Ah, lagi-lagi tatapannya kosong. Langit kelabu, lautan keruh dan bayangku yang tak ada di bola matanya.
***
Ia mendatangi kedai kopi tempat biasa kami menikmati pengujung hari. Sambil ditemani secangkir latte di genggaman masing-masing. Asapnya mengepul, lagi-lagi diajak menari oleh sang angin, lalu tangannya akan berusaha menutupi cangkir itu, menjaga agar kehangatnya tak segera hilang.
Kita berdua menikmati debur ombak dengan latar belakang lukisan cakrawala yang dipoles beragam warna. Bulatan oranye yang sebentar lagi tenggelam, biru laut, hijau neon dan kuning jeruk; berpadu dengan gumpalan putih keabu-abuan.
Si pemilik kedai bertanya, “tumben dateng sendiri mas? si mbak-nya sibuk ya?”
Kulihat matanya bergerak acak, mulutnya terbuka seperti hendak berkata tapi tenggorokannya tercekat. Aku tahu dadanya pasti sesak apalagi ketika meliat dua cangkir latte tersaji dihadapannya.
Rekan-rekannya langsung membubarkan diri begitu meeting berakhir. Tetapi ia malah kembali ke ruang kerjanya. Ia kembali sendirian di ruangan yang gemas sekali ingin kurapikan.
Bagaimana mungkin ia betah berlama-lama di tempat yang menurutku tak jauh berbeda dengan gudang?
Bedanya gudang ini tidak ada bau busuk menyengat, melainkan bau wangi yang kini didominasi aroma mawar segar.
Kukira ia akan kembali meracik sendirian seperti yang biasa ia lakukan. Tapi ternyata ia malah meraih kotak hitam itu lagi. Ia letakan kotak itu diatas meja, permukaannya diusap begitu pelan. Aku berani bertaruh jika telapak tangannya kini dipenuhi debu halus yang menempel di kotak tersebut.
Bersamaan dengan dibukanya kotak hitam itu, hujan turun. Dari semula rintik kecil lama kelamaan menjadi deras. Jendela kaca mulai berembun dan bulir-bulir air berlabuh turun. Aroma petrichor tercium menyengat di hidungku. Aku suka kala tanah gersang terguyur hujan, aroma yang dihasilkan menenangkan jiwaku yang berantakan.