Sudah menjadi jadwal pasti, pesawat teleponku, pukul 3 sampai 3 lewat 30 menit akan terus berdering. Aku sudah muak dengan alasannya -orang di balik telepon itu-- menelponku.
Lakukanlah apa yang kau mau, tapi tolong jangan mengganggu hari burukku. Karena dengan kau menelponku, hariku menjadi bertambah suram sampai terkutuk dan semakin menyedihkan!
Ingin sekali aku bilang begitu. Apa aku harus bilang begitu?
Orang di balik telepon itu, aku tidak tahu, apakah laki-laki atau perempuan. Yang jelas di terus-menerus menelponku, dan ketika kuangkat, dia cuma diam saja.
Aku memang sempat mengira suaraku mirip perempuan. Tapi sebetulnya aku ini laki-laki. Dan ketika aku berteriak pada si penelpon itu, "Siapa ya?", " Ada apa ya?" suara itu, mungkin, karena perlu melalui  banyak perjalanan udara, belum lagi jarak yang tak bisa kubayangkan untuk menuju tempatnya, suaraku sama sekali berubah ketika sampai padanya. Dan sialnya, si penelpon itu, mengenali suaraku sebagai suara kekasihnya yang telah meninggalkannya.
Sungguh menjijikan apa yang baru saja kuperloleh dari pikiranku sendiri.
Tapi, memang betul. Meskipun si penelpon itu selalu tidak menjawab panggilanku di telepon, dia selalu mengirimiku pesan-pesan puitis di jam-jam berikut:
1) Pagi. Sekitar pukul 5 subuh, atau paling telat, pukul 5 lewat 10 menit. Pesan itu pasti sampai. 'Selamat pagi, Martha. Embun tipis dan rapuh semoga senantiasa menyapamu.' Atau kata-kata lain yang tak kalah menjijikan.
2) Siang. Sekitar pukul sebelas. 'Marta, sayang..... Jangan lupakan makan. Biar sehat dan berumur panjang.'
3) Sore hari. Setelah dia selesai menelpon, pesan itu akan dikirim lima menit dibelakangnya. Kalimatnya mudah saja kau tebak.
4) Malam hari. Pesan itu hadir sekitar pukul 10 lewat 10. Atau pesan itu akan datang lebih awal: pukul 7. Tapi kadang-kadang dia sering melewatkannya. Aku mengira, dia pasti memiliki pekerjaan yang sangat menguras tenaga, sampai-sampai dia kelelahan dan pada akhirnya dia benar-benar tertidur tanpa disadarinya.