Ya, meski waktu itu kulihat seakan dia baru saja mendorongku ke tepi jurang yang ke dalamannya tak terlihat, tapi kupikir apa yang dilakukannya itu suatu tindakan yang benar. Dia tak bisa terus-menerus mengajakku berputar-putar di puncak gunung indah dengan orang tak disukainya. Karena bagaimana pun aku hanyalah teman. Teman yang cuma menemaninya mendaki.
Oh, jadi ketika dia mengatakan dia tak menyukaiku lagi, aku berani bersumpah, aku pantas sama sekali tidak ragu untuk tidak menangis. Hanya saja ya, jika sedang sendirian terjaga di tengah makam dan aku tak sengaja memikirkannya, apa yang dilakukannya itu sungguh membuatku merasa nelangsa.
Namun jika kuingat lagi pernah berkata padanya: Cintaku padamu sedalam samudra. Mau tak mau aku menertawai diri sendiri. Aku ragu-ragu apa aku benar-benar mengatakannya pada waktu itu. Apa yang kupikirkan ketika mengucapkan kalimat itu? Apa itu tidak berlebihan? Dan memangnya jika benar aku ingin mencintainya sedalam itu, bagaimana caraku hendak melakukannya? Aku pasti tidak mungkin bisa melakukannya. Jadi ketika dia pergi dariku, sudah kuputuskan aku tidak akan menangis untuknya.
Tapi mungkin saja sebenarnya aku menangis, namun tidak cukup jantan untuk menyadarinya seperti yang sering kumulai.
Kini aku mengingat-ingat lagi hal apa saja yang biasa kulakukan ketika sedang sedih. Aku butuh file itu untuk menenangkan teman sebelahku yang kira-kira sedang menangis tersedu-sedu.
Akan tetapi karena tidak berhasil menemukan yang kucari, mau tak mau aku ambil kesimpulan sendiri: mungkin aku hanya perlu menghiburnya, mendengar semua perkataannya dan menemaninya selagi dia menagis.
Aku duduk dengan tenang. Aku duduk dengan tenang, memerhatikan napasku, menghitung detak jantungku dan siap mendengarkan apa yang akan dikatakan Dewi.
Dewi belum mengatakan apa-apa. Mungkin dia memang tak tertarik mengatakan apa-apa, tak ada yang perlu dikatakan. Mungkin begitu pikirnya.
Aku membayangkan, andai saja Dewi mau membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu yang, agar dia bisa lebih tenang, mungkin aku bisa segera menimpalinya. Misalnya dengan berkata, "Manusia itu mahkluk yang sungguh kuat. Itu bohong kan, Caius?"
Ya, tentu saja, aku pasti akan menjawabnya dengan berujar, "Ya. Itu kebohongan besar."
Tapi sepertinya Dewi lebih dulu menghadapi kegagalan untuk mengatakan sesuatu yang ingin sekali dia nyatakan. Seperti aku. Yang sering gagal menyatakan diri ingin lebih baik dari hari kemarin namun selalu tak tahu cara melakukannya, cara memulainya.