Seumur hidup aku tak pernah suka menyaksikan orang menangis. Aku selalu ingin menghindarinya. Ketika keponakanku yang paling kecil berumur lima tahun kubuat menangis, aku langsung lari terbirit-birit masuk ke dalam kamar. Bukan karena takut dimarahi oleh Ibuku, atau Ayah dari anak itu tapi karena aku tak tahu cara menenangkan benaknya.
Dan ketika Ibuku bilang, "Caius ini bisanya cuma bikin nangis!" Aku selalu berpikir bahwa yang dikatakan ibuku salah. Aku tak berniat membuatnya menangis tapi justru aku ingin mengajaknya bermain. Apa aku salah?
Keponakanku memang menangis. Tapi tak lama. Hanya selang beberapa menit kemudian, dia sudah kembali tertawa-tawa tidak jelas. Sudah melupakan kesedihannya. Aku sendiri baru berani keluar kamar setelah semua badai reda. Tapi tentu dengan keheranan yang meluap-luap: bagaimana Ibuku melakukannya? Dengan cara apa dia melakukannya?
Aku tidak tahu. Aku tak pernah tahu.
Aku pun tidak tahu apa yang mesti kulakukan ketika Dewi yang di sampingku menangis tersedu-sedu. Aku justru berpikir, apa sebaiknya aku pulang dulu dan bertanya pada Ibuku: bagaimana cara melakukannya? Bagaimana cara membuat orang lain tertawa setelah mereka menangis?
Tidak. Aku tahu, ini konyol. Aku tak boleh terus-menerus menghindari hal yang paling tak kusukai. Sebab mau bagaimana pun aku pasti akan menghadapinya. Entah itu dengan orang lain, atau untuk diriku sendiri hari ini.
Tepat ketika itu aku jadi memikirkan kapan terakhir kali aku menangis dan untuk apa aku melakukannya waktu itu?
Apa yang membuatku begitu sedih sehingga memaksaku mengeluarkan air mata dari liangnya? Dan bagaimana caranya aku bisa lolos dan menenangkan diriku kembali saat itu?
Aku kembali mengunduh kisah masa lampau di kepalaku, yang sudah kuhapus bertahun-tahun silam untuk mengetahui kejadian-kejadian apa saja yang sanggup membuatku menderita lalu menangis. Namun beberapa detik melakukannya, aku gagal mengunduh file di benakku. Apa itu artinya aku telah mengapusnya secara permanent? Aku menyerah, seperti mendapati diriku sendiri menuai kegagalan lagi.
Namun tiba-tiba ketika aku merasa menyerah dengan yang kulakukan, isi kepalaku memunculkan sebuah adegan aneh yang sering muncul di mimpi burukku. Sebuah gambar tercetak jelas di halaman isi kepalaku. Oh tidak. Itu gambar mantan kekasihku yang sedang tersenyum. Tidak. Ini tidak benar. Dia bahkan tak pernah sekali pun membuatku menangis.
Kami memang sempat menjalin hubungan beberapa saat sampai kemudian dia mengakui bahwa dia sebetulnya tak mencintaiku. Dia cuma menyukai semangatku. Dia menambahkan catatan, "Aku hanya ingin memberimu apresiasi, dorongan agar kau tetap optimis. Dan kupikir kau pantas mendapatkannya. Tapi aku tidak mencintaimu." Kemudian dia tertawa. Lalu melangkah santai dan pergi menjauhiku.