Rian sering mendengar cerita tentang pocong wedon dari neneknya saat ia masih kecil. Cerita itu selalu diceritakan dengan nada yang penuh misteri dan ketegangan, sehingga meskipun ia berusaha untuk tidak mempercayainya, ada sesuatu dalam nada suara neneknya yang membuatnya sedikit was-was. Pocong wedon, menurut neneknya, bukanlah pocong biasa. Konon, pocong ini memiliki tujuan tertentu, sering kali untuk menjemput seseorang yang sudah waktunya berpulang, namun ada juga yang percaya bahwa pocong wedon ini adalah pertanda buruk bagi yang melihatnya. Tapi tak sedikit yang menganggap pocong wedon bukanlah pocong, yang adalah peliharaan untuk mencelakakan seseorang.
Beberapa hari belakangan, Rian mendapatkan pesan yang tidak biasa dari bibinya yang tinggal di kampung. Pesan-pesan itu terasa mendesak, seolah ada sesuatu yang sangat penting yang harus disampaikan. Bibinya meminta Rian untuk segera datang, menyebutkan bahwa neneknya mungkin tidak akan bertahan lama lagi. Namun, yang membuat Rian semakin khawatir adalah kenyataan bahwa setiap kali ia mencoba menelepon bibinya, panggilan tersebut selalu gagal tersambung. Anehnya, bibinya terus menghubunginya lewat pesan, tetapi tidak pernah mengangkat teleponnya. Rian berpikir mungkin bibinya itu sibuk.
Dengan perasaan tak menentu, Rian memutuskan untuk berangkat ke kampung neneknya bersama Temon dan Jefri menggunakan dua motor. Kampung itu terbagi menjadi empat dusun, dan dusun tempat neneknya tinggal berada di paling ujung, terpisah oleh sawah dan hutan yang membentang sekitar dua kilometer dari dusun lainnya. Sejak kecil, Rian tahu bahwa dusun tersebut memang terpencil, namun ia tidak pernah merasakan kesunyian yang begitu mencekam seperti saat ini. Saat tiba di dusun itu, ia merasakan sesuatu yang aneh. Sedari mereka memasuki gapura dusun, suasana di dusun begitu tidak mengenakan. Tidak ada satu pun orang yang terlihat, tidak ada aktivitas yang biasanya ramai di siang hari. Dusun itu terasa seperti telah lama ditinggalkan.
"Sepi banget anjir!" kata Temon, teman yang Rian ajak.
"Takut banget si Mon!" Jefri berdecak bibir, risih dengan sikap Temon.
"Apaan sih, enggak!" Temon mengelak, walaupun hatinya tak tentu karena merasa ada yang janggal di tempat ini.
Rian merasa ada sesuatu yang tidak beres. Rumah neneknya, yang biasanya penuh dengan kehangatan keluarga, kini tampak sepi dan kosong. Tidak ada bibinya yang selalu riang menyambut, tidak ada neneknya yang tersenyum ramah padanya, sepupunya yang masih tiga tahun berlarian memeluk lututnya, ataupun pamannya yang biasa membetulkan pacul di teras rumah.
Pintu rumah sedikit terbuka, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Barang-barang di dalam rumah pun tampak seperti dibiarkan begitu saja, seolah-olah penghuninya pergi dengan tergesa-gesa. Perasaan panik mulai menjalari pikirannya. Ia membayangkan kemungkinan terburuk---mungkin neneknya benar-benar sekarat dan telah dibawa ke rumah sakit. Atau mungkin, ada sesuatu yang lebih mengerikan terjadi di sini.
Meskipun teman-temannya yang ikut menemaninya sudah merasa tidak nyaman dan ingin segera kembali ke kota, Rian bersikeras untuk tetap tinggal dan menunggu keluarganya pulang. Baginya, meninggalkan dusun itu tanpa mengetahui keadaan keluarganya adalah hal yang tidak bisa ia lakukan. Ia terus mencoba menghubungi bibinya, meskipun panggilan-panggilannya terus berujung pada nada sambung yang tak pernah tersambung. Rasa takut bercampur dengan ketidakpastian membuatnya merasa semakin tertekan.
Tak lama kemudian, muncul seorang bapak paruh baya dari arah hutan. Penampilannya membuat bulu kuduk Rian sedikit meremang. Tubuh bapak itu sangat kurus, seolah-olah hanya terdiri dari tulang yang dilapisi kulit tipis. Wajahnya penuh dengan kerutan yang menandakan usia, dan matanya cekung dengan tatapan yang sulit diartikan. Meski demikian, bapak itu menyapa mereka dengan ramah, menanyakan apa yang sedang Rian dan teman-temannya lakukan di dusun yang sepi itu.