Dua keistimewaan  Ibrahim menurut Al-Quran. Pertama, sebagai orang yang menolak penyembahan berhala (musyrik) dan membangun monoteisme dalam rangka reformasi kultus Ka'bah (Al-An'am ayat 75-83). Mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu yang bukan Tuhan (berhala mati) adalah dosa syirik yang sangat serius (pelakunya disebut musyrik).
Nabi Ibrahim menunjukkan "jalan yang lurus" (Maryam 43), "agama yang benar" (Al-An'am 79), teladan dalam menentang penyembahan berhala dan mengabdi pada satu Tuhan saja. "Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)" (Ali Imran 33).
Kedua, sebagai teladan dalam hal ketaatan kepada Allah (Al Baqarah 135;). Ketaatannya yang sempurna membuat Ibrahim disebut hanif (lurus) dan muslim (taat kepada Allah). Ia pun disebut Khalil (kesayangan) Allah (An-Nisa 125). Serta mendapat predikat sebagai seorang Imam (An-Nahl 120). Bahkan Rasulullah Muhammad diperintahkan mengikuti Millah (Ajaran) Ibrahim ( Al-An'am 161; An-Nahl 123).
Muncul istilah "Millah Ibrahim (Abraham)" sinonim Din Islam, din yang benar (Al Baqarah 130, 132). Menurut Hamka, "mereka yang telah sampai kepada taraf penyerahan diri kepada Allah, dalam penyerahan dirinya itu dia telah mencapai Islam.
Klaim Eksklusivisme
Dalam Tradisi Yahudi dan Nasrani perjanjian (kovenan) antara Allah dan Abraham diimani sebagai salah satu warisan eksklusif bagi mereka. Dari seluruh anak cucu Abraham, hanya Ishaq dan keturunannyalah yang akan mewarisi perjanjian dengan Allah.
Eksklusifitas pewarisan ini semakin mengkerucut ketika dinyatakan bahwa pewarisan atas perjanjian tersebut tidak diberikan kepada anak sulung Ishaq, Esau, demi mendukung putra mudanya Yaqub, (Kejadian 25: 19-34). Dan saat nama Yaqub diubah oleh Allah menjadi Israel, (Kejadian 32:28) yang menempatkannya sebagai bapak-moyang garis keturunan biologis dua belas suku Israel, maka eksklusifitas pewarisan tersebut lalu diklaim sebagai hanya milik Bani Israel.
Rousseau mengatakan bahwa sikap eksklusivisme agama seperti ini, dimulai dalam sejarah manusia oleh Keyahudian dengan monoteisme dalam diri Yahwehnya (YHWH). Pandangan Gereja extra ecclesia nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) adalah contoh yang sangat nyata.
Nampaknya hal serupa juga terjadi dalam agama Islam seperti ungkapan innad- diina ingdallohil-islam. (Sesungguhnya diin (agama yang diridhoi) disisi Allah hanyalah Islam (Ali Imran 19). Dengan tafsiran tersebut, orang Islam mengklaim agamanya sebagai paling otentik. "Barang siapa mencari din selain al-islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima amal ibadahnya, (Ali Imran 85).
Penyakit spiritual yang menyuburkan kebencian, merupakan  buah  dari  sikap  interaksi superior-inferior.  Tiap-tiap  dari  ketiga agama Abrahamik  mengklaim dirinya sebagai yang lebih unggul,  dengan demikian masing-masing membentengi diri sembari  memproklamirkan ajaran mereka  sebagai  satu-satunya  jalan  keselamatan. Oleh karenanya doktrin eksklusvisme harus ditinjau ulang.
Sengketa Teologis Yang Harus Diakhiri