Tapi apa yang ia lakukan sekarang?
Mengapa ia diam saja meski betisnya ditelan lautan?
Seingatku ia tidak menyukai air laut. Meski aku tahu obsesinya pada pantai dan semua hal tentang lautan –aku sudah muak mendengar ocehannya tentang tujuh puluh satu persen bumi dikuasai air. Tapi sampai saat ini aku tidak mengerti alasan mengapa ia menghindari air asin tersebut.
Ia tidak akan sudi air laut menyentuh telapak kakinya. Kubilang ia penganut standar ganda, karena pasir lembab yang ada di bibir pantai ia izinkan masuk ke celah kuku kakinya. Lantas mengapa air laut tidak?
Aku juga selalu menjadi korban keanehannya itu. Ketika kami bermain di pantai, ia selalu berusaha menjauhkanku dari air asin itu, cardigan-ku ditarik agar aku berdiri di sebelanya menjauhin air.
Aku suka pantai –kami berdua suka pantai. Aku suka memotret sedang ia kolektor kamera. Gambar hasil tangkapanku selalu ia pamerkan di laman sosial medianya dengan caption yang selalu berhasil membuatku murka. Tapi laki-laki itu pandai berdalih. Katanya sebagai balas dari utang budi (sayangnya aku tidak peduli) karena aku bisa menangkap momen yang mengundang gemuruh hatinya.
-dan sebagai gantinya; aku menjadi yang pertama merasa, mencium dan menikmati bibit parfume baru hasil racikan tangannya.
“Kenapa kamu namain parfume ini lavender haze?” tanyaku.
Dan jawabannya membuat aku tak bisa berpaling dari botol kecil yang kini ada di genggaman tanganku. Dengan seribu pertanyaan yang tak bisa kuutarakan.
Ombak bergulung seolah menghipnotis kami agar menemuinya di tengah samudra. Angin pantai menerbangkan surai lembutnya hingga bergerak menghalangi pemandangan. Tapi ia tiada upaya untuk menghalau mereka menyamarkan rupa, karena dimataku ia selalu tampan bersahaja. Tatapannya yang tak berpaling dari sisiku membuat aku rasakan juga ketenangan, kenyamanan dan dukungan darinya, persis seperti yang ia katakan tadi.
‘Aku tidak takut meski ombak besar itu menyeretku ke tengah, lalu kami terpisah dan aku meninggalkannya sendirian di daratan ini.’