Mohon tunggu...
Siti Andreani
Siti Andreani Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

membaca dan menulis adalah hobiku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerpen] Komitmen

21 November 2023   16:13 Diperbarui: 21 November 2023   16:17 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ombak datang bergulung memecah karang. Di bawah langit kelabu, ia berlarian di sepanjang bibir pantai, tak peduli meski pasir lembab menempel di kaki tanpa alas itu. Kemejanya berkibar, diterpa angin segar, aku sempat khawatir ia kedinginan mengingat kebiasaannya yang hanya memakai kaos tipis dipadukan dengan kemeja yang sama tipisnya. Tapi begitu surai hitamnya diajak menari oleh sang angin, aku jadi iri pada kurva indah yang terlukis di wajah yang sialnya tampan itu.

Sepasang tungkainya berhenti bergerak. Ia diam membeku, bak batu karang di ujung sana. Selangkah ia maju, kulitnya bisa dicumbu air laut.

Matanya memandang jauh ke ujung sana, tempat pertemuan laut dengan langit, batas kemampuan manusia melihat bumi bulat. Tapi ia memandangnya dengan tatapan kosong, aku seperti tidak mengenalinya, saking asingnya ia dimataku kini.

***

Beragam wewangian menari di indera penciumanku. Saling bersahutan, berebut siapa duluan menembus lubang hidungku.

Botol-botol kecil berisi sample parfume berjejer di atas meja kerjanya. Wadah kecil tempat ia biasa meracik, tak lupa tangkai-tangkai bunga asli yang ia sengaja taruh di ruang kerjanya.

Tapi kali ini ada yang berbeda, Satu bunga di gelas kaca yang ukurannya lebih besar dibanding yang lainnya itu mengganggu mataku.

Tapi Ia tampak tak peduli, pada benda-benda yang berserakan diatas meja kerjanya. Dibanding membereskannya terlebih dahulu, Ia lebih memilih pindah pada meja lain dekat jendela kaca. Tempat kesukaanku ketika kami meracik aroma bersama.

Ia buka laptopnya disana. Tangannya bergerak menciptakan bunyi yang dihasilkan papan ketiknya. Gerakannya serampangan, seolah tak sabar melihat sesuatu dan ia makin seperti bukan lelaki yang aku kenal sebelumnya.

Tiba-tiba datang seorang teman. Lelaki yang tak kuketahui namanya, tapi parasnya tak begitu asing di mataku. Aku sering melihat lelaki berlesung pipit itu berdiri bersebelahan atau sambil merangkul pundaknya beserta satu lelaki lain pemilik senyum polos nan menggemaskan.

Oh, aku ingat. Si pemilik senyum menggemaskan itu sepupunya. Sedang si lesung pipit ini rekan kerjanya.

Lelaki itu menempuk pundaknya, ia berjengit terkejut, “Nonton apa?”

Buru-buru ia tutup laptopnya, sebisa mungkin menghindari tatapan ingin tahu dari temannya itu.

“Nanti ada meeting abis makan siang, lo inget kan?” temannya bertanya.

“Iya, gue inget kok.”

Ia menghela nafas, terdengar berat dan menyesakkan. Tapi teman disebelahnya tak menyadari itu karena sibuk dengan ponsel ditangannya.

“Yaudah, nanti gue sekalian siapin makan siang biar lo gausah keluar.”

“eh — gausah. Gue aja yang beli, sekarang.”

“Lo siapin agendanya aja, urusan makanan biar sama gue. Berangkat dulu ya, sob.” Lanjutnya.

“Lunch masih lama woy, masih jam 10 ini!” tapi sayang seruan temannya itu hanya dibalas angin.

***

Pundak yang biasa tegap, kini layu bak tanaman kurang sumber kehidupan. Wajahnya menunduk, sendu menggenang di bola mata yang biasa berbinar terang. Jejak basah mulai nampak terlihat seiring langkanya menemui lautan.

Tapi apa yang ia lakukan sekarang?

Mengapa ia diam saja meski betisnya ditelan lautan?

Seingatku ia tidak menyukai air laut. Meski aku tahu obsesinya pada pantai dan semua hal tentang lautan –aku sudah muak mendengar ocehannya tentang tujuh puluh satu persen bumi dikuasai air. Tapi sampai saat ini aku tidak mengerti alasan mengapa ia menghindari air asin tersebut.

Ia tidak akan sudi air laut menyentuh telapak kakinya. Kubilang ia penganut standar ganda, karena pasir lembab yang ada di bibir pantai ia izinkan masuk ke celah kuku kakinya. Lantas mengapa air laut tidak?

Aku juga selalu menjadi korban keanehannya itu. Ketika kami bermain di pantai, ia selalu berusaha menjauhkanku dari air asin itu, cardigan-ku ditarik agar aku berdiri di sebelanya menjauhin air.

Aku suka pantai –kami berdua suka pantai. Aku suka memotret sedang ia kolektor kamera. Gambar hasil tangkapanku selalu ia pamerkan di laman sosial medianya dengan caption yang selalu berhasil membuatku murka. Tapi laki-laki itu pandai berdalih. Katanya sebagai balas dari utang budi (sayangnya aku tidak peduli) karena aku bisa menangkap momen yang mengundang gemuruh hatinya.

-dan sebagai gantinya; aku menjadi yang pertama merasa, mencium dan menikmati bibit parfume baru hasil racikan tangannya.

“Kenapa kamu namain parfume ini lavender haze?” tanyaku.

Dan jawabannya membuat aku tak bisa berpaling dari botol kecil yang kini ada di genggaman tanganku. Dengan seribu pertanyaan yang tak bisa kuutarakan.

Ombak bergulung seolah menghipnotis kami agar menemuinya di tengah samudra. Angin pantai menerbangkan surai lembutnya hingga bergerak menghalangi pemandangan. Tapi ia tiada upaya untuk menghalau mereka menyamarkan rupa, karena dimataku ia selalu tampan bersahaja. Tatapannya yang tak berpaling dari sisiku membuat aku rasakan juga ketenangan, kenyamanan dan dukungan darinya, persis seperti yang ia katakan tadi.

‘Aku tidak takut meski ombak besar itu menyeretku ke tengah, lalu kami terpisah dan aku meninggalkannya sendirian di daratan ini.’

Ah, lagi-lagi tatapannya kosong. Langit kelabu, lautan keruh dan bayangku yang tak ada di bola matanya.

***

Ia mendatangi kedai kopi tempat biasa kami menikmati pengujung hari. Sambil ditemani secangkir latte di genggaman masing-masing. Asapnya mengepul, lagi-lagi diajak menari oleh sang angin, lalu tangannya akan berusaha menutupi cangkir itu, menjaga agar kehangatnya tak segera hilang.

Kita berdua menikmati debur ombak dengan latar belakang lukisan cakrawala yang dipoles beragam warna. Bulatan oranye yang sebentar lagi tenggelam, biru laut, hijau neon dan kuning jeruk; berpadu dengan gumpalan putih keabu-abuan.

Si pemilik kedai bertanya, “tumben dateng sendiri mas? si mbak-nya sibuk ya?”

Kulihat matanya bergerak acak, mulutnya terbuka seperti hendak berkata tapi tenggorokannya tercekat. Aku tahu dadanya pasti sesak apalagi ketika meliat dua cangkir latte tersaji dihadapannya.

Rekan-rekannya langsung membubarkan diri begitu meeting berakhir. Tetapi ia malah kembali ke ruang kerjanya. Ia kembali sendirian di ruangan yang gemas sekali ingin kurapikan.

Bagaimana mungkin ia betah berlama-lama di tempat yang menurutku tak jauh berbeda dengan gudang?

Bedanya gudang ini tidak ada bau busuk menyengat, melainkan bau wangi yang kini didominasi aroma mawar segar.

Kukira ia akan kembali meracik sendirian seperti yang biasa ia lakukan. Tapi ternyata ia malah meraih kotak hitam itu lagi. Ia letakan kotak itu diatas meja, permukaannya diusap begitu pelan. Aku berani bertaruh jika telapak tangannya kini dipenuhi debu halus yang menempel di kotak tersebut.

Bersamaan dengan dibukanya kotak hitam itu, hujan turun. Dari semula rintik kecil lama kelamaan menjadi deras. Jendela kaca mulai berembun dan bulir-bulir air berlabuh turun. Aroma petrichor tercium menyengat di hidungku. Aku suka kala tanah gersang terguyur hujan, aroma yang dihasilkan menenangkan jiwaku yang berantakan.

Derasnya hujan tak mengganggu aktivitasnya mengeluarkan satu per satu barang yang ia pandangi dengan hela nafas berat.

Aku benci dengan sendu yang muncul di wajahnya itu lagi.

Aku tidak tuli, tidak juga buta. Aku merasakan kesedihan yang tiba-tiba muncul darinya membuat hatiku ikut rasakan nelangsa. Kepalanya yang menunduk layu, bahu kokohnya yang bergerat dan isakannya yang tak mampu diredam hujan sekalipun, aku lihat dan aku dengar.

Jangan menangis!

Jangan membuatku ingin memelukmu;

Berhentilah menyakiti dirimu sendiri;

Relakan aku.

Aku tidak suka ketika kertas usang itu memanggil air matanya berlomba keluar. Mengapa ia masih menangisi goresan pudar yang lembarnya dipenuhi jejak basah itu?

Berapa kali air matanya jatuh menetes mengenai surat yang kutulis itu? Apa ia selalu menangis tiapkali membacanya?

Jangan buat aku menyesal pernah menulisnya. Aku mengirimkan surat itu padanya penuh harapan dan kebahagian. Bukan untuk dibaca dengan tangisan.

Aku ingin memeluknya, mengatakan padanya semua akan baik-baik saja, tapi aku tidak bisa.

Aku hanya bisa memperhatikannya memandang lautan, seolah menunggu seseorang datang dari ujung cakrawala sana. Aku hanya bisa menatap harapannya yang tak juga padam meski waktu telah banyak berlalu.

Sadarlah, ayo lanjutkan hidupmu. Jangan terbelenggu rasa bersalahmu atas aku.

Apa yang terjadi pada kita berdua itu bukan atas kesalahan siapapun. Semua yang terjadi sesuai keinginan semesta. Aku yang tergulung ombak dan kamu yang berhasil selamat. Itulah takdirnya.

Jangan membenci air laut yang katamu menyembunyikan aku, jangan biarkan celanamu dibasahi air asin itu jika saat pulang nanti kamu akan menangis tersedu. Serindu apapun padaku, jangan pernah berpikir untuk menemukan aku.

Ingat saja, meski aku tidak disisimu, aku akan tetap mendukungmu, akan tetap mencintaimu.

Hiduplah, dengan baik. Biarkan kepergianku menjadi kenangan usang yang membuatmu seimbang.

Aku yakin kamu segera temukan kebahagiaan.

Aku ingin kamu relakan, karena aku juga sama rindu ketenangan.

Sampai berjumpa, di kehidupan yang lebih baik.

ah, satu lagi. Buang krisan putih diatas meja kerjamu itu; kembalikan mawar merah yang sebelumnya ada disana.

***

“to love and to be loved; to cherish, to support; ‘till death do us apart.”

----

Tulisan ini juga diunggah di Medium - https://medium.com/@ndrenrea/tangerine-blue-sky-7810b173a1d7

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun