Pak Dani tiba-tiba mendapatkan ide dan berseru dengan semangat. "Begini saja, bagaimana kalau kita bikin jadwal ronda lagi? Ajukan ke Pak Kades. Sudah berapa tahun desa kita ga bikin jadwal ronda lagi? Desa kita ga ada yang jaga!"
Namun, Pak Udin langsung menimpali dengan nada skeptis. "Tapi, kalau begitu, nanti si orang misterius itu tahu, terus dia berhenti menabur bunga. Kalau begitu, kita ga bisa tangkap basah dia."
Pak Dani terdiam, merenungkan ulang rencananya yang terlihat cemerlang tadi. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Pak Tarpan mengusulkan ide lain dengan antusias. "Begini saja, bagaimana kalau kita bisik-bisik saja ke tetangga?"
Pak Udin langsung memotongnya dengan sedikit keras. "Ya sama saja dong, goblok! Orang itu pasti bakal tahu juga. Mending kita berempat saja yang memergoki orang itu."
Pak Jaka yang tadinya ragu, kini tampak setuju dengan Pak Udin. "Betul juga, ga perlu rame-rame."
Namun tiba-tiba, Pak Udin mengangkat alisnya dan mengajukan pertanyaan yang membuat suasana mendadak tegang. "Tapi, bagaimana kalau orang itu salah satu di antara kita?"
Sejenak, mereka berempat terdiam, hening melingkupi mereka. Ketegangan makin terasa, dan Pak Dani tiba-tiba menggebrak meja dengan marah. "Ga mungkin!"
Pak Jaka, yang lebih tenang, menatap Pak Dani dengan tatapan serius. "Loh, benar kata bapaknya Samsul, bisa saja salah satu dari kita memang melakukan pesugihan!"
Pak Dani segera membantah. "Ya ga mungkin lah! Orang kita semua miskin. Pak Jaka sama Pak Udin punya duit pun cuma buat bertahan hidup, ga bisa foya-foya, kan?"
Suasana kembali hening setelah Pak Dani memperjelas ucapannya. Dalam hati, masing-masing dari mereka mulai berpikir, iya juga ya, itu masuk akal.
Pak Udin, yang tak ingin berlarut dalam keraguan, akhirnya berkata, "Akhhh, yang jelas, kita berempat saja yang coba memergoki orang itu. Kalau malam ini orang itu ga keluar, artinya salah satu dari kita yang melakukannya, atau salah satu dari kita bermulut ember dan membocorkan rencana ini."