Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Origin of Indonesia (Bertemu Putra dan Putri Duyung)

3 Desember 2015   22:58 Diperbarui: 4 Desember 2015   07:45 2369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena—sudah menjadi kebiasaan—perbekalan yang hanya untuk tiga hari hampir habis, Bang Iwir memerintahkan abk-nya untuk putar balik saja, sebelum terlalu jauh ke laut lepas, bisa-bisa kehilangan arah. Saat itu, penulis sangat yakin tidak ada nelayan di Tiku yang menggunakan kompas alih-alih GPS, mereka hanya mengandalkan ilmu kuno, membaca letak bintang. Dan sama diketahui bila pantai barat Sumatera adalah laut lepas, sebagaimana pantai selatan di Jawa.

Karena kesal tidak mendapat tangkapan—padahal biaya hidup tiga hari di laut itu cukup mahal—Bang Iwir membiarkan saja abk-nya tetap menurunkan wariang—jaring, meski haluan bagan menuju pelabuhan.

Di sekitar Pulau Tengah dan Pulau Ujung, jaring yang terus terbentang di bawah laut seperti tersangkut atau menjaring sesuatu yang besar. Hingga, para abk bergegas untuk menaikkan jaring tersebut. Namun, alangkah kagetnya mereka ternyata yang mereka dapat adalah sepasang duyung—Putra dan Putri Duyung.

Mungkin, karena kodrat laki-laki lebih kuat dari wanita, hingga Putra Duyung akhirnya bisa terlepas, dan tertinggallah Putri Duyung yang masih meronta. Namun, hingga bagan berlabuh sang Putra Duyung tetap mengikuti bagan yang membawa Putri Duyung. Anehnya, sebelum kapal berlabuh, Bang Iwir tiba-tiba diserang kantuk yang teramat, hingga tertidur di atas bagan. Bahkan sampai Putri Duyung diturunkan abk ke tepian, Bang Iwir tetap saja tertidur.

Putri Duyung itu ditempatkan para abk di atas lapik—tikar—dari anyaman daun nyiur yang biasanya digunakan penduduk untuk menjemur ikan.

Ada yang unik dengan Putri Duyung tersebut, sisik-sisik di tubuhnya, sirip-sirip halus yang tumbuh juga di punggungnya, hingga ke sirip ekor, selalu berbunyi gemericik setiap dia bergerak. Tapi, dia terlihat lemah, mungkin kepanasan. Dan yang anehnya, bentuk sirip ekornya tidak sebagaimana gambaran yang banyak bertebaran. Yakni ekor dayung, ekor yang menyerupai Lumba-lumba atau Paus, bukan. Di mata penulis kala itu, ekor tersebut lebih mirip ekor gunting, sebagaimana yang dimiliki oleh ikanmas.

Sementara Bang Iwir masih tertidur di atas bagan, kami menikmati keindahan makhluk mengagumkan itu, dan sang Putra Duyung terus saja mengawasi kami dari perairan, selah-olah meminta—mungkin saja—pasangannya untuk dikembalikan.

Sayangnya, keberadaan Putri Duyung tersebut tidak sampai sepuluh menit di daratan. Bang Iwir yang tertidur tiba-tiba terbangun sambil berteriak kencang.

Menurut Bang Iwir—tentu saja penulis mengetahuinya setelah berada di rumah—Bang Iwir dalam tidurnya didatangi si Putra Duyung, padahal kala itu si Putra Duyung tengah berenang mengawasi kami di tepian.

Dalam mimpinya, si Putra Duyung meminta Bang Iwir untuk memerintahkan abk-nya melepas si Putri Duyung. Lebih-kurang seperti ini;

“Tologlah Angku lapehkan pasangan ambo tu. Kalau inyo diambiak, ambo jo sia lai?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun