Mohon tunggu...
Andi Wi
Andi Wi Mohon Tunggu... Penulis - Hai, salam!

Bermukim di Cilongok - Banyumas - Jawa Tengah. Kamu bisa mulai curigai saya melalui surel: andozshort@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[HORORKOPLAK] Tersesat di Kampung Gubuk Derita

7 Januari 2017   16:11 Diperbarui: 7 Januari 2017   20:43 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah cerita horor. Kurasa begitu...

Aku, umurku tujuh tahun ketika itu. Bertubuh kecil dan sering diabaikan oleh orang dewasa. Baiklah, seluruh anak di dunia ini mengalami nasib yang sama. Namun, untuk alasan yang berbeda, aku sangat tidak suka dunia anak-anak. Lagi pula, cita-citaku kan hanya ingin menjadi seperti Em, kakakku. Betul. Cita-citaku memang ingin menjadi orang dewasa.

Menjadi dewasa itu seenak menyentuh air hujan dari pada memandanginya lewat jendela. Dan menjadi dewasa, bisa pula diartikan sebagai kebebasan mengecat rambut dengan warna favoritmu. Em, mewarnai rambutnya dengan warna putih. Kurasa ia menyukai warna putih. Seperti Ayah. Betapa gagah mereka berdua saat sedang duduk berbagi bangku dan ngopi bersama.

Em selusin lebih tua dariku. Berhentilah menghitung. Umurnya dua belas tahun ditambah tujuh tahun. Tahun lalu adalah tahun pertama Em masuk kuliah. Ketika kutanya, “Kuliah itu apa, Em?” Maka dari nada bicaranya yang pemalas akan menegaskan seperti yang kau lakukan setiap pagi, Caius! Jawabannya selalu begitu.

“Sekolah?”

“Ya itu dia,” katanya.

Kurasa tidak. Karena mungkin saja Em memang malas menjelaskannya padaku, karena mengetahui dirinya adalah orang dewasa yang suka mengabaikan anak kecil.

Setiap pagi ketika aku berangkat sekolah, aku selalu mendapati dirinya masih berada di dalam kamar dalam keadaan selimutan. Aku pernah berusaha membangunkannya dengan mengoyang-goyangkan kepalanya seperti mengecek isi celenganku, tapi tindakan itu malah membuatnya marah hingga ia mengusirku. “Sana, sana. Wush!”

“Em, ayo bangun! Kita bisa terlambat,” kataku sambil menggoyang-goyangkan kepalanya kembali.

Em membuka mata hingga ia mampu berteriak, “Ibu! Ibu! Putra kesayanganmu menggangguku! Apa aku harus mengingit telinganya?”

Biasanya, tak lama setelah itu, Ibu akan masuk ke dalam kamar lalu menarikku keluar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun