"Aku tak bisa tidur lagi setelah itu," katanya.
"Jaga dirimu baik-baik," kataku.
"Semua akan baik-baik saja. Kau juga ya."
"Akan selalu kuingat pesanmu."
"Dah."
Aku tahu. Semalam setelah kejadian itu, dia langsung berkemas. Dia memang gampang berubah pikiran. Saat orang merasa dirinya dilukai atau melukai orang lain, memang gampang berubah pikiran. Â Meskipun ya, dia sering bilang padaku bahwa aku tak boleh menganggap dilukai atau melukai siapa-siapa. Jadi aku tak boleh berharap seseorang berubah pikiran karenaku. Termasuk kesepakatan itu.
Dia pergi untuk mencari ayah anak yang diam-diam dikandungnya. Lalu.... Kau tahu, dia tak pernah kembali lagi.
***
Pernikahan keduaku terjadi sepuluh tahun setelah itu. Terus terang, sebetulnya aku menginginkannya lebih cepat. Akan tetapi kalau kau ternyata tahu cinta sejatimu berada sepuluh tahun lebih terlambat dari pada yang kaupikirkan, mungkin jarak untuk mencapai waktu tak pernah merisaukanmu. Akan tetapi masalahnya waktu seringnya berputar begitu lambat dan murung, jadi kita tak bisa berbuat apa-apa sampai mereka sendiri menyerahkan diri pada kita.
Aku percaya cinta sejati adalah cinta terakhir yang kau miliki. Ketika mereka hadir kau harus menyambutnya. Atau jika tidak, bukan masalah. Kau masih punya kesempatan, menyambut cinta yang lebih sejati ketimbang sebelumnya. Sejujurnya sampai stok itu habis. Namun tentu saja kau tak pernah tahu kapan persediaan itu tersisa untukmu, bila akhirnya yang kau ternyata mereka sudah tak ada. Â
Aku sering membayangkan kalau stok itu bagai kelereng yang kusimpan dalam kantong. Ketika kulempar satu biji kelereng keluar dari hidupku, yang kudengarkan adalah, "Jangan sedih. Jika yang kau butuhkan aku, aku ada di kantongmu."