Mohon tunggu...
Andi Zulfitriadi
Andi Zulfitriadi Mohon Tunggu... Penulis - Aktivis Lintas Iman, Pegiat Spritual dan Perdamaian

Rasional, Ilmiah dan Alamiah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Trialog Dialektis Abrahamik, Sebuah Perjumpaan Inklusif

9 Mei 2020   23:45 Diperbarui: 9 Mei 2020   23:39 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (tauhid) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang kita abdi kecuali Allah dan tidak ada yang kita persekutukan dengan Dia dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri, tunduk patuh (kepada Allah)".(Ali 'Imran 64).

Para Rasul Allah senantiasa mengajak ummatnya dan kaum   agama lainnya untuk berdialog dalam mewartakan wahyu-Nya.   Kitab   Injil, misalnya,  banyak  mengisahkan  bagaimana  Yesus (Nabi Isa)  sering berdialog  tentang  berbagai  hal  dengan  murid-muridnya, kaum Yahudi,  murid-murid Yohanes Pembaptis, dan para imam   kepala  dari  kaum   Saduki  dan  Farisi.

Al-quran  menempatkan  kaum Yahudi   dan   Nasrani   sebagai   Ahli   Kitab   yang   harus dihormati  dan  selalu mengajak  mereka berdialog dengan cara yang terbaik. Tetapi, sepanjang perjalanan sejarah, hubungan yang baik itu kerap kali telah menjadi sumber berbagai kesalah pahaman, kebencian dan sengketa teologis. Hubungan keagamaan mereka telah dibentengi oleh teologi kebencian yang diperparah dengan dukungan tafsir-tafsir "provokatif' dari masing-masing  ulama, imam,  atau juru  agama.

Ketiga agama Abrahamik menampilkan  diri  sebagai  wahyu terakhir  dari  Tuhan   (YHWH;  God;  Allah);  dan  olehnya itu  adalah  kewajiban  mereka  untuk  mengajak  orang  lain untuk  mengikuti  agamanya.

Anton Wessels dalam rangka trialog kitab suci ketiga agama tersebut memakai tema dua kota (Babel versus Yerusalem dan Mekkah versus Madinah). Hans Kng melihat kemungkinan Kubah Batu (Kubah Shakrah) sebagai tempat berdoa ketiga agama tersebut dan menggagas sebuah doa ekumenis, sebagai tanda kesatuan ekumenis-abrahamik.

Lebih lanjut berdasarkan banyak kesamaan di antara ketiga agama tersebut, Kng yakin Abraham bisa menjadi "titik berangkat sangat realistis" untuk proyek ekumenis-abrahamik, bahkan untuk sebuah gerakan monoteisme global.

Abraham dicitrakan mengalami yahudisasi, kristenisasi, dan islamisasi. Hasilnya adalah Abraham digambarkan beragama Yahudi, beragama Kristen dan beragama Islam. Abraham yang diimani berbeda-beda, bahkan abraham- abraham   itu   bersaing   satu   sama   lain. Namun jika kita telaah yang digambarkan Alquran berbeda dengan yang distigmakan, (Ibrahim (Abraham) bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, (Ali-Imran 67).

Akar Historis Genealogis

Nabi Musa, Isa dan Muhammad merupakan anak-keturunan darah dan daging sekaligus keturunan (Ruh Spritual) Abraham dari dua putranya Ishaq (Sarah) dan Isma'il (Hajar). Dalam bahasa Thabathaba'i, anak-keturunan itu disebut dengan "keluarga lbrahim" (Ahli Ibrahim). Abraham dinyatakan sebagai muara monotheisme yang menjadi model bagi nabi-nabi berikutnya.

Secara genealogis-spiritual, pengurapan Abraham kepada Ishak yang menjadikannya pewaris perjanjian tidak bisa menafikan eksistensi Ismail sebagai putra sulung Abraham, yang juga dinubuatkan Allah akan menjadi bangsa yang besar melalui keturunannya. Itu berarti eksklusifitas perjanjian Allah tidak hanya diwariskan Abraham kepada Ishak, tetapi juga kepada Ismail, meski giliran awal kekuasaan diberikan kepada Bani Israel.

Bukankah Ismail adalah putra sulung Abraham (lebih tua 14 tahun dari Ishak), sehingga kewajiban mendidik anak sesuai tuntunan Allah sudah pasti dilakukan Abraham terhadap Ismail. Selain itu, nabi-nabi Allah banyak berasal dari generasi diluar Bani Israel, seperti Nabi Ayub, Hud, Shalih, Syuaib, dan Muhammad. Meski demikian, sudah menjadi keputusan (qadha) Allah bahwa keturunan Ishak-lah yang akan menggenapi ''Tanah Perjanjian'' Yerusalem (negeri yang damai sejahtera).

Menjelang akhir abad pertama, Injil Yohanes boleh dikatakan tulisan Kristen paling awal yang memakai tema Abraham dalam polemik tentang keturunan sejati Abraham, mungkin karena injil itu paling dekat dengan masa polemik antara  Yahudi dan Kristen.

Yustinus Martir (100-165 M) penulis Kristen pertama yang menganggap klaim Yahudi sebagai waris Abraham tak berlaku lagi. Kelahiran komunitas Kristen dari rahim agama Yahudi adalah suatu proses yang menyakitkan. Komunitas Yohanes ada dalam proses terkait formasi identitas Kristen mereka dalam hubungannya dengan agama Yahudi. Kebapakan eksklusif Abraham dalam agama Yahudi berhadapan dengan realitas baru bahwa Abraham adalah bapak semua orang beriman.

Signifikansi Abraham Dalam Tradisi Yahudi

Kaum Yahudi menjadikan Abraham sebagai sosok legenda, wujud semua keutamaan (bdk. Yesus bin  Sirakh  44:19 "tidak ada seorang pun yang kemuliaannya sebanding  dengannya"). Dalam liturgi Yahudi, terutama untuk Tahun Baru Yahudi dan pujian pertama dari 18 Doa Berkat (doa terpenting dalam agama Yahudi), Abraham juga dimaknai untuk eksklusivitas bangsa Yahudi sebagai umat.

 Ada  empat signifikansi Abraham  bagi  orang Yahudi.16  Pertama, ia orang pertama yang percaya kepada satu Tuhan (Monotheisme) dan menyebarluaskan ajaran itu. Kedua, ia teladan ketaatan sempurna kepada Tuhan. Talmud menggambarkan Abraham melakukan seluruh isi hukum Taurat, meski hukum Taurat baru ada pada zaman Musa, jauh sesudah masa hidup Abraham. Ketiga, ia teladan iman yang tak bergeming meski  didera  sepuluh  cobaan.  Keempat,  sebagai  pahala  atas kesalehannya, ia dijadikan sahabat Tuhan. Oleh Abraham "semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kej. 12:3). Namun, Abraham dalam tradisi Yahudi dimaknai eksklusif sebagai bapak bangsa Yahudi, secara jasmani maupun spiritual, bukan bapak bangsa-bangsa lain.

Abraham Dalam Tradisi Kristen

Dalam tradisi Kristen, sejak Paulus (nama Aslinya Saul; nama Yahudi) model percaya Abraham itu mengalami reinterpretasi dalam konteks selamat dari penghakiman Tuhan, percaya kepada Tuhan yang membenarkan orang berdosa (bukan dosanya).

Paulus berkata kepada jemaat di Efesus bahwa keadaan benar manusia (Yun. dikaiosune) "bukan hasil usahamu tetapi pemberian Allah" (Ef. 2:8), karena belas kasih dan anugerah Tuhan. Manusia dibenarkan Tuhan karena imannya dan iman itu pun karya Tuhan di dalam diri manusia. Kebenaran dari Tuhan "bertolak dari iman dan memimpin kepada iman" (Rm. 1:17; KJV, NAB "from faith to faith").

Demikian terjadi pergeseran makna pembenaran Abraham yang semula tiada kaitannya dengan pembenaran orang berdosa. Reinterpretasi Paulus itu menjadi dasar teologis Reformasi Protestan yang merayakan iman (Lat. sola fide) atau anugerah saja (Lat. sola gratia) sebagai jalan dibenarkan oleh Tuhan. Dalam tradisi Kristen, Abraham bukan bapak untuk non-Kristen, melainkan dimaknai eksklusif terkait percaya kepada Yesus Juru selamat.

Ibrahim dalam Tradisi Islam

Dalam Al-Quran, nama Ibrahim disebut 62 kali sebagai nabi dan rasul, dalam 25 surat (dari total 114 surat, bahkan surat ke-14 menurut namanya). Pelembagaan haji, kurban (hari raya Idul Adha), dan khitan yang sangat penting dalam Islam, dihubungkan dengan Ibrahim. Sebutan muslim, iman Islam, liturgi di Mekkah, teosentrisme dan universalisme Islam, juga dihubungkan dengan Ibrahim.

Dua keistimewaan  Ibrahim menurut Al-Quran. Pertama, sebagai orang yang menolak penyembahan berhala (musyrik) dan membangun monoteisme dalam rangka reformasi kultus Ka'bah (Al-An'am ayat 75-83). Mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu yang bukan Tuhan (berhala mati) adalah dosa syirik yang sangat serius (pelakunya disebut musyrik).

Nabi Ibrahim menunjukkan "jalan yang lurus" (Maryam 43), "agama yang benar" (Al-An'am 79), teladan dalam menentang penyembahan berhala dan mengabdi pada satu Tuhan saja. "Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)" (Ali Imran 33).

Kedua, sebagai teladan dalam hal ketaatan kepada Allah (Al Baqarah 135;). Ketaatannya yang sempurna membuat Ibrahim disebut hanif (lurus) dan muslim (taat kepada Allah). Ia pun disebut Khalil (kesayangan) Allah (An-Nisa 125). Serta mendapat predikat sebagai seorang Imam (An-Nahl 120). Bahkan Rasulullah Muhammad diperintahkan mengikuti Millah (Ajaran) Ibrahim ( Al-An'am 161; An-Nahl 123).

Muncul istilah "Millah Ibrahim (Abraham)" sinonim Din Islam, din yang benar (Al Baqarah 130, 132). Menurut Hamka, "mereka yang telah sampai kepada taraf penyerahan diri kepada Allah, dalam penyerahan dirinya itu dia telah mencapai Islam.

Klaim Eksklusivisme

Dalam Tradisi Yahudi dan Nasrani perjanjian (kovenan) antara Allah dan Abraham diimani sebagai salah satu warisan eksklusif bagi mereka. Dari seluruh anak cucu Abraham, hanya Ishaq dan keturunannyalah yang akan mewarisi perjanjian dengan Allah.

Eksklusifitas pewarisan ini semakin mengkerucut ketika dinyatakan bahwa pewarisan atas perjanjian tersebut tidak diberikan kepada anak sulung Ishaq, Esau, demi mendukung putra mudanya Yaqub, (Kejadian 25: 19-34). Dan saat nama Yaqub diubah oleh Allah menjadi Israel, (Kejadian 32:28) yang menempatkannya sebagai bapak-moyang garis keturunan biologis dua belas suku Israel, maka eksklusifitas pewarisan tersebut lalu diklaim sebagai hanya milik Bani Israel.

Rousseau mengatakan bahwa sikap eksklusivisme agama seperti ini, dimulai dalam sejarah manusia oleh Keyahudian dengan monoteisme dalam diri Yahwehnya (YHWH). Pandangan Gereja extra ecclesia nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) adalah contoh yang sangat nyata.

Nampaknya hal serupa juga terjadi dalam agama Islam seperti ungkapan innad- diina ingdallohil-islam. (Sesungguhnya diin (agama yang diridhoi) disisi Allah hanyalah Islam (Ali Imran 19). Dengan tafsiran tersebut, orang Islam mengklaim agamanya sebagai paling otentik. "Barang siapa mencari din selain al-islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima amal ibadahnya, (Ali Imran 85).

Penyakit spiritual yang menyuburkan kebencian, merupakan   buah   dari   sikap   interaksi superior-inferior.  Tiap-tiap  dari  ketiga agama Abrahamik  mengklaim dirinya sebagai yang lebih unggul,  dengan demikian masing-masing membentengi diri sembari  memproklamirkan ajaran mereka  sebagai  satu-satunya  jalan  keselamatan. Oleh karenanya doktrin eksklusvisme harus ditinjau ulang.

Sengketa Teologis Yang Harus Diakhiri

Mun'im Sirry, professor teologi di Universitas Notre Dame (AS), pesimistis dengan dialog Islam-Kristen berbasis sosok Abraham, "Mereka tidak menyadari bahwa figur Abraham digambarkan begitu berbeda oleh ketiga agama tersebut. Tidak berlebihan jika dikatakan, Yahudi, Kristen, dan Islam seolah tidak berbicara figur yang sama. Lebih dari itu, masing-masing mengklaim Ibrahim  bagi  dirinya  sendiri  dan  mengeksklusi  yang  lain."

Dua perbedaan pokok Ibrahim dalam tradisi Islam dan tradisi Yahudi, termasuk Kristen. Pertama, dalam tradisi Yahudi, Hajar (Hagar) dan Ismail setelah pergi dari kediaman Ibrahim, kemudian mengembara di padang gurun Bersyeba yang masih termasuk wilayah Palestina-Kanaan (Kej. 21:14). Dalam tradisi Islam, keduanya mengembara di lembah tanpa tanaman di dekat Baitullah atau Ka'bah (Ibrahim 14:37), sekarang bernama Mekkah, pusat pelaksanaan ibadah haji.

Kedua, putra yang dikurbankan Abraham dalam tradisi Yahudi dan Kristen adalah Ishak, sedangkan dalam tradisi Islam adalah Ismail. Dalam tradisi Islam, Ibrahim dilepaskan dari kategori ras dan menjadi bapak semua muslim (orang yang berserah diri), bapak orang-orang beriman.

Titik Temu Dialektis Inklusif

Dekonstruksi Abraham menurut Kristen dan Yahudi dalam konteks trialog agama Abrahamik dapat dijumpai pada perspektif Islam. Menurut Mohammed Arkoun (1928-2010), ketika Al-Quran mengatakan Ibrahim sebagai muslim, itu tidak merujuk Islam sebagai institusi agama melainkan islam generik, sebuah sikap yang ideal sebagaimana disimbolkan oleh laku iman yang sesuai dengan Al-kitab dan Al-Quran.

Idealnya, para penganut agama-agama Abrahamik memuliakan tindakan berkurban bagi kebaikan sesama sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Berlomba-lomba dalam kebajikan, merupakan wujud konkret dalam menciptakan kerukunan umat. Kristen dapat berbagi kisah Abraham dengan cara yang lebih bermakna kepada lebih banyak Muslim (Islam). Perjumpaan itu juga dapat diwujudkan dalam kegiatan bersama yang memiliki harapan bersama dan tanggung jawab bersama. Seperti kembali ke Mazmur 122, berdoa untuk perdamaian Yerusalem, dan puisi penuh harapan al-Ghazali saat dibacakan oleh orang-orang Yahudi, Kristen dan Muslim.

 Abraham dijadikan landasan strategi untuk meninggalkan polemik masa lalu dan bergerak maju dalam rasa saling menghormati. Abraham adalah bapak dari semua orang yang iman pada satu Tuhan (Monotheisme). Al-Quran juga mengungkapkan Abraham sebagai koneksi perjanjian asli dengan Allah tanpa harus mengikuti ajaran Yudaisme, dan Kristen.

Dialog yang mengutamakan perbedaan akan sulit untuk memberikan makna tentang agama-agama Abrahamik. Perlu dibangun dialog yang bermakna menggunakan "bahasa" yang tepat, dan bukan hanya percakapan yang didaur ulang sebagai percakapan teologis.

Agama-agama Abrahamik yang membicarakan Abraham ekslusif diubah menjadi Abraham inklusif yang memiliki tujuan perdamaian, saling berbagi dalam memaknai Abraham inklusif serta tidak memaksakan penafsiran fanatisme teologis. Memandang Abraham inklusif adalah jalan alternatif terbaik, dengan demikian titik temu trialog dialektis spritual Abraham dapat diwujudkan.

Oleh: Andi Zulfitriadi (Aktivis PIMA, Pegiat Spritual dan Perdamaian)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun