Mohon tunggu...
Aldo
Aldo Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan sarjana ekonomi dengan ketertarikan pada dunia keuangan, politik, dan olahraga

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Paradoks Posisi: Mengapa Penerbangan "Kebebasan Kelima" Tidak Begitu Populer di Indonesia?

10 April 2024   15:14 Diperbarui: 10 April 2024   15:21 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Rute Penerbangan 'Kebebasan Kelima' (Sumber: Simple Flying)

Indonesia, negara kepulauan yang luas, berada di lokasi strategis antara Asia dan Oseania. Banyak orang Indonesia percaya bahwa posisi ini membuat negara ini sebagai kandidat utama dalam perkembangan industri penerbangan dunia, terutama penerbangan dengan hak 'kebebasan kelima'. 

Akan tetapi, faktanya justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Tampak jelas bahwa terlihat jumlah penerbangan yang memanfaatkan kebebasan udara jenis ini yang beroperasi baik dari maupun ke kota-kota di Indonesia sangat minim atau bahkan tidak ada sama sekali. 

Artikel ini akan mendalami konsep kebebasan udara dalam industri penerbangan, mengeksplorasi berbagai jenisnya, dan menganalisis alasan di balik paradoks ini dalam lanskap penerbangan Indonesia.

Memahami Konsep Kebebasan Udara

Kebebasan udara merupakan serangkaian hak penerbangan komersial yang memberikan peluang kepada maskapai penerbangan suatu negara untuk memasuki dan mendarat di ruang udara negara lain. 

Hak tersebut dirumuskan sebagai hasil dari ketidaksepakatan atas taraf liberalisasi penerbangan dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional tahun 1944 di Chicago, Amerika Serikat (AS). 

Kebebasan ini secara spesifik mendikte hak maskapai penerbangan dalam hal menaikkan dan menurunkan penumpang, kargo, atau keduanya, di berbagai titik pada suatu rute. Ada sembilan jenis kebebasan udara yang dikenal saat ini, tetapi terdapat lima yang paling relevan dalam diskusi ini.

  1. Kebebasan pertama adalah hak untuk terbang di atas suatu negara tanpa mendarat.

  2. Kebebasan kedua adalah hak untuk mendarat di suatu negara untuk alasan teknis, seperti pengisian bahan bakar tanpa adanya embarkasi/disembarkasi penumpang dan kargo.

  3. Kebebasan ketiga adalah hak untuk membawa penumpang dan kargo dari negara asal maskapai penerbangan ke negara lain.

  4. Kebebasan keempat adalah hak untuk membawa penumpang dan kargo kembali ke negara asal maskapai penerbangan dari negara lain.

  5. Kebebasan Kelima adalah hak untuk membawa penumpang dan kargo antar-dua negara asing, dengan pemberhentian di negara asal maskapai.

Penerbangan kebebasan kelima menawarkan beberapa keuntungan. Maskapai penerbangan dapat mengoptimalkan pemanfaatan pesawat dengan membawa penumpang dalam rute selain rute asal dan menuju tujuan mereka, sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan dan bahkan profitabilitas. 

Penumpang diuntungkan dari tarif yang berpotensi lebih murah dengan lebih banyak pilihan rute. Akan tetapi, untuk pengoperasian penerbangan ini, diperlukan perjanjian bilateral antar-negara yang memberikan hak tersebut.

Enigma Kebebasan Udara di Indonesia

Meskipun lokasi Indonesia terbilang strategis secara geografis, penerbangan kebebasan kelima terbilang langka. Alasan utama, terdapat keterbatasan perjanjian bilateral antara Indonesia dengan negara-negara lain yang memberikan hak kebebasan kelima, sehingga mengurangi kemampuan maskapai mengoperasikan penerbangan semacam itu.

 Indonesia juga memiliki pasar perjalanan udara domestik yang sangat besar dan terus berkembang, membuat maskapai penerbangan lebih menguntungkan jika berfokus untuk menghubungkan kota-kota di Indonesia daripada merambah ke operasi kebebasan kelima. 

Selain itu, pemerintah Indonesia memiliki kebijakan yang agak proteksionis yang mendukung maskapai penerbangan domestik, sehingga mempersulit maskapai asing untuk mendapatkan hak kebebasan kelima. 

Terakhir, infrastruktur bandara di beberapa kota di Indonesia masih belum mampu menangani lalu lintas tambahan yang dihasilkan oleh penerbangan kebebasan kelima. Keterbatasan ini terlihat dari fakta bahwa bandara-bandara besar di Indonesia saat ini menghadapi tantangan dalam menangani penumpangnya karena kelebihan kapasitas.

Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta sebagai hub utama Indonesia, menangani volume penumpang terbesar dengan tujuan di seluruh Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah, Australia, dan rute terbatas ke Eropa. 

Bandara ini menghadapi masalah kelebihan kapasitas hingga tahun 2017 yang melayani lebih dari 50 juta penumpang per tahun, dibandingkan kapasitas yang hanya 22 juta. 

Pada tahun 2017, kapasitas bandara meningkat menjadi sekitar 62 juta penumpang tetapi badara ini sudah melayani lebih dari 63 juta penumpang setiap tahunnya. 

Bandara Internasional Ngurah Rai di Denpasar, hub liburan utama dengan lalu lintas signifikan dari Australia, Singapura, dan berbagai kota di Asia memiliki kapasitas 20 juta penumpang per tahun, sementara sekarang melayani lebih dari angka tersebut setiap tahunnya.

Skenario 'Bagaimana Jika?': Indonesia Mempopulerkan Penerbangan Kebebasan Kelima

Peningkatan signifikan dalam penerbangan kebebasan kelima di Indonesia dapat memiliki beberapa dampak. Bandara-bandara di Indonesia, terutama Jakarta dan Denpasar, dapat menjadi pusat utama di regional Asia Tenggara, menarik lalu lintas di luar perbatasan negara, sehingga dapat meningkatkan kualitas infrastruktur penerbangan di berbagai kota besar dan berpotensi menyediakan lebih banyak pilihan penerbangan yang beragam ke Australia, Selandia Baru, dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. 

Meningkatnya persaingan dari maskapai penerbangan asing dapat menurunkan tarif dan menawarkan jangkauan yang lebih luas ke destinasi internasional yang dapat diakses baik dari maupun ke Indonesia. Lebih banyak penerbangan kebebasan kelima juga dapat merangsang lonjakan pariwisata dan perjalanan bisnis, berdampak positif pada perekonomian Indonesia.

Skenario Indonesia mempopulerkan penerbangan kebebasan kelima juga akan memberikan banyak dampak positif bagi Garuda Indonesia selaku maskapai nasional yang telah menghadapi tantangan dalam memperluas jaringan internasionalnya dalam dua dekade terakhir dikarenakan berbagai faktor. 

Pasar domestik Indonesia yang menguntungkan secara historis menjadi aliran pendapatan utama bagi Garuda Indonesia, dan ekspansi internasional membutuhkan armada pesawat jarak jauh yang lebih besar, sehingga membebani sumber daya. 

Persaingan ketat dari maskapai penerbangan berbiaya rendah regional dan maskapai penerbangan Timur Tengah yang sudah mapan juga menjadi tantangan lainnya. 

Masuknya penerbangan kebebasan kelima dapat menguntungkan Garuda Indonesia dalam melimitasi atau bahkan menghilangkan tantangan-tantangan tersebut. Garuda Indonesia dapat membentuk kemitraan dengan maskapai penerbangan asing yang mengoperasikan rute kebebasan kelima, memperluas jaringannya melalui perjanjian codeshare tanpa harus mengerahkan pesawatnya secara langsung. 

Operasi kebebasan kelima akan meningkatkan persaingan, memaksa Garuda Indonesia untuk meningkatkan penawarannya atau mengalami risiko kehilangan pangsa pasar, sehingga maskapai memiliki kualitas strategis yang jauh lebih baik.

Perlu dicatat bahwa maskapai besar Eropa di masa lalu seperti British Airways, Air France, dan Lufthansa telah menghentikan layanan penerbangan ke kota-kota di Indonesia, terutama Jakarta dan Denpasar, yang menunjukkan bahwa operator lama menganggap rute ke Indonesia kurang menguntungkan dibandingkan dengan tujuan lain. 

Kondisi tersebut dapat dibalik dengan membuka peluang bagi maskapai yang bersedia menggunakan hak kebebasan kelima. Misalnya, maskapai Eropa dapat terbang ke Jakarta dan melanjutkan layanannya ke Australia, Selandia Baru, atau kota-kota wisata populer di Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya. Meskipun demikian, faktor-faktor seperti perjanjian bilateral dan profitabilitas pasar akan perlu diperhatikan secara mendalam.

Contoh Rute Kebebasan Udara Kelima dan Dampaknya

Penerbangan yang tampaknya biasa dapat memiliki konsekuensi luar biasa. Penerbangan kebebasan kelima, aspek unik dari penerbangan internasional, membuktikan hal tersebut. Maskapai penerbangan mengoperasikan penerbangan ini antar-dua negara asing, dengan pemberhentian di pangkalan mereka yang dapat dilihat dalam banyak contoh. 

Emirates telah membangun Dubai menjadi pusat global utama dengan memanfaatkan hak kebebasan kelima. Penerbangan mereka dari Dubai ke Bangkok dapat berlanjut ke Sydney, membawa penumpang antara Thailand dan Australia. Konektivitas ini telah berkontribusi besar pada pertumbuhan Dubai sebagai tujuan wisata dan bisnis. 

Contoh lain, Singapore Airlines mengoperasikan banyak rute kebebasan kelima, termasuk penerbangan mereka dari Singapura ke Frankfurt dan berlanjut ke New York, yang menyediakan koneksi yang nyaman dan meningkatkan potensi pariwisata bagi Singapura.

Contoh-contoh tersebut menunjukkan pemanfaatan hak kebebasan kelima secara cerdik yang akhirnya dapat mendorong sektor penerbangan suatu negara dan bertindak sebagai katalis untuk pertumbuhan pariwisata. 

Hal ini sejalan dengan data dari Euromonitor dan Mastercard, yang menunjukkan bahwa Dubai dan Singapura secara konsisten berada di peringkat 10 besar sebagai kota yang paling banyak dikunjungi di dunia dengan lebih dari 15 juta kedatangan setiap tahunnya dan dapat menghasilkan pendapatan lebih dari $10 miliar atau Rp158,44 triliun ke kedua kota tersebut. 

Kondisi ini semakin memperkuat alasan bagi Indonesia untuk mengeksplorasi strategi serupa, dengan catatan infrastruktur pendukung dan kerangka peraturan yang sudah ada.

Membuka Cakrawala: Menuju Era Baru Penerbangan di Indonesia dengan Kebebasan Kelima

Kurangnya penerbangan kebebasan kelima di Indonesia menghadirkan paradoks yang menarik. Sementara posisi strategis negara di tengah Asia dan Oceania menunjukkan potensi besar sebagai pusat transit, realitas lapangan mengungkapkan kehadiran terbatas dari penerbangan semacam itu. Akan tetapi, situasi ini tentu tidak harus permanen. 

Dengan mengambil langkah-langkah proaktif seperti meninjau perjanjian bilateral yang saat ini membatasi operasi kebebasan kelima, berinvestasi dalam peningkatan infrastruktur bandara, dan berpotensi mengurangi kebijakan proteksionis yang mengutamakan maskapai penerbangan domestik, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih ramah untuk skema penerbangan ini. 

Pergeseran ini akan membuka jalan menuju sektor penerbangan yang lebih dinamis dan kompetitif, yang pada akhirnya menguntungkan baik maskapai penerbangan yang mencari peluang pendapatan tambahan maupun penumpang yang mencari pilihan perjalanan yang lebih baik dan berpotensi memperoleh tarif yang lebih kompetitif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun