Iya kenapa ya? Kok 33 provinsi dan ratusan kabupaten/ kota lainnya anteng-anteng aja tuh. Apakah mereka gak dapat DBH (Dana Bagi Hasil) dari pemerintah pusat? Ya dapatlah. Apakah ada yang kurang bayar juga? Iya ada juga. Lalu kenapa mereka gak berisik merengek-rengek?
Begini. Kita telepon saja dulu Gubernur Jateng Pak Ganjar Pranowo deh.
"Halo Pak Ganjar, apa kabar? Sibuk? Lagi ngapain?
Kabar baik Masbro, iya sibuk banget! Kita lagi ngerjain bansos buat warga Jateng nih.
Pak, denger-denger kemarin ditelepon sama Pak Jokowi ya?
Haha... tahu aja sih Masbro ini. Iya, biasalah beliau ngecheck soal penyaluran bansos.
Ceritain dong Pak, gimana ngobrolnya sama Pak Jokowi.
Hihi... Kepo banget sih Masbro haha...
Gini, beliau telepon saya, 'Pak Gubernur, gimana pelaksanaannya?'.
Saya jawab 'izin Bapak, kami memodifikasi beberapa'.
Trus Pak Jokowi jawab 'oh iya, silakan, silakan'.
Saya jelasin lagi, 'izin Bapak, yang ini kita ikuti, tapi yang ini kita coba lakukan dengan kearifan lokal', enak aja sih ngobrol sama Pak Jokowi, beliau orangnya sersan (serius tapi santai).
Bahkan Pak Jokowi sempat lho nawarin tambahan bantuan terkait bansos.
Oh ya, enak dong Pak Ganjar dapat tambahan bansos dari pusat ya?
Entar dulu Masbro, waktu Pak Presiden nanya ke saya, 'mau minta bantuan apalagi?' Saya jawab, 'izinkan Pak, kami berkreasi dulu, nanti kalau kami tidak kuat, kami akan telepon'
Hah! Jadi Pak Ganjar nolak tambahan bantuan itu?
Iya Masbro, gak enaklah.
Lho, kenapa gak enak Pak Ganjar?
Gini lho Masbro, sudah seharusnya pemerintah daerah untuk tidak lagi membebani pemerintah pusat. Menurut saya nih, saat ini yang dibutuhkan adalah kekuatan lokal untuk mengatasi pandemi Covid-19 ini.
Dengerin nih Masbro, memang di antara kita ini mendapatkan amanah sebagai pemimpin, kecuali kita enggak kuat betul, kecuali kita sudah menyerah betul. Tapi, seandainya enggak, ya, kita dituntut untuk berkreasi menggunakan tim yang ada, menggunakan jejaring yang ada untuk kita selesaikan. Saya kira semua punya pengalaman lah ya.
Wah! Hebat nih Pak Ganjar, salut saya.
Hebat apanya sih Masbro, biasa-biasa aja kali...
Iya saya tetap kagumlah pokoknya, ya udah gak mau ganggu lama-lama. Selamat bekerja dan berkarya lagi Pak Ganjar. Salam hormat!
Oke Masbro, tetap semangat! Salam solidaritas ya."
(Adaptasi imajiner dari dialog Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dengan Presiden Joko Widodo minggu lalu).
Begitulah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang seiring sejalan, kompak dengan Presiden Jokowi fokus memberikan bansos kepada masyarakat miskin.
Kabarnya Pemprov Jateng telah menyiapkan total anggaran Rp 1,4 triliun demi penanganan Covid-19. Porsi terbesarnya (Rp 1 triliun) buat bansos langsung ke 1,8 juta masyarakatnya yang jadi sasaran yang jelas dan terukur.
Dalam dialog per telepon itu, Pak Ganjar juga menyampaikan kepada Presiden Jokowi bahwa ia dan jajarannya sedang mengupayakan berbagai cara, termasuk mengoptimalkan kearifan lokal dalam pemberian bansos. Setiap kepala daerah pun bisa memanfaatkan jaringannya untuk memenuhi kebutuhan warga.
Kreatif, inovatif dan pantang menyerah alias tidak cengeng. Luar biasa.
Yah, lain ladang lain belalang, lain daerah lain pula kualitas pemimpinnya. Diberkatilah suatu daerah yang pemimpinnya baik dan mau sungguh-sungguh bekerja untuk kemaslahatan rakyat di daerahnya.
Sekarang kembali ke soal DBH (Dana Bagi Hasil). Kok Pak Ganjar (dan ratusan kepala daerah lainnya) gak merengek-rengek soal DBH sih?
Ya memang gak perlu merengek-rengeklah, kayak anak blo'on aja. Khan semua kepala daerah juga sudah tahu kelaziman proses transfer dana bagi hasil itu.
Apalagi juga sudah ada dasar hukum yang jelas, yaitu PMK No.36/2020 tentang Penetapan Alokasi Sementara Kurang Bayar DBH Tahun Anggaran 2019 dalam Rangka Penanganan Pandemi Covid-19.
PMK (Peraturan Menteri Keuangan) ini diterbitkan untuk menyikapi situasi pandemi Covid-19. Di situ rinci sekali untuk setiap daerah, sudah jelas dan terang benderang. Kenapa mesti dibikin ribet lagi?
Terus kalau soal yang terkait BPK itu gimana? Katanya gak perlu nunggu audit BPK untuk menyalurkan DBH?
Gini lho, soal transfer DBH ke daerah memang bukan urusan BPK kok. Itu urusannya bendahara negara (menkeu) yang selalu mesti mengelola kas negara dengan segala pertimbangan dan kebijaksanaan. Paham khan? Hasil audit BPK itu dipakai hanya untuk menghitung dan memastikan jumlah DBH finalnya. Supaya transfer DBH sesuai dengan hak masing-masing daerah.
Lalu kapan biasanya DBH itu ditransfer? Pertanyaan bagus, ini sebabnya maka kepala daerah lain juga anteng-anteng aja, karena mereka sudah paham betul kelazimannya.
Contoh untuk DBH tahun 2020 itu dasarnya adalah kinerja daerah tahun 2019. Dan audit daerah oleh BPK untuk tahun 2019 lalu baru akan keluar hasilnya sekitar bulan Agustus sampai November tahun 2020. Jadi biasanya sekitar kuartal ketiga atau keempat ditransfer.
Kok lama proses audit oleh BPKnya? Lha ya iya lah, tahun buku khan ditutup tiap akhir Desember, lalu masing-masing pemda mesti beresin pembukuan, kemudian tim BPK turun ke lapangan, mengaudit ke ratusan titik di Provinsi, Kabupaten dan Kota. Makanya sekitaran Agustus sampai November baru beres. Hasilnya dipakai untuk perhitungan DBH, supaya jelas.
Tapi... ada tapinya nih. Jangan lupa bahwa ini adalah proses yang bergulir terus setiap tahun. Jadi maksudnya, DBH tahun-tahun sebelumnya juga sudah ditransfer kok ke masing-masing daerah.
Kalau pun masih ada selisih (kurang bayar, atau bisa juga lebih bayar) ya akan diperhitungkan kembali pada periode berikutnya. Begitu prosesnya bergulir terus setiap tahun.
Lalu ada bencana kesehatan nasional Covid-19 di kuartal pertama tahun 2020 ini. Dan faktanya memang audit BPK untuk tahun 2019 belum selesai. Tapi daerah butuh dana. Jadi bagaimana?
Justru, lantaran itulah pemerintah pusat (cq menteri keuangan) menerbitkan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) No.36 tahun 2020. Ditandatangani Menkeu tanggal 16 April 2020. PMK ini adalah  tentang Penetapan Alokasi Sementara Kurang Bayar DBH Tahun Anggaran 2019 dalam Rangka Penanganan Pandemi Covid-19.
Mulai jelas sekarang duduk perkaranya?
Berdasarkan PMK itu, maka DBH tahun lalu (misalnya 2019) yang biasanya ditranfer pada kuartal tengah sampai akhir tahun berjalan (tahun 2020) dipercepat ke bulan April 2020. Perhitungannya berdasarkan prognosa.
Ini khan jelas menunjukan bukti bahwa pemerintah pusat sangat peka dan peduli dengan kondisi abnormal yang sedang dialami oleh daerah-daerah. Segera payung hukumnya (PMK) diterbitkan, supaya sebagian (50%) DBH bisa ditransfer lebih awal berdasarkan prognosa saja. Tanpa perlu menunggu hasil audit BPK.
Contoh kasus, untuk Pemda DKI-Jakarta yang biasanya dibayar pada Agustus, sudah dipercepat transfernya pada April sebesar 50%nya, atau senilai Rp 2,5 triliun.
Kalau begitu duduk persoalannya, sebetulnya gak perlu ada polemik dong. Gak usah bikin-bikin masalah baru. Lagi pula soal DBH ini juga bukan soal utang-piutang pemda dengan pemerintah pusat kok.
Gendeng aja kalo ada yang sampai bikin-bikin narasi seolah pemerintah pusat punya utang dan gak mau bayar utang. Ngawur puolll...
Itu mungkin lantaran Pak Ganjar sudah faham betul kelaziman proses DBH selama ini. Apalagi dengan PMK 36/2020 ini DBH tahun berjalan malah bisa ditransfer lebih cepat dari biasanya.
Dengan begitu selayaknyalah pemda-pemda bersyukur, dan berterima kasih pada pemerintah pusat yang telah peka dan solider dengan kondisi keuangan daerah.
Yang menarik dari pernyataan Ganjar Pranowo, adalah bahwa beliau dan timnya akan berkreasi dulu, gak gampang nyerah, gak nyingung-nyinggun soal DBH pula. Bagaimana pun caranya, mau merealokasi anggaran kek, mau inovasi apa kek, pokoknya usaha dulu. Gak cengeng! Nyebelin emang kalo ngadepin orang yang cengengan.
Apalagi kalo kita tahu bahwa ada Kepala Daerah yang menghambur-hamburkan APBDnya untuk pos yang gak perlu-perlu. Seperti misalnya balapan mobil, hibah ke ormas-preman, Â tim ahli yang gak jelas, monumen bambu lah, monumen batu lah, waring hitam lah, ngaspalin monas lah, dan berbagai kebodohan serta kekonyolan lain yang sama sekali tidak lucu.
Tambah lagi berani asal-omong sama Wapres sepuh, katanya ada 3,7 juta yang perlu dibantu (1,1 juta miskin dan 2,6 juta rentan miskin). Tapi data nama dan alamatnya masih perlu diupayakan. Dikiranya professor itu pikun kali ya? Eh begitu ditanya dari mana angka itu, apakah sudah ada by name by address-nya? Ternyata masih gelap.
Lalu angka itu pula yang masih dipakai untuk bikin kesepakatan dengan pemerintah pusat (kementerian) untuk bansos. Katanya bagi tugas, supaya pusat handle yang 2,6 juta, pemprov DKI yang 1,1 juta.
Tapi jebulnya jebol juga. Pemprov DKI angkat tangan, sehingga Pusat yang mesti turun tangan lagi... dan lagi. Ngakunya sudah siapkan dana bansos Rp 3,7 triliun, tapi bo'ong. Lalu bikin lagi narasi dikeroyok tiga menteri. Hadooohhh... pusing pala berbi.
Kebanyakan konpers bisa membuat kepala Anda mesti dikompres.
DBH (Dana Bagi Hasil) itu adalah bagian dari Dana Perimbangan. Sumbernya dari pendapatan APBN yang dialokasikan untuk daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Keperluannya untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Supaya ada keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Maka pembagian DBH dilakukan berdasarkan prinsip 'by origin'.
Dalam UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebut bahwa sumber pendapatan daerah adalah dari: PAD (Pendapatan Asli Daerah), Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan.
Lalu, Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari: Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus.
Catatan penutup: DBH bukan buat dibancakin oleh preman-preman sialan berjubah Ormas/TimAhli/Penasehat-Spiritual yang berkerumun di balai-kota manapun.
Sudah itu saja.
13/05/2020
*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa
Sumber: 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H