi terhadap hipnotisme (daya sihir) konsumerisme, dan sekaligus memulai konstruksi kesadaran baru. Misalnya kesadaran tentang hakekat kehidupan manusia bumi yang mesti solider satu sama lain.
Kesadaran baru (yang tidak baru juga sebetulnya) bahwa generasi-sekarang (kombinasi/campuran dari generasi-lama dan generasi-depan) tinggal dalam kekinian di bumi yang sama. Bumi adalah rumah bersama saat ini. Kita semua bertetangga, bersaudara dalam marga kemanusiaan. Mungkin ini lebih tepatnya disebut suatu pembaruan kesadaran.
Perlawanan paradigmatik antar generasi (generasi-lama versus generasi-depan) sebetulnya hanya label atau judul semu, karena yang ada hanya continuum, suatu keberlanjutan yang sedang diperjuangkan bersama oleh generasi-sekarang (kombinasi atau campuran yang lama/ tua/ senior dan yang depan/ muda/ milenial sekaligus).
Tak perlu dipertentangkan karena memang bukan generasi atau individunya yang bertentangan. Cuma labelisasinya saja yang mungkin agak serampangan. Hidup bersama antar generasi terus berjalan beriringan. Masing-masing dengan tanggung jawab historisnya.
Karenanya, daya kritis publik mesti terus diupayakan agar bisa menembus hal-hal yang palsu, daya kritis yang mampu membongkar topeng-topeng.
Membangun daya kritis yang dapat membuat mitos-mitos yang melumpuhkan daya juang jadi terbenam. Daya kritis dari manusia (atau publik) yang digdaya untuk menjadikan senjakala bagi berhala-berhala ideologis yang menyesatkan.
Mari bergerak kembali ke yang hakiki. Hidup yang otentik. Bongkar semua kepalsuan-kepalsuan yang telah menggiring umat manusia seperti tikus-tikus yang sedang digiring si peniup seruling menuju jurang kehancuran.
Publik (konsumen) di seluruh dunia, bangun dan bersatulah!
24/05/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H