Dan dua hari lalu, aku mengeluarkan satu kelereng itu. Biar mudah, kunamai Kelereng Kedua. Aku mengungkapkan isi pikiranku padanya, apa aku boleh memanggilmu Kelereng Kedua? Kataku pada wanita-dua-hari-itu.
Istriku, maksudku, Kelereng Kedua, tak punya masalah soal nama. Dia bilang. "Apa saja. Kau tahu, teorimu terlalu rumit namun terdengar kekinian. Tapi yang penting kau ketahui, aku akan jadi kelereng terakhirmu," katanya. "Apa kau senang mendengar itu?"
"Kau sangat manis. Kau kelereng yang menggoda dan kelereng paling manis yang kukenal."
Kelereng menggeser tubuhnya ke dekat dadaku. Semakin dekat seolah kita tak terpisahkan. Seolah kami hendak lengket seperti uji coba ujung jari dengan lubang hidung.
"Ungkapkan apa yang kau pikirkan," ujarnya lagi. "Aku akan patuh. Sesekali mungkin akan mendesakmu untuk berhenti bersikap menyebalkan. Tapi sepenuhnya aku kelerengmu, dan kau tuanku. Apa kau merasa adil?"
Dia selalu mengakhiri percakapan kalimatnya dengan percakapan baru. Dia memang senang ssesuatu yang membuatnya tak terhenti.
"Jangan bicara soal keadilan. Adil buatku belum tentu menyenangkan bagimu. Aku akan menyimpanmu sebagai kelereng dan tak pernah melepasnya dari saku kantongku. Apa kau ingin mual mendengarku?"
"Aku selalu ingin mual sejak pertama bertemu denganmu. Kau membuatku mabuk. Mabuk kepayang. Bagaimana menurutmu?"
"Syukurlah."
"Syukurlah. Maukah kau akan mencintaiku selalu?"
Belum sempat kujawab pertanyaannya, Kelereng menghembuskan napas. Lalu dia lupa menghelanya lagi.