Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Origin of Indonesia (Bertemu Putra dan Putri Duyung)

3 Desember 2015   22:58 Diperbarui: 4 Desember 2015   07:45 2369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diceritakan; seorang putri yang dipaksa menikah oleh orang tuanya hidup dengan bersusah hati. Sampai saat pernikahan, dan hujan turun dengan lebatnya, hingga terjadi banjir. Sang putri akhirnya membiarkan dirinya hanyut, saat mempelai pria dan keluarga mencari-cari sang putri, saat itulah sang putri menampakkan ujudnya ke permukaan.

Masih dengan mengenakan pakaiannya, sang putri mendekati orang tuanya, hanya saja, kain batik yang melilit tubuh bagian bawahnya telah menyatu dengan tubuh. Hingga, yang terlihat bukanlah kain ataupun kaki manusia, tapi ujud setengah ikan.

(Jika ada masukan lebih konkret soal cerita Putri Duyung dari Tanah Jawa ini, akan sangat penulis hargai sebagai pembelajaran bersama^^)

Putri Duyung dalam Pengalaman Pribadi.

Mungkin ada baiknya penulis katakan terlebih dahulu; lebih baik lewatkan saja bab yang ini, sebab ini akan terlihat/terbaca sebagai satu kisah imajinasi dari penulis sendiri. Untuk itu, bila tidak berkenan, silakan di-skip saja^^. Namun, bila penasaran—soalnya ada beberapa orang yang penulis ketahui sangat penasaran—silakan simak cerita di bawah ini.

Tahun 1995, kala itu penulis masih duduk di bangku SMP kelas 2. Baru memasuki catur wulan pertama—saat itu sistem pendidikan memakai cawu bukan semester, beberapa minggu sebelum perayaan 50 tahun Indonesia Emas. Hari apa, penulis sungguh lupa, tapi itu antara hari senin, selasa, rabu, atau kamis. Soalnya, kala itu kami—murid-murid—mengenakan baju putih-biru. Sementara hari jumat mengenakan baju Teluk Belanga—di Jakarta kayaknya lebih dikenal dengan Baju Koko—dan sabtu mengenakan pramuka. Jadi, penulis cukup yakin antara hari senin hingga kamis itu kejadiannya.

Penulis bersekolah di SMPN-01 Tanjung Mutiara, Tiku – Sumatera Barat. Bangunan sekolah kami berada sangat dekat dengan bibir pantai, hanya dipisah muara selebar 20-40m, saja. Dan di Pasie itu juga tempat berlangsungnya bongkar-muat kapal-kapal ikan ataupun sampan-sampan nelayan. Pasie berarti pasir, namun kata itu digunakan penduduk setempat untuk merujuk; pantai.

Pagi itu, baru memasuki pelajaran jam pertama, kami mendengar sorakan/teriakan beberapa orang dari arah pantai. Kurang-lebih berbunyi seperti ini;

“Bagan dapek Duyuang, bagan dapek Duyuang…”

(Bagan—kapal besar penangkap ikan yang sisi kiri-kanannya memiliki sayap—dapat Duyung, bagan dapat Duyung…)

Awalnya, kami yang mendengar suara-suara itu beranggapan duyung yang tertangkap itu adalah mamalia laut yang bernama sama; Duyung atau Dugong. Jadi, penulis dan kawan-kawan tidak terlalu menganggap teriakan tersebut, begitu juga dengan guru yang sedang mengajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun