#2. Mermaid alias Putri Duyung
Salam Sahabat Kompasiana^^ .
Jumpa lagi dengan penulis (ekhemm…) dengan artikel yang bertujuan untuk mengingatkan—atau bahkan mengabarkan—soal mitologi yang ada di bumi Nusantara tercinta ini. Dan ini adalah artikel kedua dari penulis tentang hal mitologi Nusantara tersebut.
Artikel kedua ini, penulis ingin—sedikit—mengulik soal; Mermaid, atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama; Putri Duyung.
Mermaid dalam Mitologi Dunia.
Secara garis besar, Mermaid atau Putri Duyung digambarkan berwujud manusia—dalam hal ini wanita—dari kepala hingga ke pinggang, dan dari pinggang ke bawah berwujud ikan. Namun di sebagian wilayah di muka bumi, ada juga yang berwujud laki-laki, atau lebih dikenal dengan Merman alias Putra Duyung.
Mermaid berasal dari Bahasa Inggris Kuno (Mid-English) mere; yang berarti laut—merujuk kepada air. Dan maid; yang bermakna perempuan.
Mitos atau pun legenda soal si Mermaid ini hampir merata di seluruh penjuru bumi—kebudayaan. Mulai dari Timur Dekat—negara-negara Asia bagian barat daya—Eropa, Afrika, bahkan Asia—termasuk Indonesia.
Mermaid pertama kali muncul dalam kebudayaan Asiria Kuno—Dewi Atargatis. Bahkan, hingga sampai saat ini—terakhir kali kemunculannya di Israel, dan ini mendapat banyak tanggapan, baik pro maupun kontra. Selengkapnya, baca di sini…
Hingga tahun 2012, para ilmuan tidak dapat menemukan bukti nyata keberadaan Mermaid itu sendiri—selain dari cerita mulut ke mulut, atau kesaksian segelintir orang yang—mengaku—melihat namun tanpa bukti konkret yang dapat mendukung. Hingga, makhluk seperti Mermaid—Human-Animal Hybrids—dan lain sebagainya, digolongkan ke dalam Crypto yang berarti; yang tersembunyi. Atau, UMA—Unidentified Mysterious Animals.
Oke^^ cukup sampai di sana pembahasan si Mermaid, kalau masih penasaran silakan mengunjungi blog salah seorang Kompasianer, Ryan Mintaraga—Mitos Putri Duyung, Antara Masa Lalu dan Sekarang. Di sana, Mas Ryan membahas habis soal si Mermaid.
Nah… sekarang mari kita bahas soal si Putri Duyung. Lhaa, emang apa bedanya ma si Mermaid? Hahaha… tenang, kalo Mermaid, itu bule, nah kalo Putri Duyung berarti asli Indonesia doong, hee…
Putri Duyung, Origin of Indonesia.
Sejauh ini, ada dua cerita rakyat yang penulis ketahui—selain dua cerita lainnya yang akan penulis jabarkan setelahnya.
1. Wandiu Diu dari Sulawesi Tenggara.
Mungkin, cerita rakyat yang satu ini lebih tepatnya disebut; Asal-usul Putri Duyung. Diceritakan; seorang wanita yang memiliki tiga anak, namun memiliki suami bertemperamen buruk. Hingga sang wanita merasa hidupnya cukup menderita. Dan derita itu semakin bertambah kala anak bungsunya meminta lauk yang disimpan sang bapak. Karena kasihan, sang ibu memberikan lauk itu, sebab sang anak merengek tak berhenti. Sang suami yang mengetahui itu menjadi murka, marah besar.
Singkat cerita, sang ibu akhirnya memilih untuk “mengadukan” hidupnya pada laut. Tiga orang anaknya mencari di mana ibu mereka menghilang, saat tiba di tepian pantai, si sulung berteriak memanggil-manggil. Dan muncullah sang ibu dari dalam laut demi menyusui anak bungsunya.
2. Si Peminta Tumbal dari Tanjung Batu/Kundur.
Jika boleh penulis memberi pengandaian, Wandiu Diu adalah ujud Putri Duyung yang baik. Maka, Putri Duyung yang satu ini mungkin yang jahat, sebagaimana yang digambarkan oleh si Penjelajah Terkenal—Christopher Columbus.
Di Pulau Kundur - Tanjung Batu, Kepulauan Riau tersebut, diceritakan; jika ada warga yang berniat membangun satu pelabuhan atau dermaga, selalu diganggu oleh si Putri Duyung yang satu ini. Konon katanya, dia meminta tumbal terlebih dahulu untuk pembangunan itu. Entahlah, ini penulis ketahui saat penulis merantau di daerah itu.
Menurut beberapa orang tua—yang mengaku pernah melihat ujudnya—Putri Duyung di sana tidaklah cantik, atau baik rupanya. Lebih pada menakutkan.
-> Selain dua cerita rakyat di atas, penulis juga pernah mendengar cerita Putri Duyung yang juga berasal dari wanita—manusia, dari Tanah Jawa. Tapi sayangnya, penulis lupa dari daerah yang mana satu, atau pun kerajaan yang mana.
Diceritakan; seorang putri yang dipaksa menikah oleh orang tuanya hidup dengan bersusah hati. Sampai saat pernikahan, dan hujan turun dengan lebatnya, hingga terjadi banjir. Sang putri akhirnya membiarkan dirinya hanyut, saat mempelai pria dan keluarga mencari-cari sang putri, saat itulah sang putri menampakkan ujudnya ke permukaan.
Masih dengan mengenakan pakaiannya, sang putri mendekati orang tuanya, hanya saja, kain batik yang melilit tubuh bagian bawahnya telah menyatu dengan tubuh. Hingga, yang terlihat bukanlah kain ataupun kaki manusia, tapi ujud setengah ikan.
(Jika ada masukan lebih konkret soal cerita Putri Duyung dari Tanah Jawa ini, akan sangat penulis hargai sebagai pembelajaran bersama^^)
Putri Duyung dalam Pengalaman Pribadi.
Mungkin ada baiknya penulis katakan terlebih dahulu; lebih baik lewatkan saja bab yang ini, sebab ini akan terlihat/terbaca sebagai satu kisah imajinasi dari penulis sendiri. Untuk itu, bila tidak berkenan, silakan di-skip saja^^. Namun, bila penasaran—soalnya ada beberapa orang yang penulis ketahui sangat penasaran—silakan simak cerita di bawah ini.
Tahun 1995, kala itu penulis masih duduk di bangku SMP kelas 2. Baru memasuki catur wulan pertama—saat itu sistem pendidikan memakai cawu bukan semester, beberapa minggu sebelum perayaan 50 tahun Indonesia Emas. Hari apa, penulis sungguh lupa, tapi itu antara hari senin, selasa, rabu, atau kamis. Soalnya, kala itu kami—murid-murid—mengenakan baju putih-biru. Sementara hari jumat mengenakan baju Teluk Belanga—di Jakarta kayaknya lebih dikenal dengan Baju Koko—dan sabtu mengenakan pramuka. Jadi, penulis cukup yakin antara hari senin hingga kamis itu kejadiannya.
Penulis bersekolah di SMPN-01 Tanjung Mutiara, Tiku – Sumatera Barat. Bangunan sekolah kami berada sangat dekat dengan bibir pantai, hanya dipisah muara selebar 20-40m, saja. Dan di Pasie itu juga tempat berlangsungnya bongkar-muat kapal-kapal ikan ataupun sampan-sampan nelayan. Pasie berarti pasir, namun kata itu digunakan penduduk setempat untuk merujuk; pantai.
Pagi itu, baru memasuki pelajaran jam pertama, kami mendengar sorakan/teriakan beberapa orang dari arah pantai. Kurang-lebih berbunyi seperti ini;
“Bagan dapek Duyuang, bagan dapek Duyuang…”
(Bagan—kapal besar penangkap ikan yang sisi kiri-kanannya memiliki sayap—dapat Duyung, bagan dapat Duyung…)
Awalnya, kami yang mendengar suara-suara itu beranggapan duyung yang tertangkap itu adalah mamalia laut yang bernama sama; Duyung atau Dugong. Jadi, penulis dan kawan-kawan tidak terlalu menganggap teriakan tersebut, begitu juga dengan guru yang sedang mengajar.
Namun sepertinya kehebohan di pantai semakin intens, hingga sejumlah murid dan guru dari kelas berbeda juga ikutan berteriak yang sama. Mau tidak mau, tentu saja hal tersebut membuat penasaran bagi yang lain. Penulis dan teman-teman juga guru segera saja berlarian ke arah pantai.
Di pantai, telah banyak orang-orang yang berkerumun, mengitari sesuatu. Saat itu, kondisi laut sedang pasang bebani—kondisi di mana air laut tidak pasang tidak pula surut, sehingga permukaan laut tidak terlalu bergelombang dan biasanya menjadi sangat jernih. Biasanya, terjadi sekali dalam sebulan.
Dalam kondisi itu, kedalaman muara tidaklah terlalu dalam, hanya sebatas lutut. Sehingga dengan mudah kami menyeberang menuju keramaian di pantai.
Sesampainya di tengah keramaian, ternyata bukan duyung si mamalia laut yang tertangkap kapal bagan tersebut, melainkan benar-benar Putri Duyung. Bahkan, penulis langsung saja merangsek mengambil posisi sangat dekat dengan makhluk indah tersebut.
Sungguh, itu pengalaman luar biasa yang tak terhingga, sejak kecil, penulis selalu suka dengan dunia fauna—biologi, dsb. Hingga, penulis memberanikan diri menyentuh pinggul si Putri Duyung dengan jari. Siapalah tahu, mungkin saja itu hasil karya seni entah oleh siapa, meskipun tahun itu rasa-rasanya tidak atau belum ada alat untuk membuat karya seni seindah itu.
Saat jari penulis menyentuh sisi pinggulnya, ternyata itu benar-benar sisik—sebagaimana sisik ikanmas, namun dengan ukuran sisik lebih lebar dan besar—berlendir, dan amis sebagaimana ikan.
Mungkin, ini mungkin, karena tidak pernah terpapar sinar matahari secara langsung, hingga si Putri Duyung terlihat megap-megap, sulit untuk bernapas. Dan lagi, ia tidak mengenakan apa pun untuk menutupi payudaranya. Oleh karena yang menyaksikan itu tua-muda, besar-kecil, pria dan wanita, para anak-ula (bahasa Indonesianya; anak-ular, adalah istilah untuk ABK) menutupi payudara si Putri Duyung dengan rambut hitamnya yang panjang—kira-kira sepinggul jika dia memiliki kaki.
Jika boleh penulis ungkapkan, hingga sekarang, tidak ada satu pun wanita secantik itu. Kulit kuning langsat, mata besar hitam dengan bulu mata tebal lentik, begitu juga dengan alisnya. Wajah oval, hidung kecil tapi runcing, bibir merah tipis. Sungguh, dari pinggang ke atas bentuknya tak ubah gadis remaja yang sangat cantik, sedang dari pinggang ke bawah—pas di bawah pusar—berbentuk ikan dengan warna hijau muda terang kekuningan. Hmm… seperti warna hijau stabilo.
Coba tebak?
Ternyata bukan hanya Putri Duyung saja, tapi ada juga Putra Duyungnya. Sayangnya, yang pria hanya mengawasi kami dari sisi kapal—lebih-kurang 30m ke arah laut. Jadi, penulis kurang bisa mengingat wajah Putra Duyung itu, lagi pula ia hanya menampakkan kepalanya saja.
Menurut cerita sang kapten kapal—yang kebetulan adalah Abang sepupu penulis, Bang Iwir. Dan kapalnya atau bagannya diberi nama; Bagan Si Api-api—mengambil nama salah satu daerah penghasil ikan laut terbanyak di Riau. Menurut Bang Iwir, malam tiga hari sebelumnya saat mereka berangkat melaut, mereka tidak mendapat seekor ikan pun, walau bahkan hampir mencapai wilayah Mentawai.
Karena—sudah menjadi kebiasaan—perbekalan yang hanya untuk tiga hari hampir habis, Bang Iwir memerintahkan abk-nya untuk putar balik saja, sebelum terlalu jauh ke laut lepas, bisa-bisa kehilangan arah. Saat itu, penulis sangat yakin tidak ada nelayan di Tiku yang menggunakan kompas alih-alih GPS, mereka hanya mengandalkan ilmu kuno, membaca letak bintang. Dan sama diketahui bila pantai barat Sumatera adalah laut lepas, sebagaimana pantai selatan di Jawa.
Karena kesal tidak mendapat tangkapan—padahal biaya hidup tiga hari di laut itu cukup mahal—Bang Iwir membiarkan saja abk-nya tetap menurunkan wariang—jaring, meski haluan bagan menuju pelabuhan.
Di sekitar Pulau Tengah dan Pulau Ujung, jaring yang terus terbentang di bawah laut seperti tersangkut atau menjaring sesuatu yang besar. Hingga, para abk bergegas untuk menaikkan jaring tersebut. Namun, alangkah kagetnya mereka ternyata yang mereka dapat adalah sepasang duyung—Putra dan Putri Duyung.
Mungkin, karena kodrat laki-laki lebih kuat dari wanita, hingga Putra Duyung akhirnya bisa terlepas, dan tertinggallah Putri Duyung yang masih meronta. Namun, hingga bagan berlabuh sang Putra Duyung tetap mengikuti bagan yang membawa Putri Duyung. Anehnya, sebelum kapal berlabuh, Bang Iwir tiba-tiba diserang kantuk yang teramat, hingga tertidur di atas bagan. Bahkan sampai Putri Duyung diturunkan abk ke tepian, Bang Iwir tetap saja tertidur.
Putri Duyung itu ditempatkan para abk di atas lapik—tikar—dari anyaman daun nyiur yang biasanya digunakan penduduk untuk menjemur ikan.
Ada yang unik dengan Putri Duyung tersebut, sisik-sisik di tubuhnya, sirip-sirip halus yang tumbuh juga di punggungnya, hingga ke sirip ekor, selalu berbunyi gemericik setiap dia bergerak. Tapi, dia terlihat lemah, mungkin kepanasan. Dan yang anehnya, bentuk sirip ekornya tidak sebagaimana gambaran yang banyak bertebaran. Yakni ekor dayung, ekor yang menyerupai Lumba-lumba atau Paus, bukan. Di mata penulis kala itu, ekor tersebut lebih mirip ekor gunting, sebagaimana yang dimiliki oleh ikanmas.
Sementara Bang Iwir masih tertidur di atas bagan, kami menikmati keindahan makhluk mengagumkan itu, dan sang Putra Duyung terus saja mengawasi kami dari perairan, selah-olah meminta—mungkin saja—pasangannya untuk dikembalikan.
Sayangnya, keberadaan Putri Duyung tersebut tidak sampai sepuluh menit di daratan. Bang Iwir yang tertidur tiba-tiba terbangun sambil berteriak kencang.
Menurut Bang Iwir—tentu saja penulis mengetahuinya setelah berada di rumah—Bang Iwir dalam tidurnya didatangi si Putra Duyung, padahal kala itu si Putra Duyung tengah berenang mengawasi kami di tepian.
Dalam mimpinya, si Putra Duyung meminta Bang Iwir untuk memerintahkan abk-nya melepas si Putri Duyung. Lebih-kurang seperti ini;
“Tologlah Angku lapehkan pasangan ambo tu. Kalau inyo diambiak, ambo jo sia lai?”
(Tolonglah Angku—sebutan takzim bagi laki-laki dewasa—lepaskan pasangan saya itu. Jikalau dia diambil, saya harus dengan siapa lagi?)
Hanya itu, dan Bang Iwir terbangun sambil berteriak, lantas dari atas kapal Bang Iwir berteriak lagi ke arah kami—lebih tepatnya kepada abk-nya.
“Hoii, alah tu, lapehkan lah baliau tu, baeko cilako awak dek e. Lapehkan…!”
(Hoii, sudah cukup, lepaskan saja beliau itu, ntar bisa celaka kita karenanya. Lepaskan…!)
Yaa, akhirnya, itu tadi. Tidak sampai sepuluh menit “kebersamaan” kami dengan si Putri Duyung, para abk kembali mengangkat tubuh si Putri Duyung membawanya kembali ke air. Begitu sampai di kedalaman sepinggang, makhluk cantik itu seolah menemukan dunianya. Ia membenamkan diri, kemudian muncul lagi, berenang mendekati sang Putra Duyung yang juga mendekatinya. Dan penulis sangat yakin sekali, semua orang kala itu sama melihat keduanya tersenyum.
Kemudian, keduanya memandang ke arah kami yang bengong saja memandang mereka berdua. Baik Putri juga Putra Duyung sama melambaikan tangan pada kami. Konyolnya lagi, entah kenapa kami semua justru balas melambai ke arah keduanya.
Dan setelah itu mereka menghilang. Hingga sekarang, tak lagi terdengar keberadaan mereka.
