Namun sepertinya kehebohan di pantai semakin intens, hingga sejumlah murid dan guru dari kelas berbeda juga ikutan berteriak yang sama. Mau tidak mau, tentu saja hal tersebut membuat penasaran bagi yang lain. Penulis dan teman-teman juga guru segera saja berlarian ke arah pantai.
Di pantai, telah banyak orang-orang yang berkerumun, mengitari sesuatu. Saat itu, kondisi laut sedang pasang bebani—kondisi di mana air laut tidak pasang tidak pula surut, sehingga permukaan laut tidak terlalu bergelombang dan biasanya menjadi sangat jernih. Biasanya, terjadi sekali dalam sebulan.
Dalam kondisi itu, kedalaman muara tidaklah terlalu dalam, hanya sebatas lutut. Sehingga dengan mudah kami menyeberang menuju keramaian di pantai.
Sesampainya di tengah keramaian, ternyata bukan duyung si mamalia laut yang tertangkap kapal bagan tersebut, melainkan benar-benar Putri Duyung. Bahkan, penulis langsung saja merangsek mengambil posisi sangat dekat dengan makhluk indah tersebut.
Sungguh, itu pengalaman luar biasa yang tak terhingga, sejak kecil, penulis selalu suka dengan dunia fauna—biologi, dsb. Hingga, penulis memberanikan diri menyentuh pinggul si Putri Duyung dengan jari. Siapalah tahu, mungkin saja itu hasil karya seni entah oleh siapa, meskipun tahun itu rasa-rasanya tidak atau belum ada alat untuk membuat karya seni seindah itu.
Saat jari penulis menyentuh sisi pinggulnya, ternyata itu benar-benar sisik—sebagaimana sisik ikanmas, namun dengan ukuran sisik lebih lebar dan besar—berlendir, dan amis sebagaimana ikan.
Mungkin, ini mungkin, karena tidak pernah terpapar sinar matahari secara langsung, hingga si Putri Duyung terlihat megap-megap, sulit untuk bernapas. Dan lagi, ia tidak mengenakan apa pun untuk menutupi payudaranya. Oleh karena yang menyaksikan itu tua-muda, besar-kecil, pria dan wanita, para anak-ula (bahasa Indonesianya; anak-ular, adalah istilah untuk ABK) menutupi payudara si Putri Duyung dengan rambut hitamnya yang panjang—kira-kira sepinggul jika dia memiliki kaki.
Jika boleh penulis ungkapkan, hingga sekarang, tidak ada satu pun wanita secantik itu. Kulit kuning langsat, mata besar hitam dengan bulu mata tebal lentik, begitu juga dengan alisnya. Wajah oval, hidung kecil tapi runcing, bibir merah tipis. Sungguh, dari pinggang ke atas bentuknya tak ubah gadis remaja yang sangat cantik, sedang dari pinggang ke bawah—pas di bawah pusar—berbentuk ikan dengan warna hijau muda terang kekuningan. Hmm… seperti warna hijau stabilo.
Coba tebak?
Ternyata bukan hanya Putri Duyung saja, tapi ada juga Putra Duyungnya. Sayangnya, yang pria hanya mengawasi kami dari sisi kapal—lebih-kurang 30m ke arah laut. Jadi, penulis kurang bisa mengingat wajah Putra Duyung itu, lagi pula ia hanya menampakkan kepalanya saja.
Menurut cerita sang kapten kapal—yang kebetulan adalah Abang sepupu penulis, Bang Iwir. Dan kapalnya atau bagannya diberi nama; Bagan Si Api-api—mengambil nama salah satu daerah penghasil ikan laut terbanyak di Riau. Menurut Bang Iwir, malam tiga hari sebelumnya saat mereka berangkat melaut, mereka tidak mendapat seekor ikan pun, walau bahkan hampir mencapai wilayah Mentawai.