Aku terus mencarinya sambil berteriak-teriak memanggil namanya.”Em! Em! Em!” seruku.
Aku menyesal mengetahui bahwa indera penciumanku bekerja dengan sangat payah sehingga kehilangan jejaknya. Sekarang tak ada yang bisa kulakukan lagi. Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh anak tujuh tahun di tempat asing. Aku tidak dapt menemukannya.
Dan dengan perasaan menyesal yang mendalam , akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja. Aku berjalan sambil mengingat-ingat jalan mana saja tadi yang kutempuh, sampai-sampai aku berdiri mematung dan menyadari bahwa aku tersesat.
Kampung ini tak kukenali sama sekali, sekarang bolehkah aku membayangkan sedang berada di dalam mimpi. Tidak. Ini nyata.
Lampu-lampu jalan sesekali berkelip dan mati dan hidup lagi. Lampu itu kurasa butuh perawatan ekstra atau minta diganti. Sehingga menunjukkan bahwa kampung ini adalah bukan yang seperti kampung yang telah ditinggalkan penghuninya. Satu hal lagi. Mereka harus memikirkan nama yang bagus untuk nama sebuah kampung, agar namanya tidak terdengar seperti ungkapan putus asa. Agar lain kali aku tersesat lagi, aku tidak perlu membaca: Selamat Datang di Kampung Gubuk Derita.
Sialan!
Angin semilir dengan sangat tangkas, seperti anak-anak anjing dan berhasil menggigit kulit-kulitku yang terbuka. Aku berjalan sambil merapatkan jaket. Dari kejauhan kulihat punggung seseorang yang sedang berjalan mendekati sebuah tong besar, dengan menggendong tas di punggung kanannya. Bukan. Itu bukan sebuah tas. Tiba-tiba saja aku ingat cerita horor itu, penculik organ yang senang memasukkan hasil buruannya di dalam karung. Dan bisa jadi, di dalam karung itu adalah sesuatu itu: sebuah jantung, usus, hati, atau apalah. Intinya diskripsi tentang organ-organ yang bisa disebut sebagai ampela.
Ampela ayam! Adalah kata-kata yang merdu yang sering diucapkan oleh Ibu saat sedang membujukku ketika susah makan.
Seseorang itu memasukkan karungnya ke dalam tong besar di hadapannya dengan suara buk yang bisa kudengar. Aku telah bersembunyi di balik tiang listrik untuk mengamatinya. Wajah seseorang itu terlihat bias, hampir tidak terlihat. Ia menunduk dan mengulurkan tangannya di bawah kolong meja dekat situ seperti gerakan meraba-raba sesuatu. Ternyata ia mengambil sebuah karung. Apakah seseorang itu akan kembali lagi berburu anak kecil malam ini karena ia adalah jenis manusia yang tidak mudah puas? Apakah aku harus lari malam ini?
Sebentar. Coba kupikir-pikir dulu. Jika aku lari sekarang juga, itu berarti secara langsung aku sedang memunculkan diri di hadapannya. Dan nampaknya untuk ukuran seorang penculik yang kuat dan mahir menangani anak kecil, tentu saja menangkapku bukanlah perkara yang sulit. Ia akan menangkap dengan mudah. Kemudian, pilihan kedua, jika aku tetap bersembunyi, mungkin itu bisa menjadi sebuah pilihan yang aman. Akan tetapi seberapa aman hingga aku dapat merasakan degup jantungku secara normal.
Lari... Tidak... Lari... Jangan!