Mohon tunggu...
Andipati 2001
Andipati 2001 Mohon Tunggu... Pelajar

Suka nulis artikel random, cerpen dan puisi https://www.instagram.com/Andipati17/

Selanjutnya

Tutup

Horor

Pocong Wedon

18 Agustus 2024   17:27 Diperbarui: 18 Agustus 2024   17:50 1982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.wattpad.com/1470052043-catatan-para-setan-pocong-wedonInput sumber gambar

Rian sering mendengar cerita tentang pocong wedon dari neneknya saat ia masih kecil. Cerita itu selalu diceritakan dengan nada yang penuh misteri dan ketegangan, sehingga meskipun ia berusaha untuk tidak mempercayainya, ada sesuatu dalam nada suara neneknya yang membuatnya sedikit was-was. Pocong wedon, menurut neneknya, bukanlah pocong biasa. Konon, pocong ini memiliki tujuan tertentu, sering kali untuk menjemput seseorang yang sudah waktunya berpulang, namun ada juga yang percaya bahwa pocong wedon ini adalah pertanda buruk bagi yang melihatnya. Tapi tak sedikit yang menganggap pocong wedon bukanlah pocong, yang adalah peliharaan untuk mencelakakan seseorang.

Beberapa hari belakangan, Rian mendapatkan pesan yang tidak biasa dari bibinya yang tinggal di kampung. Pesan-pesan itu terasa mendesak, seolah ada sesuatu yang sangat penting yang harus disampaikan. Bibinya meminta Rian untuk segera datang, menyebutkan bahwa neneknya mungkin tidak akan bertahan lama lagi. Namun, yang membuat Rian semakin khawatir adalah kenyataan bahwa setiap kali ia mencoba menelepon bibinya, panggilan tersebut selalu gagal tersambung. Anehnya, bibinya terus menghubunginya lewat pesan, tetapi tidak pernah mengangkat teleponnya. Rian berpikir mungkin bibinya itu sibuk.

Dengan perasaan tak menentu, Rian memutuskan untuk berangkat ke kampung neneknya bersama Temon dan Jefri menggunakan dua motor. Kampung itu terbagi menjadi empat dusun, dan dusun tempat neneknya tinggal berada di paling ujung, terpisah oleh sawah dan hutan yang membentang sekitar dua kilometer dari dusun lainnya. Sejak kecil, Rian tahu bahwa dusun tersebut memang terpencil, namun ia tidak pernah merasakan kesunyian yang begitu mencekam seperti saat ini. Saat tiba di dusun itu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Sedari mereka memasuki gapura dusun, suasana di dusun begitu tidak mengenakan. Tidak ada satu pun orang yang terlihat, tidak ada aktivitas yang biasanya ramai di siang hari. Dusun itu terasa seperti telah lama ditinggalkan.

"Sepi banget anjir!" kata Temon, teman yang Rian ajak.

"Takut banget si Mon!" Jefri berdecak bibir, risih dengan sikap Temon.

"Apaan sih, enggak!" Temon mengelak, walaupun hatinya tak tentu karena merasa ada yang janggal di tempat ini.

Rian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Rumah neneknya, yang biasanya penuh dengan kehangatan keluarga, kini tampak sepi dan kosong. Tidak ada bibinya yang selalu riang menyambut, tidak ada neneknya yang tersenyum ramah padanya, sepupunya yang masih tiga tahun berlarian memeluk lututnya, ataupun pamannya yang biasa membetulkan pacul di teras rumah.

Pintu rumah sedikit terbuka, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Barang-barang di dalam rumah pun tampak seperti dibiarkan begitu saja, seolah-olah penghuninya pergi dengan tergesa-gesa. Perasaan panik mulai menjalari pikirannya. Ia membayangkan kemungkinan terburuk---mungkin neneknya benar-benar sekarat dan telah dibawa ke rumah sakit. Atau mungkin, ada sesuatu yang lebih mengerikan terjadi di sini.

Meskipun teman-temannya yang ikut menemaninya sudah merasa tidak nyaman dan ingin segera kembali ke kota, Rian bersikeras untuk tetap tinggal dan menunggu keluarganya pulang. Baginya, meninggalkan dusun itu tanpa mengetahui keadaan keluarganya adalah hal yang tidak bisa ia lakukan. Ia terus mencoba menghubungi bibinya, meskipun panggilan-panggilannya terus berujung pada nada sambung yang tak pernah tersambung. Rasa takut bercampur dengan ketidakpastian membuatnya merasa semakin tertekan.

Tak lama kemudian, muncul seorang bapak paruh baya dari arah hutan. Penampilannya membuat bulu kuduk Rian sedikit meremang. Tubuh bapak itu sangat kurus, seolah-olah hanya terdiri dari tulang yang dilapisi kulit tipis. Wajahnya penuh dengan kerutan yang menandakan usia, dan matanya cekung dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski demikian, bapak itu menyapa mereka dengan ramah, menanyakan apa yang sedang Rian dan teman-temannya lakukan di dusun yang sepi itu.

Rian menjelaskan maksud kedatangannya dengan singkat, sambil sesekali melirik ke arah rumah neneknya yang masih tampak kosong dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mendengar cerita Rian, bapak paruh baya itu mengangguk-angguk. "Oh, begitu," katanya pelan. Ia kemudian menawarkan untuk mengajak mereka ke rumahnya sementara menunggu keluarga Rian kembali. "Keluargamu mungkin masih di rumah sakit. Memang saya mendengar ramai-ramai ada yang dibawa ke rumah sakit tadi siang. Mereka pasti membawa nenekmu ke sana," ujarnya dengan suara yang serak.

Ramai? Kata yang sangat kontras dengan apa yang terjadi sekarang. Lihatlah, tidak ada suara serangga hutan, suara burung, angin juga seakan mati. Benar-benar dusun yang sunyi. Bahkan Rian tidak merasakan tanda-tanda kehidupan di dusun ini.

Tapi, setidaknya Rian merasa sedikit lega mendengar penjelasan bapak itu. Meskipun ada rasa ragu di dalam dirinya, Rian dan dua temannya memutuskan untuk menerima tawaran si bapak. Mereka mengikuti bapak paruh baya itu menuju rumahnya yang ternyata tidak jauh dari rumah nenek Rian. Rumah itu tampak tua dan sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap yang sebagian sudah tertutup lumut. Ketika mereka masuk, aroma khas rumah tua yang bercampur dengan bau kayu bakar langsung menyambut mereka.

Di dalam rumah, suasananya tidak jauh berbeda dengan luarnya. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh beberapa lampu minyak yang tergantung di sudut-sudut. Bapak paruh baya itu mempersilakan mereka duduk di ruang tamu yang dipenuhi dengan perabotan kuno. Ia kemudian pergi ke dapur dan kembali dengan membawa nampan yang berisi kopi hitam dan camilan sederhana berupa kacang rebus dan ubi.

Rian dan teman-temannya berterima kasih dan mulai menyantap hidangan tersebut. Kopi hitam itu terasa pahit dan kuat, sementara kacang dan ubi rebusnya hangat, memberikan sedikit rasa nyaman di tengah suasana yang serba aneh. Mereka berbicara pelan, merasa sedikit canggung di hadapan bapak paruh baya yang terus memandang mereka dengan tatapan yang sulit ditebak.

Namun, seiring berjalannya waktu, rasa canggung itu sedikit demi sedikit mulai menghilang. Mereka mulai berbicara lebih leluasa, bertanya tentang dusun yang tampak begitu sepi dan mengapa tidak ada satu pun orang yang terlihat. Bapak paruh baya itu menjawab dengan tenang, menjelaskan bahwa dusun ini memang selalu sepi, terutama sejak banyak warganya yang pindah ke kota mencari kehidupan yang lebih baik. "Hanya beberapa orang tua saja yang masih bertahan di sini. Yah, bisa dibilang, kami yang tua ini berniat mati di sini," katanya dengan nada datar.

Rian yang masih merasa tidak nyaman dengan keheningan yang melingkupi dusun itu tak bisa menahan rasa penasarannya. "Kok di dusun ini sepi banget ya, Pak?" tanyanya, mencoba memecah keheningan yang terasa semakin menyesakkan.

Bapak paruh baya yang duduk di seberang meja tiba-tiba menegang. Ia menoleh ke arah Rian, dan dengan cepat meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, memberikan isyarat agar Rian tidak melanjutkan pertanyaannya. "Ssshttt," bisik bapak itu dengan nada serius, matanya melebar sedikit. Rian bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi ruangan, membuat atmosfer yang tadinya hanya canggung menjadi lebih berat dan menakutkan.

Bapak itu mendekatkan wajahnya, seolah ingin memastikan bahwa percakapan mereka tidak akan terdengar oleh siapapun di luar sana. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Warga dusun ini percaya jika sore menjelang malam adalah waktu mereka untuk keluar." Jemarinya yang kurus masih menutupi bibirnya, matanya menyapu sekeliling ruangan, seolah takut akan ada yang mendengar. "Makanya, para warga sudah diam di rumah masing-masing saat mulai senja. Karena itu saya ajak kalian ke sini, di luar bahaya!"

Rian merasa udara di ruangan itu tiba-tiba menjadi lebih dingin. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya untuk bertanya lebih lanjut. "Mereka siapa, Pak?" tanyanya, meskipun ia sudah menduga apa yang akan menjadi jawaban bapak itu.

Bapak paruh baya itu mendekatkan wajahnya lagi, kali ini lebih dekat, hampir berbisik di telinga Rian. "Pocong Wedon," bisiknya dengan suara rendah yang terdengar seperti gemerisik dedaunan kering yang tertiup angin malam. Kata-kata itu meluncur dari bibir bapak itu seolah membawa serta dinginnya malam yang merasuk ke dalam hati Rian.

Rian menelan ludah, merasakan tenggorokannya yang kering. Kata-kata neneknya yang dulu selalu dianggapnya hanya dongeng belaka kini bergaung kembali di pikirannya. Pocong Wedon, sosok yang selalu digambarkan sebagai makhluk yang menakutkan, bukan hanya sekadar pocong biasa, melainkan sesuatu yang lebih mengerikan, lebih berbahaya. Menurut cerita neneknya, Pocong Wedon tidak hanya muncul untuk menjemput arwah yang telah waktunya pergi, tetapi juga membawa kematian bagi siapa saja yang cukup sial untuk melihatnya.

Di dalam kepala Rian, berbagai spekulasi dan ketakutan mulai bermain-main. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dusun ini? Apakah rumor itu memang benar? Ia merasa semakin terjebak dalam ketidakpastian, antara ingin segera meninggalkan tempat itu atau bertahan untuk mencari tahu kebenarannya. Ketika ia menatap bapak paruh baya itu lagi, ia bisa melihat seberkas ketakutan di mata lelaki tua tersebut---sebuah ketakutan yang tampak tulus dan mendalam.

Sementara pikiran-pikiran itu berkecamuk di dalam benaknya, suasana di dalam rumah semakin terasa mencekam. Jam dinding di ruang tamu berdetak pelan, seolah menghitung detik-detik menuju sesuatu yang tidak diinginkan. Rian merasa napasnya semakin berat, sementara teman-temannya juga mulai merasakan kegelisahan yang sama. Mereka semua terdiam, hanya bisa mendengar detak jantung mereka sendiri yang berpacu lebih cepat dari biasanya.

Tak lama setelah itu, mungkin karena kecapekan, mereka jatuh tertidur lelap. Dan saat Rian bangun, sudah larut malam. Rian mau membangunkan teman-temannya yang tertidur di ruang tamu bapak tadi.

"Ayo ke rumah nenek gue, siapa tahu mereka sudah pulang."

"Bukannya ga boleh kemana-mana, kata si Bapak itu?"

"Penakut banget si!" kata Jefri, "udah, kalo mau di sini ya silahkan, ayo Yan, kita pergi aja."

"Eh tunggu gue mau ikut!"

Saat pintu dibuka, dusun itu terasa semakin mencekam, sepi tidak ada orang satupun, gelap karena tidak ada lampu yang menyala dan hanya cahaya rembulan yang menjadi penerangan. Angin menghembuskan napasnya pelan dan menyapu permukaan kulit mereka bertiga, suasana semakin tidak mengenakan.

"Coba telepon dulu bibi lu Yan, siapa tahu mereka udah pulang atau kalo gitu kita susul aja kalo emang masih di rumah sakit." Rian mengangguk setuju perkataan Jefri. Tak lama setelah itu Rian berdecak bibir.

"Ga nyambung Jef." Rian terlihat resah.

"Eh, itu kali mereka!" seru Temon, menunjuk cahaya mobil. Cahaya mobil itu bersinar putih redup dan siapapun akan ragu jika itu adalah cahaya dari lampu mobil. Namun, itu jelas adalah dua buah bulatan putih yang mengambang di jalanan.

"Mereka udah pulang kayak" napas Jefri, bahkan napas Rian dan Temon pun berhenti sejenak karena dua benda putih yang mengambang di jalan yang tadi dikira lampu mobil itu semakin naik dan melewati pepohonan yang tinggi. Benda putih bulat itu semakin membesar, melebar, dan membentuk sesuatu.

silahkan cek selanjutnya di wattpad: https://www.wattpad.com/1470052043-catatan-para-setan-pocong-wedon/page/3 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun