Dua hari belakangan ini tidurku tak nyenyak. Aku selalu bangun lebih awal dari biasanya. Aku tak tahu kenapa. Rasanya seperti ada dorongan kuat untuk bangun dan mengerjakan sesuatu. Akan tetapi ketika aku memikirkannya, sesuatu itu kehilangan rencananya sendiri.
Kenapa?
Aku duduk di tepi ranjang. Berpikir beberapa saat sebelumnya akhirnya berani mengajukan pertanyaan untuk diri sendiri: memangnya, sejak kapan aku peduli dengan rencana yang telah kubuat hingga merasa cukup jantan untuk menyelesaikannya?
Baiklah. Kuakui. Dulu aku ini anak laki-laki dengan segudang rencana. Namun sebagai mana rencana diciptakan, mereka selalu gagal. Rencanaku memang selalu gagal. Tapi kupikir itu cuma masalah kecil, karena aku sudah menemukan solusinya.
Ini seperti kenginan kuat kau ingin kaya. Tapi alih-alih selalu gagal dalam meraihnya, kau berpikir, tidak kaya juga tidak apa-apa, terpenting semua kebutuhanmu tercukupi. Nah persis seperti itulah yang kusebut solusi.
Kata orang hidup ini seperti roda. Oke, mungkin yang dimaksud roda itu, roda yang bisa berputar. Roda hidupku juga berputar, tapi mungkin ia bergerak dengan kecepatan begitu lambat sampai aku sendiri tak menyadarinya apakah dia diam atau justru bergerak ke kiri?
Orang-orang melangkah lebih jauh di depanku. Orang-orang selalu ingin tiba lebih dulu dari hari esok. Sementara aku melangkah selangkah demi selangkah untuk mencapai hari esok.
Aku bagai anak laki-laki yang merencanakan segala sesuatunya dari awal, tapi di tengah-tengah rencana berbuah pikiran, atau jika tidak, aku akan tiba dengan rasa gagal di menit-menit akhir.
Sering aku menyaksikan kegagalan di depan mata kepalaku. Sekuat tenaga aku menasehati diriku dengan berujar, "Kau lihat sendiri kan?" Seolah-olah aku sedang menunjuk telur gosong di atas piring.
Jika ada istilah pengusaha sukses di usia muda maka akulah pengusaha muda sebaliknya, yang bangkrut diusianya yang masih muda. Jika ada cerita seorang pemuda yang bangun kesiangan di hari pertamanya tes kerja, maka akulah pemuda itu. Jika ada pemuda yang tiba-tiba tersedak duri ikan sebelum ia sempat menyatakan cintanya kepada gadis pujaannya di meja makan, maka pemuda itu adalah aku, yang dilarikan ke rumah sakit.
Ada sesuatu yang belum bisa kutuntaskan. Banyak hal yang tak bisa kuselesaikan. Aku tahu aku tak bisa berbuat banyak, dan kalau aku bisa, aku pasti selangkah lebih dekat dengan kehancuran.
Aku tak punya pilihan kecuali melupakan rencana-rencana itu. Aku memilih melupakan rencanaku sebagai jalan keluar.
Oi, bicara tentang rencana, aku jadi ingat suatu kali pernah menghadiri acara pesta pernikahan -meski ini sedikit berbeda tapi kurasa ada kesamaannya.
Aku punya seorang teman perempuan. Sebut saja namanya Dewi. Dewi adalah anak perempuan hiperaktif yang selalu cakap mengekspresikan semangat emosinya ketika misalnya dia amat senang, dia tak akan berhenti tertawa meski itu artinya di depan umum. Dewi tak terhentikan.
Berbeda dengan manusia pada umumnya, Dewi bukan tipe manusia yang sering melawan benaknya sendiri. Ketika dia sedih dia akan menangis. Ketika Dewi sedang bahagia dia tahu caranya tertawa.
Dewi tak bisa melakukan dua hal sekaligus yang seringnya cenderung dilakukan orang-orang. Dia itu berbeda. Tak menyukai kepura-puraan.
Nah, maka ketika rencananya yang selama ini dia bangun dengan bersusah payah gagal di tengah jalan, dia menangis dengan begitu kuat. Dewi menangis tersedu-sedunya begitu tahu pacar seumur jagungnya itu, tanpa alasan yang jelas mengatakan bahwa mereka sudah tak lagi cocok.
Aku sendiri kurang paham definisi cocok. Yang jelas aku menyaksikan mereka berdua, teman perempuanku bernama Dewi itu dan kekasihnya -yang kini jadi mantan- selalu berdampingan setiap saat. Mereka melekat bagai tak terpisahkan. Aku bahkan bisa membayangkan mereka bergantian bergilir mengenakan tongkat penyangga jika yang lain, tongkat yang lain lupa letak menaruhnya. Sepasang kekasih kakek-nenek yang amat romantis.
Akan tetapi seperti hal yang kubilang sebelumnya: rencana diciptakan untuk gagal. Dan mereka benar-benar gagal dalam menyongsong masa depan itu. Namun setidaknya, bukan keduanya. Tapi salah satu dari mereka. Sebab, mantan kekasih teman perempuanku itu pada akhirnya menikah dengan orang lain. Menjalani kisah romantis masa depan bersama orang lain.
Itu terjadi dua minggu lalu. Namun meski sudah berlangsung selama itu aku masih bisa ingat cara teman perempuanku itu menyeka air matanya. Berkali-kali. Dan sejumlah berkali-kali pula, aku bagai sedang menyaksikan sebuah lukisan tiga dimensi yang bergerak. Lukisan tiga dimensi yang paling sedih di dunia. Aku tak pernah membayangkan dikehidupanku yang samar-samar akan menyaksikan lukisan semacam itu dengan amat nyata.
Dewi mengajakku ke acara pesta pernikaan mantan kekasihnya. Pulang dari sana, Dewi mengusulkan agar kami mampir ke taman kota. Kami duduk di sebuah bangku besi yang sangat pas untuk selonjoran satu orang.
Angin dari arah utara berhembus di sekitar kami. Segala percakapan orang-orang asing di taman kota sore itu berkelindan telingaku. Namun di antara kami sama sekali tak ada percakapan apa pun. Sepanjang sepuluh menit, aku dan Dewi hanya diam saja. Aku tidak mengawasinya, tapi aku segera merasa bersalah ketika tiba-tiba saja dia menagis tersedu-sedu di sampingku.
Seumur hidup aku tak pernah suka menyaksikan orang menangis. Aku selalu ingin menghindarinya. Ketika keponakanku yang paling kecil berumur lima tahun kubuat menangis, aku langsung lari terbirit-birit masuk ke dalam kamar. Bukan karena takut dimarahi oleh Ibuku, atau Ayah dari anak itu tapi karena aku tak tahu cara menenangkan benaknya.
Dan ketika Ibuku bilang, "Caius ini bisanya cuma bikin nangis!" Aku selalu berpikir bahwa yang dikatakan ibuku salah. Aku tak berniat membuatnya menangis tapi justru aku ingin mengajaknya bermain. Apa aku salah?
Keponakanku memang menangis. Tapi tak lama. Hanya selang beberapa menit kemudian, dia sudah kembali tertawa-tawa tidak jelas. Sudah melupakan kesedihannya. Aku sendiri baru berani keluar kamar setelah semua badai reda. Tapi tentu dengan keheranan yang meluap-luap: bagaimana Ibuku melakukannya? Dengan cara apa dia melakukannya?
Aku tidak tahu. Aku tak pernah tahu.
Aku pun tidak tahu apa yang mesti kulakukan ketika Dewi yang di sampingku menangis tersedu-sedu. Aku justru berpikir, apa sebaiknya aku pulang dulu dan bertanya pada Ibuku: bagaimana cara melakukannya? Bagaimana cara membuat orang lain tertawa setelah mereka menangis?
Tidak. Aku tahu, ini konyol. Aku tak boleh terus-menerus menghindari hal yang paling tak kusukai. Sebab mau bagaimana pun aku pasti akan menghadapinya. Entah itu dengan orang lain, atau untuk diriku sendiri hari ini.
Tepat ketika itu aku jadi memikirkan kapan terakhir kali aku menangis dan untuk apa aku melakukannya waktu itu?
Apa yang membuatku begitu sedih sehingga memaksaku mengeluarkan air mata dari liangnya? Dan bagaimana caranya aku bisa lolos dan menenangkan diriku kembali saat itu?
Aku kembali mengunduh kisah masa lampau di kepalaku, yang sudah kuhapus bertahun-tahun silam untuk mengetahui kejadian-kejadian apa saja yang sanggup membuatku menderita lalu menangis. Namun beberapa detik melakukannya, aku gagal mengunduh file di benakku. Apa itu artinya aku telah mengapusnya secara permanent? Aku menyerah, seperti mendapati diriku sendiri menuai kegagalan lagi.
Namun tiba-tiba ketika aku merasa menyerah dengan yang kulakukan, isi kepalaku memunculkan sebuah adegan aneh yang sering muncul di mimpi burukku. Sebuah gambar tercetak jelas di halaman isi kepalaku. Oh tidak. Itu gambar mantan kekasihku yang sedang tersenyum. Tidak. Ini tidak benar. Dia bahkan tak pernah sekali pun membuatku menangis.
Kami memang sempat menjalin hubungan beberapa saat sampai kemudian dia mengakui bahwa dia sebetulnya tak mencintaiku. Dia cuma menyukai semangatku. Dia menambahkan catatan, "Aku hanya ingin memberimu apresiasi, dorongan agar kau tetap optimis. Dan kupikir kau pantas mendapatkannya. Tapi aku tidak mencintaimu." Kemudian dia tertawa. Lalu melangkah santai dan pergi menjauhiku.
Ya, meski waktu itu kulihat seakan dia baru saja mendorongku ke tepi jurang yang ke dalamannya tak terlihat, tapi kupikir apa yang dilakukannya itu suatu tindakan yang benar. Dia tak bisa terus-menerus mengajakku berputar-putar di puncak gunung indah dengan orang tak disukainya. Karena bagaimana pun aku hanyalah teman. Teman yang cuma menemaninya mendaki.
Oh, jadi ketika dia mengatakan dia tak menyukaiku lagi, aku berani bersumpah, aku pantas sama sekali tidak ragu untuk tidak menangis. Hanya saja ya, jika sedang sendirian terjaga di tengah makam dan aku tak sengaja memikirkannya, apa yang dilakukannya itu sungguh membuatku merasa nelangsa.
Namun jika kuingat lagi pernah berkata padanya: Cintaku padamu sedalam samudra. Mau tak mau aku menertawai diri sendiri. Aku ragu-ragu apa aku benar-benar mengatakannya pada waktu itu. Apa yang kupikirkan ketika mengucapkan kalimat itu? Apa itu tidak berlebihan? Dan memangnya jika benar aku ingin mencintainya sedalam itu, bagaimana caraku hendak melakukannya? Aku pasti tidak mungkin bisa melakukannya. Jadi ketika dia pergi dariku, sudah kuputuskan aku tidak akan menangis untuknya.
Tapi mungkin saja sebenarnya aku menangis, namun tidak cukup jantan untuk menyadarinya seperti yang sering kumulai.
Kini aku mengingat-ingat lagi hal apa saja yang biasa kulakukan ketika sedang sedih. Aku butuh file itu untuk menenangkan teman sebelahku yang kira-kira sedang menangis tersedu-sedu.
Akan tetapi karena tidak berhasil menemukan yang kucari, mau tak mau aku ambil kesimpulan sendiri: mungkin aku hanya perlu menghiburnya, mendengar semua perkataannya dan menemaninya selagi dia menagis.
Aku duduk dengan tenang. Aku duduk dengan tenang, memerhatikan napasku, menghitung detak jantungku dan siap mendengarkan apa yang akan dikatakan Dewi.
Dewi belum mengatakan apa-apa. Mungkin dia memang tak tertarik mengatakan apa-apa, tak ada yang perlu dikatakan. Mungkin begitu pikirnya.
Aku membayangkan, andai saja Dewi mau membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu yang, agar dia bisa lebih tenang, mungkin aku bisa segera menimpalinya. Misalnya dengan berkata, "Manusia itu mahkluk yang sungguh kuat. Itu bohong kan, Caius?"
Ya, tentu saja, aku pasti akan menjawabnya dengan berujar, "Ya. Itu kebohongan besar."
Tapi sepertinya Dewi lebih dulu menghadapi kegagalan untuk mengatakan sesuatu yang ingin sekali dia nyatakan. Seperti aku. Yang sering gagal menyatakan diri ingin lebih baik dari hari kemarin namun selalu tak tahu cara melakukannya, cara memulainya.
Namun mungkin saja, sebaliknya, yang ingin Dewi bilang adalah, "Setelah ini... Maukah kau mengajakku mendaki bersamamu?"
Aku mau. Begitu aku akan menjawabnya.
Tapi Dewi nampaknya tak memikirkan kata-kata itu. Kami pun pulang. Lalu dua minggu setelah itu tanpa alasan yang jelas tidurku tak lagi nyenyak. Aku selalu terbangun tengah malam. Entah untuk apa.
27 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H