"Aku tahu, kau pasti kecewa kalau warung ini tidak buka? Hio harusnya memberitahumu sejak awal."
"O, kau Kalani?" Aku bertanya. Â
"Kau pasti Caius-caius itu kan? Anak laki-laki yang suka mendemontrasikan dirinya berusia 200 tahun itu?"
"Apa Hio yang bilang seperti itu padamu?"
"Yang konon lagi, percaya kalo perempuan itu cuma jenis hantu jadi-jadian yang diciptakan guna meneror hidup para laki-laki?"
"Hio terlalu banyak bicara."
"Yang merasa dirinya bukan bagian penting dari peradaban, meski bisa dibilang, suka menanam pohon di pot samping rumahnya?"
"Yang--," Kalani hendak mengoceh lagi.
Aku buru-buru menghentikannya sebelum dia berkata yang keterlaluan. "Kau tak boleh menilaiku hanya karena kau memperoleh cerita itu dari orang lain. Kau tak berhak menghakimiku."
"Oh, sekarang kau juga seorang, um," dia menghentikan ocehanya. "Baiklah. Kau mau minum kopi? Aku membawa kopi di dalam tasku."
Kalani sebenarnya, seperti yang Hio bilang, manis dan berpengetahuan luas dan paling penting ajaib. Dia selalu mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna. Itu komentar Hio untuknya. Maka tak heran jika di dalam tasnya ada kopi. Semuanya senantiasa terukur dan mencukupi. Dia sempurna, hanya saja aku yakin, pasti ada celah sebagai sosoknya sebagai manusia biasa yang cenderung penuh ketidaksempurnaan. Tapi apa? Aku pasti tertidur ketika Hio sedang menceritakan kelemahan Kalani di hadapanku tadi malam.