Namun ada keajaiban yang terjadi pada Abang sepupu penulis tersebut. Setelah kejadian itu, selama tiga kali pelayaran berturut-turut, bagan Bang Iwir selalu mendapat hasil tangkapan yang boleh dibilang luar biasa melimpah. Bayangkan, dari hasil tiga kali pelayaran itu, Bang Iwir bisa membeli mobil pick-up L300, dan dua motor Hondapro kala itu.
Entah itu ada hubungannya dengan sikap baik Bang Iwir yang akhirnya melepaskan sang Putri Duyung, atau ada pengaruh lain, entahlah… yang jelas, kebaikan pasti berbuah kebaikan pula.
Sayangnya, entah kenapa kala itu tidak ada yang berpikiran untuk mengabadikan itu semua dengan foto. Yaa, akan lain ceritanya bila itu terjadi di zaman sekarang, di mana narsis menjadi hal yang mutlak, dan itu berarti gadget canggih, kamera digital, dll. Dulu, itu semua belum ada. Kamera aja masih yang model jadul, menggunakan klise/film—pakai diputar pulak bila habis diklik. Itu pun setiap nelayan setempat belum tentu punya.
Hahh… seandainya…
Oh iya, meski sampai sekarang penulis masih “merekam” wajah dan bentuk sang Putri Duyung dalam ingatan, namun penulis tidak bisa menggambarkan/melukiskan secara tepat kecantikannya, mungkin karena bukan pelukis handal hahaha. Tapi, bentuk tubuhnya kurang lebih seperti gambar ilustrasi yang penulis buat di atas^^.
Sedikit hal tentang kebiasaan masyarakat di kampung penulis itu. Dibilang mereka percaya hal-hal mistis, iya. Tapi tidak ada yang terlalu mengacuhkan hal-hal demikian. Pernah suatu hari, penulis memancing di sungai dan mendapat seekor ikan gabus (bahasa di sana; Kiuang, atau Rutiang) dan itu cukup besar—lebih besar dari paha penulis kala itu. Seorang tua yang penulis temui di tepian sungai itu berkata; “Lepaskan saja, sebab, mungkin itu penunggu,”
Intinya, dalam hal menangkap/memancing ikan contohnya, jika yang didapat itu lebih besar dari ukuran normalnya, maka mereka akan melepaskannya kembali. Bayangkan jika tim Mancing Mania, yang mendapatkan ikan tersebut. Jelas mereka akan bersorak girang sambil bilang; “Monster, mantap…!”
Entah sikap penduduk itu adalah bentuk kearifan lokal—dalam hal ini menjaga kelestarian ikan-iakan di sungai—atau ada hal lain. Entahlah.
Bagaimana, sahabat? Bukankah itu terdengar seperti cerita yang sengaja dirangkai demi tujuan tertentu?^^ But, I see what I see. Believe it or not, it’s depending on your mind. Yaa, mungkin saja sahabat akan berkata; ahh, itu imajinasi kamu aja yang kelewat tinggi.
Mungkin juga^^. Tapi, itu imajinasi dan mimpi terindah yang penulis dapat dari Sang Penguasa Keindahan. Dan juga, setiap kali penulis menceritakan kisah ini kepada saudara-saudara Nusantara dari Indonesia Timur, mereka justru menanggapi seolah melihat Putri Duyung itu adalah sesuatu yang biasa. Terutama bagi nelayan dan pelaut dari Indonesia Timur tersebut. Waallahu a’lam.
Sejatinya, manusia akan mempercayai/meyakini sesuatu jika ia sudah melihatnya dengan mata kepala sendiri, bukan dari cerita bukan pula dari kabar tak berbukti^^.
Tapi, jika sahabat bertanya kepada penulis; Apakah Putri Duyung itu nyata? Maka, penulis akan menjawab; Hell, yeah.
Jadi… sebelum jauh mengagumi si Mermaid bule, ada baiknya bukan, mengagumi Putri Duyung? The Origin Mermaid from Indonesia^^.
Jumpa lagi di artikel ketiga, dengan mitologi lainnya.
Salam Indahnya Negeriku.
Dari berbagai sumber.
TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.
Ando Ajo, Jakarta 03 Desember 2015.
Sumber ilustrasi; koleksi pribadi.
Terima Kasih Admin Kompasiana^^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H