Rian menelan ludah, merasakan tenggorokannya yang kering. Kata-kata neneknya yang dulu selalu dianggapnya hanya dongeng belaka kini bergaung kembali di pikirannya. Pocong Wedon, sosok yang selalu digambarkan sebagai makhluk yang menakutkan, bukan hanya sekadar pocong biasa, melainkan sesuatu yang lebih mengerikan, lebih berbahaya. Menurut cerita neneknya, Pocong Wedon tidak hanya muncul untuk menjemput arwah yang telah waktunya pergi, tetapi juga membawa kematian bagi siapa saja yang cukup sial untuk melihatnya.
Di dalam kepala Rian, berbagai spekulasi dan ketakutan mulai bermain-main. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dusun ini? Apakah rumor itu memang benar? Ia merasa semakin terjebak dalam ketidakpastian, antara ingin segera meninggalkan tempat itu atau bertahan untuk mencari tahu kebenarannya. Ketika ia menatap bapak paruh baya itu lagi, ia bisa melihat seberkas ketakutan di mata lelaki tua tersebut---sebuah ketakutan yang tampak tulus dan mendalam.
Sementara pikiran-pikiran itu berkecamuk di dalam benaknya, suasana di dalam rumah semakin terasa mencekam. Jam dinding di ruang tamu berdetak pelan, seolah menghitung detik-detik menuju sesuatu yang tidak diinginkan. Rian merasa napasnya semakin berat, sementara teman-temannya juga mulai merasakan kegelisahan yang sama. Mereka semua terdiam, hanya bisa mendengar detak jantung mereka sendiri yang berpacu lebih cepat dari biasanya.
Tak lama setelah itu, mungkin karena kecapekan, mereka jatuh tertidur lelap. Dan saat Rian bangun, sudah larut malam. Rian mau membangunkan teman-temannya yang tertidur di ruang tamu bapak tadi.
"Ayo ke rumah nenek gue, siapa tahu mereka sudah pulang."
"Bukannya ga boleh kemana-mana, kata si Bapak itu?"
"Penakut banget si!" kata Jefri, "udah, kalo mau di sini ya silahkan, ayo Yan, kita pergi aja."
"Eh tunggu gue mau ikut!"
Saat pintu dibuka, dusun itu terasa semakin mencekam, sepi tidak ada orang satupun, gelap karena tidak ada lampu yang menyala dan hanya cahaya rembulan yang menjadi penerangan. Angin menghembuskan napasnya pelan dan menyapu permukaan kulit mereka bertiga, suasana semakin tidak mengenakan.
"Coba telepon dulu bibi lu Yan, siapa tahu mereka udah pulang atau kalo gitu kita susul aja kalo emang masih di rumah sakit." Rian mengangguk setuju perkataan Jefri. Tak lama setelah itu Rian berdecak bibir.
"Ga nyambung Jef." Rian terlihat resah.