Pak Jaka mengangguk mantap, setuju dengan rencana tersebut. "Saya setuju, dan saya bisa jaga rahasia kok!"
Pak Tarpan dengan cepat menambahkan, "Saya juga!"
Pak Dani pun menegaskan, "Apalagi saya!"
Mereka bertiga lalu menatap Samsul, yang dari tadi mendengarkan tanpa banyak bicara. Samsul hanya menghembuskan napas pelan dan menggelengkan kepalanya, memberi isyarat bahwa ia pun akan merahasiakan rencana mereka. Warung itu kembali sunyi, sementara di luar, malam mulai merambat, seolah bersiap menyambut aksi mereka yang penuh misteri.
Samsul merasa dirinya benar-benar bodoh mengikuti rencana bapak-bapak desa yang tampaknya lebih suka berpetualang dalam gelap daripada menikmati kenyamanan di rumah. Malam itu, mereka bersembunyi di dekat sebuah rumah yang diduga belum pernah ditaburi bunga oleh sosok misterius yang hingga kini belum juga terungkap identitasnya. Rencana ini adalah ide dari Pak Udin, bapaknya Samsul, yang beralasan bahwa daripada mereka harus bergerak mencurigakan dan justru membuat sang pelaku lari ketakutan, lebih baik mereka menunggu di rumah yang belum pernah ditaburi bunga oleh si pelaku.
Waktu terus berjalan. Detik berubah menjadi menit, dan menit seolah merangkak menjadi jam. Rasa kantuk mulai menyerang Samsul, matanya berulang kali terpejam sebentar lalu terbuka lagi. Para bapak lainnya juga tampak lelah, ditambah lagi dengan gigitan nyamuk yang tak henti-hentinya menyerang mereka. Suasana semakin tak nyaman, dan Samsul mulai merasa benar-benar tak betah. Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang sendirian, meninggalkan bapaknya dan yang lainnya yang masih setia mengawasi dari balik semak-semak dan pekarangan penuh pohon pisang.
Samsul baru saja melangkah beberapa meter dari tempat persembunyian ketika Pak Dani mengeluh dengan suara pelan, "Lama-lama darahku ini habis digigit nyamuk."
Pak Jaka, yang selalu bisa menemukan humor di setiap situasi, nyaris tertawa ketika menanggapi, "Tinggal ngisi di rumah sakit, ga usah repot."
Namun, tawa Pak Jaka terhenti ketika Samsul tiba-tiba berhenti di jalannya. Dalam keremangan malam, di antara bayangan pepohonan, Samsul melihat sesuatu yang membuat bulu kuduknya merinding. Di depan salah satu rumah besar di desa, rumah Pak Haji Somad yang dikenal sebagai orang kaya, Samsul melihat sesosok pocong. Bukan pocong yang sekadar berdiri kaku seperti dalam cerita-cerita yang biasa ia dengar, tetapi pocong itu bersujud, bangkit, lalu bersujud lagi, mengulang gerakan itu berulang-ulang. Setiap kali bangkit, wajah pocong itu menyala merah menyala, seperti bara api yang sedang berkobar, dan kain kafan yang membungkusnya tampak lusuh dan kotor, seolah telah terkubur dalam tanah selama bertahun-tahun.
Samsul tak bisa bergerak. Tubuhnya kaku, dan pikirannya dipenuhi rasa takut. Namun, tiba-tiba dia teringat bahwa rumah Pak Haji Somad termasuk salah satu rumah yang sudah ditaburi bunga oleh sosok misterius itu. Hatinya semakin berdebar kencang. Tanpa berpikir panjang, dia segera berlari kembali ke tempat bapaknya dan yang lainnya bersembunyi.
"Anu Pak... itu... po... pocong! Di rumah Pak Haji Somad!" Samsul berteriak dengan napas terengah-engah, hampir tidak bisa berbicara dengan jelas karena panik dan ketakutan yang menyelimutinya.