Mohon tunggu...
Andre Vincent Wenas
Andre Vincent Wenas Mohon Tunggu... Konsultan - Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pelintas Alam | Kolomnis | Ekonomi | Politik | Filsafat | Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Lagi, Cetak Uang Baru atau Kumpulin Uang Lama yang Berceceran?

3 Mei 2020   12:16 Diperbarui: 3 Mei 2020   12:42 694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terima kasih, artikel singkat berjudul *Terusan Panama-Papers atau Cetak Duit Lagi?* rupanya cukup menggoda. Mendapat tanggapan dari banyak rekan berpikir. Ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju, ada juga yang kasih catatan tambahan.

Pro dan kontra itu biasa, yang penting argumentasinya ada dan masuk akal. Bisa saling melengkapi, sehingga masalahnya dapat diteropong dari multi-perspektif. Gambaran gajahnya jadi lebih mendekati realitas, bukan cuma belalai atau buntutnya doang.

Mengenai potensi dana WNI yang masih diparkir atau lagi indekos di LN katanya akan makan waktu untuk proses repatriasinya. Apa sebabnya? Katanya ini soal yang politis sekali, banyak benturan kepentingan. Ini ribet urusannya. Padahal kita butuh dananya sekarang.

Oke dicatat, artinya bukan tidak mungkin, hanya butuh waktu lebih lama saja lantaran ribet politisasinya.

Karena sebetulnyalah antara dana WNI yang diparkir di LN dengan Kebutuhan likuiditas di DN bukannya tidak ada hubungan. Namun hubungannya katakanlah masih gelap-gelapan. Lantaran banyak kepentingan politik yang tidak merestui hubungan itu.

Tapi apakah repatriasi dana itu utopis? Tentu saja tidak. Memang tidak gampang, tapi bukan berarti impossible.

Kita juga tahu bahwa administrasi Joko Widodo terus mengupayakan pengembalian dana-dana hasil penggelapan rezim lama sejak tahun pertama pemerintahannya. Uang lama ini berceceran dimana-mana.

Payung program besarnya adalah Tax Amnesty 2016, ratifikasi MLA (Mutual Legal Assitance) dengan Swiss, lalu keikutsertaan Indonesia ke dalam skema AEOI (Automatic Exchange of Information), tentu itu semua bukan cuma kegiatan seremonial ala gabener. Bukan cuma demi konpers khan?

Sampai saat ini kita yakin bahwa pekerjaan berat merepatriasi itu masih terus berjalan, walau tidak heboh. Perlu operasi senyap juga untuk urusan yang satu itu.

Setelah 'konsolidasi' di tataran politik cukup kuat, mudah-mudahan proses pemulangan harta yang terpendam di negeri orang itu bisa lebih giat dan cepat lagi. Sekali lagi, memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin. Utopiskah? Sama sekali tidak.

Ada kawan yang juga menasehati, "Lihat saja, resistensinya pasti paling besar datang dari mereka yang tersangkut langsung atau tidak langsung dengan duit yang lagi indekos di LN itu. Merekalah yang akan getol agar pemerintah cari jalan lain selain soal repatriasi uang haram. Tentu dengan berbagai rasionalisasinya."

Hmmm... mungkin juga. Untuk sementara kita catat dulu saja.

Argumentasi dari rekan-rekan yang pro mencetak uang baru sekarang juga cukup kuat: karena likuiditas dalam negeri lagi seret, dan likuditas luar negeri juga sama sulitnya. Jadi, untuk kepentingan survival sementara ini, cetak duit dan bagikan ke rakyat sebagai BLT.

Boleh saja. Sekali lagi, kita tidak anti terhadap cetak uang baru. Hanya perlu diatur pace dan level-nya.

Berapa banyak cetak duitnya? Banggar DPR-RI bilang Rp 400 -- 600 trilyun, ada yang usul Rp 1000 trilyun, bahkan Gita Wirjawan bilang perlu sampai Rp 4000 trilyun. Masing-masing tentu dengan perhitungan dan argumentasinya. Yang jelas masing-masing melihat dari perspektifnya.

Mereka meyakinkan juga bahwa dalam masa darurat pandemi Covid-19 ini, kebijakan cetak uang ini juga dilakukan oleh AS (kabarnya sudah mencetak US$ 2,3 trilyun, setara Rp 40 ribu trilyun). Begitu pula Jepang, Tiongkok dan Inggris. Jadi cetak duit bukanlah hal yang aneh di masa darurat seperti ini.

Dari titik pandang lain, bahwa Bank sentral AS (The Fed) bisa melakukan kebijakan cetak duit sekaligus membeli surat utang pemerintah sebanyak-banyaknya. Itu lantaran US dollar selama ini dipegang oleh seluruh dunia, sehingga risiko inflasinya kecil atau bahkan hampir tidak ada.

Jadi memang lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Konteks US Dollar (juga Yen, Renminbi serta Poundsterling) dengan Rupiah memang beda. Kondisi risk-management-nya juga beda.

Kita bukan anti cetak duit baru. Kita hanya ingin ekstra hati-hati, jaga kesimbangan supply-demand. Sambil juga cari alternatif lain. Dalam keadaan bokek biasanya kita baru sadar untuk mencari dan mengumpulkan duit lama kita yang tercecer di laci, di mobil, di rak buku, yang dipinjam ipar, dll.

Di situlah relevansi dana WNI yang masih diparkir di LN. Kalau itu bisa ditarik untuk dimasukan kembali dalam perputaran ekonomi nasional akan sangat membantu. Bahkan lantaran jumlahnya sangat besar, bisa jadi solusi cepat. Atau katakanlah hanya 50% nya saja dari Rp 11 ribu trilyun, jumlahnya sudah Rp 5500 trilyun. Hanya memang masalahnya lebih ke soal-soal berbau politis kronis.

Menggelontorkan duit baru ke sistem bukanlah suatu pantangan. Hanya saja tinjauannya mesti seimbang antara sisi demand, supply dan distribusi. Ekuilibrium ekonomi dan moneter inilah yang kita lihat selalu dijaga mati-matian oleh Menkeu dan Gubernur BI.

Menkeu Sri Mulyani juga mengakui bahwa bisa saja pemerintah cetak uang, asalkan sudah dihitung cermat terlebih dahulu supply -- demand-nya. Jangan sampai uang beredar banyak tapi produksi (supply) barang tidak ada. Bisa-bisa inflasi tidak terkendali lagi.

Hendaklah kita melihatnya dalam suatu siklus ekonomi yang relatif bulat. Persoalannya bukan karena uang saja, tapi lantaran stagnasi pergerakan orang maka produksi juga terganggu. Sehingga ekonomi tersendat. Situasi ini memang tidak enak bagi semua pihak. Kita paham sekali itu.

Orang yang tadinya kerja, bisa belanja, perusahaan yang produksi barang bisa dapat revenue. Tapi sekarang ini orang di rumah, dia gak belanja, terbatas, sehingga ekonomi relatif stagnan.

Kondisi ini yang mesti diwaspadai, jangan sampai berhenti total. Ibarat naik sepeda, harus jalan terus walau lambat. Kalau berhenti malah bisa jatuh.

Maka tugas pemerintah adalah tetap menjaga roda ekonomi terus berputar, meskipun pelan-pelan. "Karena kalau berhenti maka akan ada PHK masif. Makanya kita siapkan bansos, relaksasi, stimulus, dan kebijakan lain. Ini kita coba keroyok sama-sama." Begitu langkah pemerintah menurut Menkeu.

Masuk akal juga. Kita tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja. Misalnya dari sisi demand saja. Ya memang kebutuhan barang (terutama pangan, dan produk esensial lainnya) itu besar. Dan butuh duit untuk alat tukar (pembayarannya).

Tapi itu mesti diimbangi dari sisi produksi (supply) dan distribusinya. Kalau pasokannya seret, ya pasti harga melonjak, inflasi dan bahkan bisa hyper-inflasi.

Merangsang perputaran roda ekonomi bisa lewat kebijakan moneter dan/atau fiskal. Cetak duit dan/atau kasih keringanan pajak. Berapa banyak duit yang akan digelontorkan lagi, itu mesti dipadankan dengan faktor produksi dan ketersediaan barang.

Sedemikian rupa supaya dalam kondisi krisis (darurat) seperti ini kita tidak menggelontorkannya dengan gegabah. Yah paling tidak bikin ekonomi ini mengapung dulu, yang penting tidak tenggelam. Minimalis banget ya? Iya memang.

Istilah yang dipakai Menkeu adalah, "...kita bikin mengapung lagi, nggak tenggelam. Tapi kalau gerojokin terlalu banyak, tetapi di sisi lain supply side nggak jalan maka yang ada adalah akan terjadi inflasi." Makanya mesti prudent, dan ekstra cermat dalam mengatur pace (laju kecepatannya). Jangan kepanasan, dan jangan kedinginan.

Tugas negara adalah juga menjaga neraca bank sentral dan neraca pemerintah. Jangan sampai jebol salah satu atau dua-duanya. Kita mesti tetap menjaga sustainabilitas dari fiskal, sementara ekonominya tetap selamat juga. Disini seninya, mengatur pace dan levelnya.

Sementara ini pemerintah juga sudah berjibaku untuk melakukan pelebaran defisit anggaran dan memberi berbagai insentif.

Presiden Joko Widodo juga sudah menyampaikan 5 skema besar program perlindungan dan pemulihan ekonomi di sektor UMKM yang merupakan 99,99% pelaku ekonomi Indonesia.

Pertama, UMKM kategori miskin dan kelompok rentan terhadap dampak Covid-19. Mereka ini masuk bagian dari penerima bantuan sosial baik itu Program Keluarga Harapan (PKH), paket sembako, bansos tunai, BLT desa, pembebasan pengurangan tarif listrik, maupun kartu prakerja.

Kedua, insentif pajak bagi UMKM yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Tarif PPh final untuk UMKM dari 0,5% jadi 0% selama periode 6 bulan, mulai April sampai September 2020.

Ketiga, relaksasi dan restrukturisasi kredit UMKM dengan berbagai program. Antara lain penundaan angsuran dan subsidi bunga KUR, kredit ultra mikro (UMi), PNM Mekaar (jumlahnya 6,4 juta), dan Pegadaian (ada 10,6 juta debitur).

Tambah lagi angsuran dan subsidi bunga kepada usaha mikro penerima kredit dari LPDB-KUMK, penundaan angsuran dan subsidi bunga kepada para penerima bantuan permodalan dari beberapa kementerian misalnya LPM UKP (Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan), BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan, dan program serupa di Kementan.

Program penundaan angsuran dan subsidi bunga diperluas untuk pengusaha mikro penerima bantuan dari pemerintah daerah.

Keempat, perluasan pembiayaan UMKM berupa stimulus bantuan modal kerja darurat. Tercatat ada 23 juta UMKM yang belum pernah mendapatkan pembiayaan dari lembaga keuangan maupun sistem perbankan.

Mereka ini harus mendapatkan program perluasan pembiayaan program kerja, bagi yang 'bankable' penyalurannya akan melalui perluasan program KUR. Sekaligus ini akan mendorong inklusi keuangan. Sedangkan bagi yang tidak 'bankable' penyalurannya bisa lewat UMi, lewat Mekaar maupun skema program lainnya.

Kelima, kementerian/lembaga/BUMN dan Pemda harus menjadi 'bumper' dalam ekosistem usaha UMKM terutama dalam tahap awal pemulihan.

Konsolidasi usaha ini penting sekali. BUMN atau BUMD bisa jadi 'offtaker' hasil produksi UMKM, baik di bidang pertanian, perikanan, kuliner, maupun industri RT. Realokasi anggaran pemda haruslah tertuju pada program stimulus ekonomi sektor UMKM.

Begitulah berbagai upaya menolong bangkitnya UMKM sedang dilancarkan oleh pemerintah pusat.

Apakah semua itu cukup? Pasti tidak cukup. Maka Menkeu tadi bilang mesti keroyok sama-sama.

Keroyok sama-sama, itu gotong-royong total semua lembaga, semua komponen. Solidaritas Indonesia kita. Dalam kondisi darurat seperti ini memang kebijakan apa pun tidak bisa memuaskan semua pihak, apalagi kalau parameter kepuasan adalah normalitas seperti yang dulu.

Lagunya sudah bukan 'aku masih seperti yang dulu', lantaran kelamaan isolasi udah jadi banyak uban (merasa gak perlu cat rambut dulu).

Kita tahu bahwa selain memperhatikan mikro, pemerintah pasti mesti menjaga keseimbangan makro. Kelima skema besar program perlindungan dan pemulihan ekonomi di sektor UMKM yang merupakan 99,99% pelaku ekonomi Indonesia adalah prioritas saat ini.

Dari mana dananya?

Alternatif atau kombinasinya, dari realokasi anggaran (termasuk penundaan proyek strategis), dari cetak uang baru (mesti jaga pace dan level-nya). Dan bisa juga dari uang lama kita yang berceceran di laci, di mobil, di rak buku, yang dipinjam ipar, dan di berbagai 'tempat lain'.

Demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam kondisi darurat seperti ini bisakah uang haram itu dipulangkan (segera) untuk diputar kembali dalam sistem ekonomi kerakyatan kita?

Ini pertanyaan, sekaligus tantangan.

03/05/2020

*Andreas Vincent Wenas*, Sekjen 'Kawal Indonesia' -- Komunitas Anak Bangsa

Sumber:

https://finance.detik.com/moneter/d-4989330/bu-sri-mulyani-kenapa-nggak-cetak-uang-terus-bagi-bagi-ke-rakyat-saja

https://republika.co.id/berita/q9nkrz383/ekonom-ingatkan-risiko-jika-bi-cetak-uang-rp-600-triliun

https://money.kompas.com/read/2020/05/02/080100426/eks-mendag-gita-wirjawan-usulkan-bi-cetak-uang-rp-4.000-triliun-untuk-apa-

https://medan.tribunnews.com/2020/05/02/cetak-uang-baru-rp-600-triliun-diributin-eks-mendag-malah-bi-cetak-uang-baru-rp-4000-triliun?page=all

https://finance.detik.com/moneter/d-4989891/ri-bisa-cetak-uang-lalu-bagi-bagi-ke-rakyat-tapi-ada-risikonya

dokpri
dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun