Kenapa penulis “bersikeras” memberitahukan hal ini, tidak lain karena mengingat tidak banyak yang benar-benar mengetahui cerita aslinya, namun sudah “berani” mengatakan/mengambil kesimpulan sendiri.
Apa yang penulis “takutkan” adalah; “Kukutuk kau jadi batu”. Kalimat ini, akan berkesan dan terkesan bahwa;Kami orang Minang – khusunya kaum ibu – suka mengutuk anaknya. Sama seperti ujar-ujar/kameo yang berkembang di Jakarta ini yang mengatakan; Orang Minang itu pelit.
Lihatkan… Begitu bahayanya kalimat kameo yang oleh kita disepelekan saja, lihat dampaknya.
Padahal, baik-buruk seseorang – entah ia pelit, suka mengutuk, dsb – tidaklah tergantung/berdasarkan suku bangsanya. Tidak sama sekali. Itu semua tergantung/berdasarkan bagaimana Anda mendidik anak-anak Anda, dan lingkungannya.
Penulis tidak akan mengambil “perbandingan” dengan cerita rakyat lainnya di Nusantara ini yang nyata-nyata melakukan “kutukan” atas seseorang atau desa, dan lain sebagainya. Cukuplah kami – orang-orang Minang – saja yang “kenyang” dengan kameo tersebut.
“Cubitlah diri sendiri sebelum Anda mencubit orang lain.”
Akhirul kalam…