[caption caption="Mengutuk anak?"][/caption]Salam sahabat Kompasiana^^.
Sebelumnya, izinkan penulis berkata; “Entah untuk yang ke berapa kalinya penulis begitu emosional bila ada yang membawa-bawa cerita Malin Kundang, yang ujung-ujungnya akan mengatakan; Tidak seharusnya seorang ibu mengutuk anaknya menjadi batu!”
Entah siapa yang harus disalahkan atas kesalahtanggapan soal legenda dari Ranah Minang tersebut. Tidak hanya tulisan, bahkan dari layar kaca – entah itu komedi, drama, dll – juga berkata serupa. Menggambarkan ibunda si Malin Kundang mengutuk sang anak menjadi batu.
Apakah kita terbiasa melihat saja tanpa melakukan yaa… semacam penyelidikan, mungkin?
Apa kita akan membiarkan saja media – entah apa pun itu jenisnya – memutarbalikkan legenda/cerita rakyat yang ada?
Coba ingat lagi tentang legenda Si Pahit Lidah dari Sumatera Selatan… di film, justru “digambarkan” Si Pahit Lidah lah orang baik sementara Raja Mata Empat adalah penjahat yang benar-benar memiliki tambahan dua mata di kepala belakangnya.
Padahal, legenda aslinya mengatakan justru Raja Mata Empat adalah orang baik, tidak memiliki empat bola mata, ia dinamakan begitu karena kesaktiannya, dan lagi… Raja Mata Empat adalah kakak dari Si Pahit Lidah. Dan Si Pahit Lidah lah penjahat sesungguhnya, yang telah membunuh – dalam hal ini mengubah orang-orang menjadi batu – bahkan menyebabkan kematian atas anak kandungnya sendiri.
Jadi, apa namanya ini? Pembodohan oleh media?
Begitu juga setiap kali ada orang yang mengatakan; ibu Malin Kundang adalah manusia yang tak memiliki nurani. Penulis akan mencoba langsung menanyakan hal tersebut dengan pertanyaan sederhana;
“Apa Anda sudah mendengar cerita asli Malin Kundang?”
Dan andai, jawabannya ia sudah membaca dari banyak cerita semenjak SD, maka akan penulis katakan, berarti Anda tidak tahu cerita aslinya.
Tentang Si Malin Kundang.
Malin Kundang sendiri, sebenarnya anak yang baik dan penurut, pekerja keras dan rajin. Tapi, itu hanya sampai ketika dia belum bertemu seorang perempuan – anak saudagar yang menjadi induk semangnya.
Dengan kata lain; Malin Kundang berubah seratus delapan puluh derajat semenjak mengenal wanita tersebut. Dan ya, perlu penulis beri tahu, jika saudagar itu berasal dari Tanah Jawa (maaf, penulis terpaksa menuliskan ini, bukan maksud berburuk sangka terhadap satu dan lain suku).
Lihat… dari sini sudah dapat dipetik pelajaran, bahwa; sikap baik dan terpuji seseorang sedari kecil, belum tentu akan membawa kebaikan lainnya di masa hadapan. Ini adalah poin penting pertama dalam legenda tersebut. Poin keduanya adalah, seperti ujar-ujar tua; Dunia bisa makmur karena wanita, dunia pun bias hancur karena wanita. Dan poin ketiganya; Tidak selamanya cinta akan membentukmu menjadi makhluk mulia.
Tentu saja “dunia” yang di maksud tidak saja bemakna harfiah, tapi juga bermakna pada; dunia kehidupan seorang laki-laki. Sekali lagi, penulis tidak bermaksud mendiskriminasikan sosok wanita.
Tentang 'Sumpah' Sang Ibu yang Menjadi Kontroversi.
Kembali penulis akan bertanya; “Sudahkah mendengar cerita asli Malin Kundang?” Jikalau sahabat sudah mendengarnya, pastilah sahabat akan tahu; jika ibu Malin Kundang tidak menyumpahi anaknya sebagaimana yang banyak “dikatakan” orang.
Sang ibu, yang kala itu mendengar kedatangan Malin Kundang – setelah belasan tahun tiada kabar berita – begitu bersuka cita. Bangga ada, haru apalagi, kerinduan… jangan ditanya. Bisa bayangkan posisi sahabat seperti keadaan ibu Malin Kundang tersebut?
Dan sang ibu berangkat ke tepian pantai sembari menenteng makanan kesukaan Malin Kundang – Palai Bada, dalam bahasa Indonesia; pepes ikan teri putih. Coba sahabat bayangkan itu, begitu besarnya cinta sang ibu yang tidak memiliki harta apa pun, tetapi masih menyempatkan diri membeli “bada” dan dimasak, semua demi anak.
Namun, apa yang didapat sang ibu?
Yaa, sama seperti cerita-cerita yang sahabat dengar. Sang ibu mendapat penolakan dari Malin Kundang, karena “faktor” sang istri. Akan tetapi yang tidak bahkan jarang sahabat dengar adalah “sumpahan” sang ibu yang dianggap sebagian besar orang sebagai; sumpah kutukan. Mari kita lewatkan di mana adegan sang ibu yang jauh lebih hina dari seorang pengemis mengiba keharibaan sang anak dan (seharusnya) juga sang menantu.
Kala Malin Kundang berlalu dari hadapan sang ibu, sang ibu berucap lirih dan liris – sila buka KBBI untuk mengetahui apa itu; liris.
“Den harok ka basuo jo anak tacinto, bacarito tantang indahnyo maso lalu… Tapi nan den tamui bukan anak den nan dahulu, malainkan saonggok batu nan mambisu.”
Yang kalau ditransletkan, akan menjadi; “Kuharap akan bertemu anak tercinta, bercerita tentang indahnya masa lalu… Tapi yang kutemui bukan anakku yang dahulu, melainkan seonggok batu yang diam membisu.”
Yang “sangat kebetulan” sekali, ucapan lirih dan liris dari sang ibu “didengarkan” oleh Tuhan.
Di sinilah letak poin penting selanjutnya, dan yang paling-paling-paling diwanti-wantikan Tuhan dalam berbagai firmannya di kitab suci. Murka Ilahi adalah murka ibu, ridho Ilahi adalah ridho ibu.
Terserah sahabat bagaimana menafsirkannya^^. Tapi, sekali lagi penulis katakan; ibu Malin Kundang tidak “menyumpahi” anaknya dengan kata-kata; “Kukutuk kau jadi batu!” Tidak pula; “Anak durhaka, kukutuk kau!”
Kenapa penulis “bersikeras” memberitahukan hal ini, tidak lain karena mengingat tidak banyak yang benar-benar mengetahui cerita aslinya, namun sudah “berani” mengatakan/mengambil kesimpulan sendiri.
Apa yang penulis “takutkan” adalah; “Kukutuk kau jadi batu”. Kalimat ini, akan berkesan dan terkesan bahwa;Kami orang Minang – khusunya kaum ibu – suka mengutuk anaknya. Sama seperti ujar-ujar/kameo yang berkembang di Jakarta ini yang mengatakan; Orang Minang itu pelit.
Lihatkan… Begitu bahayanya kalimat kameo yang oleh kita disepelekan saja, lihat dampaknya.
Padahal, baik-buruk seseorang – entah ia pelit, suka mengutuk, dsb – tidaklah tergantung/berdasarkan suku bangsanya. Tidak sama sekali. Itu semua tergantung/berdasarkan bagaimana Anda mendidik anak-anak Anda, dan lingkungannya.
Penulis tidak akan mengambil “perbandingan” dengan cerita rakyat lainnya di Nusantara ini yang nyata-nyata melakukan “kutukan” atas seseorang atau desa, dan lain sebagainya. Cukuplah kami – orang-orang Minang – saja yang “kenyang” dengan kameo tersebut.
“Cubitlah diri sendiri sebelum Anda mencubit orang lain.”
Akhirul kalam…
Selidik dahulu kebenaran, sebab pikir itu pelita hati.
Peace Be Upon To All of You^^.
---o0o---
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 17 Maret 2016.
Terima Kasih Admin Kompasiana^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H