Mohon tunggu...
Andradika Fasya
Andradika Fasya Mohon Tunggu... Hoteliers - Hotlier yang suka nulis, hidup di Bali dan Brussels.... IG :@andfasya FB: Andadrika Fasya Syamun

hotelier yang suka nulis, hidup di Bali dan Brussels.... IG :@andfasya FB: Andadrika Fasya Syamun

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ibu Tiga Zaman #part 2

11 Januari 2025   09:30 Diperbarui: 11 Januari 2025   09:30 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

      Pardjo mendengarkan dengan hati tersentuh, matanya melihat tangan Maryati yang lembut menyentuh perutnya.

     "Kamu sedang hamil?" tanyanya dengan penuh empati sambil meletakan piringnya ke lantai.

Maryati hanya mengangguk sambil mengusap pipinya yang masih basah oleh air mata.

Suasana menjadi hening. Pardjo merenung sejenak, pandangannya mengarah ke langit-langit, lalu akhirnya dia berkata dengan penuh kehati-hatian, "Wes begini saja, aku akan ke rumah Pak Haji di seberang kampung. Aku akan katakan, sejujurnya, kalau aku mau melamar kamu untuk menikah."

           Pernikahan mereka berlangsung sederhana di kampung kecil mereka. Hanya beberapa tetangga  berkumpul untuk merayakan kebahagiaan dua jiwa yang bersatu. Meski tidak ada pesta mewah atau perayaan besar, senyum dan tawa dari para tetangga membuat hari itu menjadi momen yang tidak terlupakan. Meski keadaan negara sedang tidak menentu, dengan gejolak politik dan ekonomi yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan, cinta mereka tetap kuat.


        Tahun 1966, hampir satu tahun setelah pernikahan mereka, adalah tahun yang penuh dengan tantangan. Kondisi ekonomi yang sulit membuat kehidupan sehari-hari mereka tidak mudah. Pardjo bekerja keras menjual ubi dan singkong di pasar untuk mencukupi kebutuhan mereka. Maryati juga tidak tinggal diam, selain mengurus rumah, dia membantu Pardjo menjual dagangannya di rumah kontrakannya. Meskipun begitu, mereka selalu menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Mereka menikmati makan bersama, menceritakan impian-impian mereka tentang masa depan yang lebih baik. Cinta dan dukungan mereka satu sama lain menjadi kekuatan yang membuat mereka terus bertahan.

"Kita mungkin tidak memiliki banyak harta, tetapi kita memiliki cinta di antara kita. Itu lebih dari cukup." ucap Maryati kepada Pardjo saat sebelum mereka tidur malam

"Selama aku memiliki kamu di sisiku, aku bisa terus semangat dan siap menghadapi apapun." timpal Pardjo  

"Aku tahu keadaan belum baik, negara ini juga sedang tidak baik-baik, tapi aku yakin kita akan melewati ini semua" lanjut Pardjo.

"Aku percaya padamu, Mas. Bersama-sama, kita bisa menghadapi apapun." Maryati menoleh menatap Pardjo dengan mata penuh cinta.


       Pada tahun 1966 itu juga, walaupun kondisi negara masih carut marut, Pardjo dan Maryati menerima berkah besar dengan kelahiran seorang anak, bayi yang dikandung Maryati dari suami pertamanya. Namun, Pardjo dengan sepenuh hati menerima dan mencintai anak itu sebagai anaknya sendiri.

        Setelah proses persalinan yang melelahkan, Maryati berbaring di tempat tidur dengan bayi mungil di pelukannya. Pardjo duduk di sampingnya, memandang penuh cinta dan kebanggaan pada istri dan anak mereka. Maryati, dengan suara lelah namun bahagia, menoleh ke arah Pardjo dan bertanya, "Mas, siapakah nama yang baik untuk bayi perempuan ini?"

        Pardjo tersenyum lembut, matanya bersinar penuh kebahagiaan. Dia telah memikirkan nama yang indah selama beberapa waktu. Dengan suara penuh makna, dia menjawab, "Kita kasih nama Nurhayati saja, Dik. Artinya 'cahaya kehidupan'. Semoga dia membawa cahaya dan kehidupan yang lebih baik bagi kita."

"Nurhayati... nama yang indah sekali, Mas. Semoga dia benar-benar menjadi cahaya dalam kehidupan kita." Maryati tersenyum, matanya berkaca-kaca.

Dengan penuh kasih sayang, Pardjo membelai kepala kecil Nurhayati, melakukannya dengan penuh kelembutan. Di tengah kondisi yang sulit, kehadiran Nurhayati memberikan mereka harapan dan kebahagiaan yang baru. Bagi Pardjo dan Maryati, Nurhayati adalah simbol cinta, cahaya dan kehidupan masa depan yang cerah.


***

       Hari berganti hari, tahun berganti tahun, dan perlahan-lahan Indonesia mulai membenahi dirinya. Proses pemulihan dan perkembangan negara terasa nyata dalam berbagai sektor. Jalan-jalan diaspal, pasar-pasar mulai ramai dengan aktivitas, dan masyarakat merasakan perubahan yang positif.

       Saat itu, Nurhayati menginjak usia 7 tahun dan telah memulai perjalanan pendidikannya di sekolah dasar setempat. Senyum ceria selalu terpancar di wajahnya setiap pagi saat dia berangkat ke sekolah. Bagi Pardjo dan Maryati, melihat Nurhayati mengenakan seragam sekolah adalah kebanggaan yang tak terlukiskan, sebuah simbol dari masa depan yang lebih baik yang mereka impikan.

        Walaupun Pardjo tahu bahwa Nurhayati bukan anak kandungnya, rasa cinta dan sayangnya tidak sedikitpun berkurang. Dia merawat dan mencintai Nurhayati seolah-olah dia adalah darah dagingnya sendiri. Kebaikan hati Pardjo ini, membuat Maryati semakin mencintainya. Lelaki yang ditemuinya tanpa sengaja namun telah membawa begitu banyak kebahagiaan dan perubahan ke dalam hidupnya.

        Setiap pagi, sebelum berangkat ke pasar, Pardjo dengan setia mengantar Nurhayati ke sekolah dengan sepeda tuanya. Di sepanjang perjalanan, mereka bercanda dan tertawa, menikmati kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Pardjo selalu memastikan Nurhayati sampai dengan selamat dan memulai harinya dengan senyum, karena bagi Pardjo, kebahagiaan Nurhayati adalah yang terpenting. Maryati sering melihat mereka pergi bersama, Maryati sangat bersyukur memiliki Pardjo di sisinya. Cinta dan kebersamaan mereka adalah fondasi kuat yang membuat keluarga kecil mereka semakin harmonis di tengah perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekitar mereka.

         Dari perkembangan dan perubahan ekonomi di Indonesia saat itu, Pardjo dan Maryati merasakan dampaknya. Perekonomian mereka pun mulai membaik, seiring dengan kemajuan yang terjadi di sekitar mereka. Saat Nurhayati lulus SMA, keluarga mereka telah memiliki dua kios di pasar yang menjual buah-buahan. Sementara itu, Maryati tetap berjualan di rumah, dan usahanya semakin berkembang dengan menjual kebutuhan rumah tangga, sayur-mayur, dan buah-buahan.

         Nurhayati sering membantu ibunya di rumah, mengurus dan mengelola usaha keluarga. Keluarga mereka semakin makmur dan bahagia, berkat kerja keras dan kebersamaan yang selalu mereka jaga. Pardjo dan Maryati merasa bangga melihat putri mereka tumbuh menjadi sosok yang mandiri dan berbakti, menjadi cahaya kehidupan yang benar-benar menerangi hari-hari mereka.

     "Mas, sudah saatnya aku kembali ke kampungku di Depok. Aku rindu akan rumahku dan lingkunganku." kata Maryati suatu siang dengan penuh kerinduan

        Pardjo terkejut mendengarnya, menghentikan kegiatannya di tengah siang yang cerah. "Bukankah warga di kampung itu sudah mengusirmu, mengecammu, bahkan keluargamu tidak mengakuimu sebagai keluarga karena kamu pernah menjadi istri PKI," ujarnya dengan tegas.


     Maryati terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca memandang ke luar jendela, merenungkan kata-kata yang disampaikan Pardjo. Dia menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab, "Ya, Mas. Mereka mengusirku karena masa lalu itu. Tapi Depok tetap adalah bagian dari hidupku, bagian dari kenangan masa kecilku yang tak tergantikan."


       Pardjo melangkah mendekati Maryati dan duduk di dekatnya dengan penuh perhatian. Dengan suara lembut namun tegas, ia berkata, "Tidak perlu kembali ke kampung itu. Itu hanya akan membuka luka lama dalam dirimu lagi. Bukankah kita telah mengubur semua kenangan pahit itu bersama, dan membangun hidup baru bersama-sama?"

      "Kita telah melalui begitu banyak bersama, menghadapi segala rintangan dan membangun keluarga kita sendiri. Aku di sini untukmu, Dik. Kita bisa menciptakan kenangan yang baru, yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan." lanjut Pardjo menatap Maryati dengan serius, matanya penuh dengan ketulusan dan kehangatan.

      "Kamu tahu, aku selalu ada di sampingmu, Maryati. Tapi baiklah, Apapun yang kamu inginkan, aku akan turuti dan apapun yang terjadi, kita akan hadapi bersama-sama." lanjut Pardjo sambil mengelus lembut lengan Maryati dan menatapa istrinya dengan penuh kasih sayang. Maryati tersenyum, merasakan kehangatan dari ucapan Pardjo.

    Pardjo pun mendukung keputusan Maryati untuk pindah ke Depok dengan penuh keyakinan. Mereka bersama-sama melangkah maju untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di lingkungan baru mereka....Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun