Rian menjelaskan maksud kedatangannya dengan singkat, sambil sesekali melirik ke arah rumah neneknya yang masih tampak kosong dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Mendengar cerita Rian, bapak paruh baya itu mengangguk-angguk. "Oh, begitu," katanya pelan. Ia kemudian menawarkan untuk mengajak mereka ke rumahnya sementara menunggu keluarga Rian kembali. "Keluargamu mungkin masih di rumah sakit. Memang saya mendengar ramai-ramai ada yang dibawa ke rumah sakit tadi siang. Mereka pasti membawa nenekmu ke sana," ujarnya dengan suara yang serak.
Ramai? Kata yang sangat kontras dengan apa yang terjadi sekarang. Lihatlah, tidak ada suara serangga hutan, suara burung, angin juga seakan mati. Benar-benar dusun yang sunyi. Bahkan Rian tidak merasakan tanda-tanda kehidupan di dusun ini.
Tapi, setidaknya Rian merasa sedikit lega mendengar penjelasan bapak itu. Meskipun ada rasa ragu di dalam dirinya, Rian dan dua temannya memutuskan untuk menerima tawaran si bapak. Mereka mengikuti bapak paruh baya itu menuju rumahnya yang ternyata tidak jauh dari rumah nenek Rian. Rumah itu tampak tua dan sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap yang sebagian sudah tertutup lumut. Ketika mereka masuk, aroma khas rumah tua yang bercampur dengan bau kayu bakar langsung menyambut mereka.
Di dalam rumah, suasananya tidak jauh berbeda dengan luarnya. Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi oleh beberapa lampu minyak yang tergantung di sudut-sudut. Bapak paruh baya itu mempersilakan mereka duduk di ruang tamu yang dipenuhi dengan perabotan kuno. Ia kemudian pergi ke dapur dan kembali dengan membawa nampan yang berisi kopi hitam dan camilan sederhana berupa kacang rebus dan ubi.
Rian dan teman-temannya berterima kasih dan mulai menyantap hidangan tersebut. Kopi hitam itu terasa pahit dan kuat, sementara kacang dan ubi rebusnya hangat, memberikan sedikit rasa nyaman di tengah suasana yang serba aneh. Mereka berbicara pelan, merasa sedikit canggung di hadapan bapak paruh baya yang terus memandang mereka dengan tatapan yang sulit ditebak.
Namun, seiring berjalannya waktu, rasa canggung itu sedikit demi sedikit mulai menghilang. Mereka mulai berbicara lebih leluasa, bertanya tentang dusun yang tampak begitu sepi dan mengapa tidak ada satu pun orang yang terlihat. Bapak paruh baya itu menjawab dengan tenang, menjelaskan bahwa dusun ini memang selalu sepi, terutama sejak banyak warganya yang pindah ke kota mencari kehidupan yang lebih baik. "Hanya beberapa orang tua saja yang masih bertahan di sini. Yah, bisa dibilang, kami yang tua ini berniat mati di sini," katanya dengan nada datar.
Rian yang masih merasa tidak nyaman dengan keheningan yang melingkupi dusun itu tak bisa menahan rasa penasarannya. "Kok di dusun ini sepi banget ya, Pak?" tanyanya, mencoba memecah keheningan yang terasa semakin menyesakkan.
Bapak paruh baya yang duduk di seberang meja tiba-tiba menegang. Ia menoleh ke arah Rian, dan dengan cepat meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, memberikan isyarat agar Rian tidak melanjutkan pertanyaannya. "Ssshttt," bisik bapak itu dengan nada serius, matanya melebar sedikit. Rian bisa merasakan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi ruangan, membuat atmosfer yang tadinya hanya canggung menjadi lebih berat dan menakutkan.
Bapak itu mendekatkan wajahnya, seolah ingin memastikan bahwa percakapan mereka tidak akan terdengar oleh siapapun di luar sana. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Warga dusun ini percaya jika sore menjelang malam adalah waktu mereka untuk keluar." Jemarinya yang kurus masih menutupi bibirnya, matanya menyapu sekeliling ruangan, seolah takut akan ada yang mendengar. "Makanya, para warga sudah diam di rumah masing-masing saat mulai senja. Karena itu saya ajak kalian ke sini, di luar bahaya!"
Rian merasa udara di ruangan itu tiba-tiba menjadi lebih dingin. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tetapi rasa ingin tahunya mendorongnya untuk bertanya lebih lanjut. "Mereka siapa, Pak?" tanyanya, meskipun ia sudah menduga apa yang akan menjadi jawaban bapak itu.
Bapak paruh baya itu mendekatkan wajahnya lagi, kali ini lebih dekat, hampir berbisik di telinga Rian. "Pocong Wedon," bisiknya dengan suara rendah yang terdengar seperti gemerisik dedaunan kering yang tertiup angin malam. Kata-kata itu meluncur dari bibir bapak itu seolah membawa serta dinginnya malam yang merasuk ke dalam hati Rian.